Mengawali tahun baru dengan ‘tertawa-tertawa-tertawa-nangis-(belum kering air mata)-tertawa-nangis-terharu-tertawa-dan ditutup dengan applause’, kesan saya sepanjang menonton Imperfect: Karier, Cinta, dan Timbangan. Film karya Ernest Prakasa ini mengisahkan tentang Rara (diperankan Jessica Milla) yang merasa insecure sejak kecil karena selalu dibanding-bandingkan dengan adiknya, Lulu (diperankan Yasmin Napper) yang cantik, putih, tinggi, dan langsing. Sementara Rara ‘kelebihan’ berat badan, berkulit agak hitam, rambut keriting, dan cenderung cuek dengan penampilan.
Sudah mengalami bodyshaming sejak kecil membuat Rara tebal kuping dan tidak lagi terlalu memikirkan omongan orang lain, termasuk ibunya sendiri (diperankan Karina Suwandi) dan geng sosialitanya serta teman-teman di kantor tempatnya bekerja. Namun, di balik ketidaksukaan orang-orang lain terhadap penampilan Rara, ada sosok Dika (diperankan Reza Rahardian), yaitu kekasih Rara yang mencintai dan menerima Rara apa adanya. Bahkan, dalam salah satu scene film terjadi dialog Dika kepada Rara, “Jangan pernah berubah ya.”
Saya menggarisbawahi nilai-nilai yang disuguhkan Ernest dalam banyak adegan dan dialog. Di satu sisi ingin menggambarkan ironi yang berkembang di masyarakat tentang kecantikan perempuan, bahwa cantik (nice looking) masih menduduki capaian tertinggi yang harus diraih oleh para perempuan. Entah bagaimana caranya mendapatkan body goal, kulit putih berseri, rambut lurus legam panjang, dan semua standar yang melekat pada perempuan agar dianggap cantik. Sementara perempuan yang jauh dari standar cantik tersebut cenderung dipandang remeh dan tidak mendapatkan tempat di ruang publik, khususnya yang bersinggungan dengan ruang laki-laki. Misalnya saja diceritakan dalam film, ketika Rara dan temannya Ve (diperankan Shareefa Danish) bermaksud ingin bergabung satu meja dengan dua orang laki-laki teman sekantornya dikarenakan tempat duduk full. Kedua laki-laki tersebut jelas-jelas menolak halus kehadiran Rara dan Fey dengan beralasan bahwa dua kursi kosong sudah bertuan. Tidak jauh dari penolakan tersebut, datang Marsha (diperankan Clara Bernadeth) dan dua temannya yang terkenal cantik, dua laki-laki itu langsung mempersilakan ketiganya bergabung.
Klimaks dari film disajikan dengan pernyataan Kelvin (diperankan Dion Wiyoko), Bos tempat Rara bekerja. Diceritakan, Rara adalah salah satu staff bagian riset sebuah perusahaan yang bergerak di produk kecantikan bernama Malati. Sejak menduduki posisi tersebut skill dan potensi Rara sudah diperhitungkan. Bahkan ketika sang manajer resign, sang Bos mempertimbangkan Rara dan Marsha untuk menduduki jabatan manager. Namun, yang juga menjadi pertimbangan Kelvin adalah bahwa otak saja tidak penting. Penampilanlah yang utama untuk dapat menduduki jabatan manajer. Sebagaimana dialog Kelvin kepada Rara, “Seandainya kamu dan Marsha bisa merger, otaknya kamu dan fisiknya Marsha.” Kejadian tersebutlah yang mengubah seluruh penampilan Rara. Ia benar-benar mengikuti cantik ideal sebagaimana yang dikonstruk oleh masyarakat.
Di sisi lain, Ernest melakukan gebrakan dalam filmnya bahwa cantik ideal yang kerap ditawarkan oleh produk-produk komestik berhasil ia transformasikan menjadi cantik itu ada dalam keberagaman. Cantik tidak hanya putih dan langsing. Sebagaimana digambarkan wajah-wajah perempuan Indonesia, Neti (diperankan Kiky Saputri) yang selalu pede dengan body-nya. Begitu juga Maria (diperankan oleh Zsazsa Utari) gadis dari Indonesia Timur yang selalu berharap rambutnya lurus; gadis Sunda berjilbab dan merasa giginya keriting, Endah (diperankan Neneng Wulandari, Prita (diperankan Aci Resti) yang memiliki tompel di dahinya dan selalu menutupinya. Dalam film, produk Malati akhirnya naik daun lagi melalui gebrakan yang dilakukan Rara setelah melewati masa-masa di mana ia sedang tidak menjadi dirinya sendiri. Bahkan Rara tidak lagi mempedulikan tampilannya, baginya “Angka di timbangan tidaklah penting, yang penting nilainya.”
Mitos Kecantikan telah Menyerang Para Perempuan
Betapa cantik ideal bukanlah harga murah. Sekian lama informasi tentang adanya perempuan yang menderita eating disorder untuk menjadi langsing menghiasi dunia warta. Perempuan rela ditusuk-tusuk pipinya untuk ditanam benang, mengikhlaskan tubuhnya disuntik rutin, merelakan alis legamnya untuk disulam, bahkan sampai menyalahi kodrat bahwa kita telah dilahirkan dengan ras kulit kecoklatan, kemudian mengubah dengan berbagai upaya karena ingin menjadi putih. Dengan begitu bukankah perempuan adalah korban untuk menjadi cantik? Kita juga telah melupakan bahwa tubuh kita menangis kesakitan setiap kali kita mereparasinya untuk mendapat sebuah kata mutlak, yaitu cantik. Inilah persoalan pelik yang disoroti oleh Naomi Wolf dalam bukunya The Beaty Myth: How Images of Beauty Are Used Agaist Women (2002).
Dalam tulisannya, Naomi Wolf menilai adanya upaya dari industri kecantikan, khususnya kosmetik dan fashion yang menjadi pangkal dari sistem patriarki untuk mengontrol kebebasan perempuan. Patriarki dalam industri kecantikan tidak hanya menindas perempuan secara langsung tapi juga menyerang perempuan dengan mitos kecantikan yang telah mereka konstruk. Selanjutnya, Naomi Wolf menyebutkan bahwa mitos kecantikan lahir dari idealisasi yang melayani kepentingan tertentu. Ia menyamakan mitos kecantikan di era modern sama halnya seperti alat penyiksaan “iron maiden”.
Namun lagi-lagi media massa khususnya iklan memainkan perannya, mereka menyuntikkan hegemoni patriarki secara terus-menerus. Kaum perempuan diserang, baik secara fisik maupun psikologisnya terhadap peran-peran mereka, dengan menempatkan mereka dalam perasaan yang tidak pantas dan kurang nyaman. Ironinya di sisi lain, mitos kecantikan ini terus subur dan dipromosikan secara besar-besaran melalui media massa, baik cetak maupun online. Adapun mitos kecantikan tersebut bisa kita nikmati setiap hari melalui publik figur yang kita tonton di televisi dan media sosial serta melalui majalah-majalah kecantikan.
Sungguh sebuah ironi dan kita terpaksa untuk ikut serta di dalamnya. Namun apa pun pilihan hidup perempuan terhadap tubuhnya, tidaklah elok kemudian kita menggurui dan mendoktrin serta menghakimi pilihannya. Bagaimanapun tubuh perempuan adalah milik Allah dan miliknya, maka kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya. Sebuah catatan menarik dari Gloria Steinem tentang mitos kecantikan, The Beauty Myth is a smart, angry, insightful book, and a clarian call to freedom. Every woman should read it.
Leave a Reply