Neswa.id-Bulan Ramadan sudah berada di sepuluh terakhir, kurang dari sepekan kita akan berpisah dengan bulan mulia penuh ampunan. Apa progres kebaikan kita selama 20 hari? Jangan sampai di waktu-waktu injury time ini kita malah kendor. Salah satu tolok ukur puasa sia-sia ketika kualitasnya sama dengan Ramadan tahun lalu hingga kita merugi, atau justru lebih buruk hingga kita celaka. Na’ūzubillah min syarri dzālik. Jangan sampai puasa kita sia-sia karena tidak cerdas muhasabah diri.
Sudah lama sekali kita dengar bahwa setan dikekang selama bulan Ramadan, maka yang muncul dari gerak dan laku manusia adalah murni dari dirinya sendiri, tanpa intervensi setan. Lantas apakah ada keburukan dan dosa saat Ramadan? Tentu kita jawab dengan tegas, ada. Kita sendiri atau di sekitar kita masih saja berseliweran godaan yang memancing kesalahan. Misal, mata melihat teman yang baru ketemu sejak 5 tahun lalu, wajah glowing dengan penampilan glamour. Lisan auto tertarik untuk bertanya-tanya hal ihwal kerjaannya, pasangannya dan lain sebagainya. Tanpa disadari sudah ghibah tanpa arah.
Oya, perlu digarisbawahi, ghibah bukan identik dengan perempuan, yang sering dinarasikan dengan banyak bicara (kata lain dari cerewet). Ghibah adalah perilaku orang yang tidak punya kerjaan. Buktinya, kemarin setelah suami saya bantu-bantu rehab masjid bersama para jamaah lain, ada yang nongkrong ghibahin ini-itu. Yang dibicarakan tetangga sendiri yang sedang melintas di jalan masjid, mulai dari A sampai Z. lengkap. Nah kan saya dan suami jadi ghibah juga. Astaghfirullah.
Ghibah juga berbicara keburukan lain yang biasanya muncul di momen-momen Ramadan, saat bukber (buka bersama) misalnya, ruang reuni yang kerap dijadikan ajang perbandingan pencapaian. Menikah, hamil, anak, penampilan, penghasilan dan sebagainya. Perbandingan yang berbuah positif dan motivasi tidak masalah, namun jika menimbulkan sakit hati dan ketidaknyamanan yang justru mengurangi kualitas puasa. Pada gilirannya akan muncul rasa dengki, hasut, iri dan penyakit hati lainnya.
Hujjatul Islam Abū Hāmid bin Muhammad Al-Ghazālī memunculkan istilah yang seakan ambigu, as-sāimu al-mufthir orang yang berpuasa tapi berbuka, dan al-mufthiru as-sāim orang yang berbuka tapi puasa. Yang pertama menahan lapar dan dahaga namun melepas nafsunya. Sementara yang terakhir adalah orang yang menjaga tubuhnya dari melakukan hawa nafsu sedang ia makan dan minum. Yang pertama berpuasa tapi sia-sia, kebalikan orang kedua.
Terkesan ambigu karena maknanya lintas kesadaran. Dzahiriyah dan bathiniyah. Orang yang pertama berhenti pada tatanan dzahiriyah, melakukan seluruh rukun dan syarat puasa namun abai pada sisi bathiniyah yakni menjaga hati dan anggota badan dari maksiat. Sementara orang yang kedua tidak hanya mementingkan kulit dzahirnya dengan menahan diri dari makan minum dan yang membatalkan puasa namun juga menjaga hati serta tubuh dari perbuatan buruk (maksiat). Dia telah paham bahwa setiap ibadah memiliki tujuan (al-maqshūd) dan tujuan dari puasa berakhlak dengan sifat Allah swt yakni pertahanan diri, dan mengikuti amaliah malaikat dalam mengendalikan keinginan liar (syahwat) dimanapun berada.
Sejatinya, manusia posisinya di antara, di bawah malaikat karena masih harus berjuang dengan syahwatnya, dan di atas binatang karena dianugerahi akal untuk berpikir jernih. Manusia bisa jadi setara dengan malaikat jika mampu melawan nafsunya, dan bisa terperosok ke lingkaran binatang jika tunduk pada kemauan syahwatnya. Pun dalam berpuasa, siapa yang mampu menjaga dzahir dan batinnya dari perbuatan hewani maka sungguh ia telah berhasi dalam menjalankan puasa. Berlaku pada sebaliknya.
Pada detik-detik terakhir bulan Ramadan ini, marilah saling mengingatkan untuk memperbaiki diri meningkatkan kualitas puasa. Lailatul qadar masih sangat mungkin diraih kendati kemungkinan yang diprediksi oleh Imam al-Ghazali telah lampau. Lailatulqadar menjadi rahasia agar umat muslim senantiasa beribadah tanpa batasan waktu. Jika malam itu diketahui maka mesti ibadah hanya dicukupkan satu malam itu saja.
Ibadah bukan sekedar perbuatan yang ada niatnya, wudu, salat, zakat, haji, melainkan semua perbuatan yang diniatkan untuk mendekatkan diri pada Allah. Apapun bentuknya. Kegiatan makan menjadi ibadah saat berbuka puasa dan saat sahur karena diniatkan mengikuti anjuran dalam Islam. Tidur menjadi ibadah jika diniatkan menjauhkan diri dari maksiat, karena jika bangun dia akan berkumpul dengan teman-temannya dan ghibah bersama.
Bulan Ramadan merupakan bulan istimewa, mari haturkan sisa waktu Ramadan kita untuk hal-hal yang istimewa, dengan perbuatan-perbuatan yang diniatkan untuk mendekatkan diri pada Allah swt. Allahu a’lam. (IM)
Leave a Reply