Neswa.id-Dunia maya sedang banyak kehebohan dengan berbagai isu. Pertama, isu childfree dan awet muda. Kedua, isu seorang artis yang tidak disenyumin pada sebuah acara publik nan mewah. Ketiga, isu valentine yang diributkan dari tahun ke tahun.
Tiba-tiba orang lupa tentang isu tahun 2023 perekonomian akan mengalami resesi, rela menyusutkan kuota demi larut dalam perseteruan para pihak dalam kasus-kasus tersebut. Tak hanya perang dalam kolom komen, perang unggahan pun tak kalah serunya. Padahal, bila ada keuntungan masuk dari berbalas konten pun, tak bisa menjamin ekonomi keluarga yang mulai seret untuk segera pulih.
Tiba-tiba orang beralih perhatian tentang kasus kekerasan seksual kepada anak-anak yang pelakunya ibu muda, yang sebenarnya malah lebih krusial untuk didiskusikan lebih lanjut. Sama halnya dengan isu pornografi anak-anak yang makin masif. Atau pelecehan seksual yang dilakukan pendidik di beberapa lembaga formal. Tidak hanya itu, isu kepala desa yang meminta perpanjangan masa jabatan tak menjadi urusan banyak orang dibanding unggahan demi unggahan ibu beranak sekian yang katanya masih awet muda.
Banyak yang sibuk mengomentari kasus Sambo, istri dan kroninya seperti orang yang fasih hukum, tetapi tak awas tentang KUHP dengan isu-isu yang kritis diperhatikan karena beberapa pasal masih perlu direvisi bila tidak ingin semua bisa kena dipidanakan.
Orang sejenak lupa bagaimana pemulihan gempa Cianjur, ditambah lagi Turki saat ini, dan risiko kebencanaan yang mungkin terjadi. Yang dibahas tentang Turki kemudian konspirasi negara dstnya. Padahal bukan ranah kita untuk berkomentar persoalan tersebut. Seharusnya yang lebih mendasar untuk dibahas adalah persoalan menyiapkan mitigasi bencana, semisal terjadi di Indonesia.
Orang-orang memilih mempertanyakan masalah childfree, dibanding mempermasalahkan bagaimana memfasilitasi pendidikan kesehatan reproduksi anak dan remaja sehingga tak lagi meningkat kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), maupun pernikahan usia dini. Publik memuliakan orang-orang awet muda beranak banyak, tapi sekaligus ramai mempermasalahkan artis yang oplas dengan uangnya sendiri, kepo, dan mempergunjingkan tampilan foto artis yang sangat biasa tanpa filter.
Unggahan berbalas unggahan, live streaming, tulisan, meme, membentuk kubu-kubu, saling menyerang bahkan mulai mempermalukan dengan mengorek masa lalu. Secara kentara, kita bisa mengamati betapa mudahnya seseorang impulsif, tersedot pada hal-hal emosional, yang sebenarnya jauh darinya. Tak heran demikian mudahnya orang terprovokasi hoaks, maupun hasutan politik identitas jelang pemilihan umum.
Perempuan dan Kerentanan Terpapar Hoaks
KemenPPPA sendiri mencatat perempuan lebih banyak terpapar hoaks selama pandemi Covid-19 dengan peningkatan kasus sebesar 17 persen. Hal itu dikatakan oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Agustina Erni saat Webinar IEEE Foundation Agustus 2020 lalu.
Menurutnya, perempuan lebih banyak dan mudah terpapar informasi hoaks dipicu dari psikologis dan emosinya, terutama terkait isu kesehatan karena memiliki rasa khawatir yang lebih terhadap anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Itu baru soal hoaks di bidang kesehatan saja. Belum tentang dunia hiburan, agama maupun politik. Apalagi bila ‘seolah’ menyinggung urusan perempuan, seperti childfree maupun menolak tua. Perempuan mudah sekali terpantik amarah.
Sebagai sesama perempuan, yuk kita sama-sama menganalisis bahwa yang kita ributkan dan sok urus itu tak melulu berkaitan dengan dunia keseharian kita. Mungkin jauh, malahan. Kita memiliki anak, dia memilih childfree itu saja sudah tak satu circle.
Kita menggunakan skincare sampe tetes oles penghabisan dan selalu berharap dapat giveaway untuk memperbanyak koleksi. Mereka botox, dermabrasion, filler, laser dengan perawatan berbiaya di atas tujuh digit. Kita makan makanan tertentu, karena mampunya beli dengan uang segitu, mereka diet sehat berjuta-juta. Kita membereskan rumah sendiri dan menganggap itu sudah bergerak. Mereka nge-gym, thai boxing, yoga sport, pilates, pool dance, body curves karena dananya memang tersedia.
Koleksi ootd (outfit of the day) kita adalah thrifting, dan diskonan tanggal kembar. Koleksi wardrobe mereka keluaran terbaru brand, karena mungkin saja menjadi ambassadornya, dan di-endorse juga.Kita bersekolah sampe sarjana di Indonesia, mungkin tak pernah bilingual, dengan pe er bejibun dan kurikulum serta nama ujian, yang terus berganti. Mereka mungkin lulusan sekolah nasional plus, internasional atau boarding school di mancanegara.
Bukankah semua yang saya utarakan, cukup jelas perbedaannya?
