Islam dikenal sebagai agama yang ‘melegalkan’ sistem perbudakan di masa lampau. Hal tersebut dapat dilihat pada teks kitab suci al-Qur’an yang menyebutkan keharusan seorang budak tunduk dan patuh kepada majikannya sebagaimana Q.S an-Nahl: 75. Namun realitas perbudakan dalam konteks keagamaan tidak bisa serta merta dilepaskan dari konteks sosial budaya yang melingkupi masyarakat di mana pun berada. Nyatanya perbudakan adalah realitas sosial sepanjang sejarah manusia yang tidak hanya mencakup dimensi sosial budaya tetapi juga dimensi ekonomi politik.
Meski di era sekarang sistem perbudakan seperti itu telah dihapus, bukan berarti teks keagamaan terutama ayat al-Qur’an terkait perbudakan sudah tidak relevan lagi diwacanakan. Fakta tentang kekerasan dan pelecehan seksual Buruh Migran perempuan Indonesia di Timur Tengah boleh jadi memiliki akar doktriner dari sebuah pemahaman terhadap teks keagamaan yang salah. Di mana asisten rumah tangga diposisikan sama dengan seorang budak sebagaimana di masa lampau, sehingga menganggapnya boleh diperlakukan sesuai yang diinginkan oleh sang majikan.
Fenomena perbudakan memang sudah ada sejak sebelum peradaban Islam lahir dan bukan saja terjadi dalam peradaban Arab, melainkan pada peradaban bangsa lain seperti Romawi, Yunani, dan Cina yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budak-budak diperoleh melalui peperangan, penculikan, dan penangkapan serta pembelian di pasar-pasar. Di zaman Arab pra-Islam, budak bahkan dianggap sebagai bukan manusia utuh melainkan setengah binatang. Tragisnya, kebanyakan objek dari perbudakan adalah perempuan. Perempuan dianggap sebagai barang yang dapat diperjualbelikan, suaranya tidak perlu didengar bahkan perempuan tidak punya otoritas penuh terhadap tubuhnya sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari legalisasi seorang majikan melakukan hubungan seksual dengan budak perempuannya tanpa ada ikatan pernikahan sebelumnya.
Namun apakah benar Islam merupakan agama yang melegalkan perbudakan? Agama yang menghalalkan eksploitasi seksual yang tidak terkontrol oleh majikan kepada budak perempuannya?
Nyatanya perbudakan telah ada sejak sebelum peradaban Islam lahir. Sehingga perlu untuk dipahami walaupun al-Qur’an tidak secara tegas dan gamblang melarang perbudakan yang telah mengakar dalam masyarakat pada masa itu, namun secara sistematis al-Qur’an membawa misi penghapusan perbudakan. Hal tersebut dapat dilihat dari pembebasan seorang budak sebagai hukuman berhubungan seksual di siang hari pada bulan ramadhan, pembunuhan yang tidak disengaja. Selain itu, budak merupakan salah satu golongan yang wajib menerima zakat. Hal tersebut dimaksudkan bahwa dengan zakat yang diterimanya, diharapkan dapat membebaskan (memerdekakan) dirinya sebagai seorang budak. Bahkan al-Qur’an menawarkan sebuah gerakan ajakan berbuat kebaikan dengan cara bersedekah dan membebaskan budak miliknya masing-masing sebagaimana Q.S Al-Baqarah: 177.
Kebolehan seorang majikan melakukan hubungan seksual dengan budak perempuannya sehingga menimbulkan persepsi bahwa Islam adalah agama yang merekomendasikan “kejahatan seksual”, adalah sebuah persepsi yang sulit untuk dibantah jika pembacaan terhadap perbudakan dilakukan secara terpisah dengan konteks masa itu. Pada masa tersebut, kebutuhan budak baik sandang, pangan, dan papan merupakan tanggung jawab majikannya, bahkan termasuk kebutuhan seksualnya. Seperti yang penulis sebutkan sebelumnya, bahwa pada masa lampau sebelum Islam datang budak bahkan dianggap manusia separuh binatang. Jika dalam kemanusiaan dan sosialnya saja seorang budak tidak mempunyai hak atas dirinya, lantas bagaimana dengan penyaluran kebutuhan seksualnya? Yang dalam hal ini dimungkinkan penyaluran hasrat seksualnya hanya kepada majikan?
Al-Qur’an secara bertahap membahas terkait kebolehan majikan berhubungan seksual dengan budak perempuannya. Pada periode Mekkah, dengan alasan keterbatasan ekonomi dan ketidakmampuan finasial untuk menikahi perempuan merdeka, maka diperbolehkan berhubungan seksual dengan budak perempuan dengan menikahinya sebagaimana Q.S. an-Nisa: 25. Sedangkan pada periode Madinah seorang budak perempuan wajib dinikahi dan diberi mahar jika hendak berhubungan seksual dengannya. Hal ini merujuk pada peristiwa Nabi yang menikahi seorang budak, Shafiyah dan Mariyatul Qibtiyah.
Kekerasan seksual yang banyak dialami oleh Buruh Migran perempuan Indonesia di Timur Tengah, terutama Arab Saudi, disebabkan oleh pemahaman tekstualis terhadap teks-teks keagamaan. Bukan hanya persoalan relasi kaya-miskin, majikan-pembantu atau karena menganggap orang-orang Timur Tengah yang diidentikkan dengan watak dan kepribadian keras. Tidak bisa dipungkiri, dalam teks-teks keagamaan memang ada legalisasi perbudakan yang banyak merugikan perempuan. Betapa al-Qur’an berupaya untuk memposisikan budak secara tidak diskriminatif dengan perlahan. Setidaknya dalam periode Madinah, budak wajib dinikahi dan diberi mahar dengan tujuan agar mendapat posisinya sebagai istri sah sehingga mengantarkan mereka mendapat perlakuan sama dari suami mereka. Juga anak-anak yang lahir kemudian tidak berstatus budak.
Leave a Reply