Saya pribadi tidak terlalu bagaimana ketika orang tersebut bicara tentang childfree dan awet muda, maupun hal-hal lain. Kita nggak tahu juga apakah baginya berkomentar semacam itu, agar viral, menarik perhatian, dsbnya Saya cuma menyadari, jalan hidup saya dan dia jelas beda.
Saya ibu beranak dua, tak pernah merasakan sekolah di luar negeri, anak sulung-yang didapat dari program kehamilan- ternyata autis, saya juga lebih memilih sehat daripada perawatan tubuh atau beli baju, mengkonsumsi vit E memang sejak dulu, tetapi mulai telaten skinker-an lima tahun belakangan.
Walau kadang sensi dipanggil ibu atau tante dengan alasan jadi dituakan, meski ngenes melihat uban saya bertumbuh dengan gembira di segala sisi kepala; tetapi bila melihat tulisan-tulisan saya, orang akan mengira saya masih muda karena semangat menyuarakan isu perempuan, baik secara pribadi, maupun komunitas.
Memahami saya tak sama dengannya membuat saya tidak punya kuasa sebenarnya untuk berkomentar apa-apa. Namun, saya justru ingin merespon orang-orang yang sepertinya seketika emosi. Termasuk tentang isu tak disenyumin sesama selebritis. Bagaimana kalau kita membuat panduan seperti ini, sebelum ikut meributkan sebuah hal di dunia maya.
Apa sih yang membuat kita begitu marah? Berlarut-larut lagi ….
Pertama, apakah isu yang sedang diributkan itu, bersinggungan dengan kepentingan pribadimu, dan atau penting untuk ditangani biar tidak multitafsir atau misinterpretasi bagi publik?
Kedua, apakah orang yang bersangkutan tidak berempati kepada orang lain? Apa yang bisa kita lakukan untuk membuatnya berempati? Apa cukup dengan unggahan saja? Dan, bukankah kita tidak bertanggung jawab untuk mengubahnya menjadi orang baik. Toh, kita bukan terapis, apalagi Tuhan.
Ketiga, setarakah energi kemarahan itu dengan perjuangan kita sendiri untuk menjadi lebih baik setiap harinya?
Keempat, cukup besarkah energi kita untuk mengubah pandangan banyak orang tentang isu tersebut?
Dengan melontarkan pertanyaan itu saja, mungkin kita menjadi lebih awas ketika ingin berkecimpung dalam isu publik.
*
Saya pribadi, akan marah bila orang memaksa saya memakai ‘sepatu’nya. Misal pendapat semua ibu anak autis tak boleh melakukan apapun selain untuk anaknya.
Bagaimana mereka yang juga double role, ibu sekaligus ayah? Bagaimana bila kegiatan lain itu adalah saluran katarsis pergolakan hatinya, di tengah tekanan sehari-hari?
Dan, kemarahan itu makin melukai bila omongannya diucapkan oleh orang terdekat, satu circle misalnya. Yang tahu bagaimana roller coaster kita, yang bergerak di dunia yang sama. Rasanya seperti ditikam dari belakang. Tentu esensinya berbeda, bila orang asing, mau ahli atau bukan, yang bicara. Saya pribadi, walau terkejut, tetapi tak berlama-lama terimbas secara pribadi.
Hal ini juga yang baru-baru ini saya ajarkan ke si bungsu. “Buat apa marah-marah, menguras emosi atas unggahan atau postingan orang yang tak ada hubungan denganmu, tak memberimu makan minum, tak bertanggung jawab atas hidupmu?” Si bungsu membenarkan pendapat saya itu.
Saya pun teringat cerita seorang perempuan korban penyintas UU ITE. Dia berinisial SM yang sempat traumatis dan sempat ingin mengakhiri hidupnya, berpesan di suatu forum kepada publik. Berhati-hatilah kalau memposting atau berkomentar terhadap sesuatu. Kalau memang misalnya merasa pahit dengan satu hal, dengan teman misalnya, lebih baik diselesaikan baik-baik. Kalau misalnya tak bisa baik-baik, dibawa saja ke jalur hukum, bukan ke sosmed. Karena pengalamannya ‘hanya’ mereview sebuah klinik kecantikan saja, membuatnya berurusan dengan UU ITE, dan itu sungguh membuatnya kapok.
Membaca pengalaman itu membuat saya sungguh-sungguh berpikir. Hidup saya, mungkin juga setiap perempuan sudah hiruk pikuk dengan permasalahan yang tak kunjung selesai. Kalau saya sih, malas untuk menambah masalah baru, yang tak berhubungan; apalagi disebabkan menyenggol sisi ego semata ketika membaca atau menontonnya saja.
Atau, maukah kita lebih jujur. Jangan-jangan kita ikut dalam keramaian konflik perang pendapat di dunia maya merupakan manifestasi kebutuhan untuk diakui, yang belum banyak didapatkan di dunia nyata.
Bila demikian, bukankah lebih baik kalau energinya dipakai ke hal berikut.
“Buatlah dirimu diakui dengan perbuatan baik, karya inspiratif dan berbuat lebih banyak sumbangsih bagi orang lain.”
Yuk, kita bersama-sama. Mulailah sejak detik selesai kamu membaca tulisan ini.
Tabik! (IM)
Leave a Reply