Seorang perempuan tua bersimpuh di atas lantai. Tubuhnya menolak ketika petugas hendak memapahnya menuju kursi saksi. Ia bersikukuh meminta hakim menghentikan sidang. Randu Agung yang duduk di sebelah kanan—di samping pengacara yang disediakan negara untuk rakyat miskin—tersenyum kecut.
“Sebagai ibu dari terdakwa sekaligus saksi dalam sebuah peristiwa, bisakah Ibu menceritakan seluruh kejadian dengan sebenar-benarnya kejadian tanpa ada yang disembunyikan?”
Bibir ibu tua itu bergetar. Ia memandang Hakim Ketua yang menatapnya tajam.
“Ibu Munarsih. Bisakah Ibu menceritakan seluruh kejadian dengan sebenar-benarnya tanpa ada yang disembunyikan?”
Ruang sidang hening. Pengunjung tampak termangu ketika perempuan tua itu akhirnya mengangguk setuju.
***
“Wahai, Bapak Hakim yang terhormat. Nama saya Munarsih, ibu dari Randu Agung, yang kini duduk di samping kanan saya sebagai terdakwa kasus pembunuhan. Sebagai ibu yang melahirkannya ke dunia, saya bersaksi bahwa Randu tak pernah saya ajari membunuh, mencuri, berjiwa dengki, minum arak, atau berdusta sebagaimana lima larangan yang diterapkan pada zaman Gajah Mada. Tiap hari, saya menyusuinya dengan getah halal. Meski melarat menjadi kawan karib kehidupan”.
“Kami hidup bersama selama dua puluh sembilan tahun lamanya. Sejak kecil, saya mengenalkannya nama-nama pohon. Mulai dari kapuk, mahoni, waru, jati, hingga trembesi. Saya ajarkan ia ilmu alam agar kelak bisa memetik hikmah dari apa yang tersaji. Katakanlah pohon jati yang hidupnya baru berarti ketika berusia puluhan tahun. Namun, lama waktu bersemai dalam tanah hingga menjulang ke atas, akan sebanding dengan ketahanan tubuhnya saat menjelma kursi, lemari, hingga meja makan”.
“Bertahun-tahun saya mengajarinya membaca kehidupan. Sebab saya ibunya dan ayahnya telah lama tiada. Darsa, suami saya, pamit merantau sejak Randu berusia sebulan dalam kandungan. Ada yang berkabar ia dimakan macan. Ada pula yang berkabar terperosok lalu mati di jurang. Bahkan ada yang berkabar kalau menemukan perempuan. Saya tak tahu. Saya telah mengubur namanya dalam-dalam, dan…”
“Sebaiknya Ibu Munarsih menceritakan peristiwa yang berhubungan langsung dengan pembunuhan.”
“Maaf, Bapak Hakim Ketua. Saya hanya ingin menyampaikan sedikit riwayat anak saya. Barangkali berguna dalam menentukan keadilan. Saya tahu, sebagai Hakim Ketua yang segala putusan ditentukan oleh bunyi palu, peristiwa pembunuhan itu adalah pintu untuk menentukan pasal mana yang akan diberlakukan pada anak saya. Namun, Hakim Ketua yang budiman. Sungguh, pasal-pasal yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tak akan mampu menampung hukuman yang patut diberikan pada anak saya. Sebab sebagai ibu, wahai, Bapak Hakim, kesalahan anak adalah dosa. Sebejat-bejatnya Randu, ia tetap anak yang saya lahirkan dari rahim saya sendiri. Saya susui ia sepanjang siang-malam. Saya rawat penuh kasih sayang. Kalaupun sekarang menghilangkan nyawa orang, bukan berarti statusnya sebagai seorang anak akan hilang bersamaan hukum pasal”.
“Sayangnya, Bapak Hakim. Apa-apa yang saya ucapkan di atas, bukan maksud mengaburkan kejadian pada malam itu. Di mana langit meringkuk dalam gelap, sebetulnya ada setitik cahaya yang tampak kemilau, tetapi kalah akan pekat malam. Malam itu, Bapak Hakim. Saya melihat sendiri betapa Randu memenggal kepala seorang lelaki. Saya melihat tangannya gemetar menggengam kapak, sedangkan pada ujungnya, segumpal darah menetes lantas menetas menjadi prahara. Tentu saya memekik ketakutan. Saya menghardiknya kasar. Sebelum akhirnya tubuh saya lunglai mendapati lelaki yang lehernya ditebas Randu, tergeletak di samping ranjang”.
“Ibu Munarsih tidak menyadari kedatangan Randu? Atau mungkin anak Ibu memiliki dendam pada korban?”
“Bagaimana mungkin Randu memiliki dendam, sedangkan ia tak pernah bertemu dengan lelaki itu sebelumnya.”
“Arang tak akan jadi debu apabila tak disulut api. Tak mungkin Randu menebas kepala kalau ia tak punya masalah. Mungkinkah akar muasalnya sebab Randu melihat ibunya seranjang dengan seorang lelaki?”
Pengunjung sidang bersorak-sorai. Kamera-kamera wartawan sibuk mengambil gambar
“Wahai, Bapak Hakim. Salahkah saya berdekatan dengan lelaki setelah sekian tahun tak pernah dijamah? Apalagi ia Darsan. Suami saya yang menghilang dua puluh sembilan tahun.”
Pengunjung sidang tercengang. Suasana kembali riuh. Hakim mengetuk palu berkali-kali menenangkan suasana
“Jadi, Randu melihat ibunya seranjang dengan lelaki?”
“Sebelum saya menjawab pertanyaan Bapak Hakim, kiranya perkenankan saya mengajukan tanya terlebih dahulu untuk ditelaah kembali. Menilik ucapan Bapak Hakim yang menyebut saya seranjang dengan lelaki, saya ingin bertanya, mengapa lelaki kerap memandang perempuan sebatas selangkangan? Mengapa selaput dara perempuan adalah penentu moral, dan apabila dirasa sobek, maka rusaklah seluruh hidupnya? Mengapa lelaki bahkan perempuan sendiri pada kaum perempuan yang lain, mudah merendahkan martabat perempuan lewat selangkangan?”
“Baiknya Ibu Munarsih ceritakan apa yang terjadi pada malam itu sampai-sampai Randu membunuh korban.”
“Bapak Hakim tak ingin menjawab pertanyaan saya?”
“Sebaiknya Ibu ceritakan tentang korban saja.”
“Baiklah, Bapak Hakim jika itu yang Bapak inginkan. Jujur saja, saya tidak tahu, apakah Darsan memandang selaput kemaluan sebagai sekat penilaian. Yang saya tahu, ia pergi sebulan setelah perkawinan. Ia juga mengakui kalau di perantauan beristri lain, dan sekarang pulang setelah bangkrut di tanah seberang. Pada malam itu, kami memang seranjang. Tapi saya tidak menjamah tubuhnya meski dia memaksa. Saya hanya mendengarkan seluruh pengakuannya dengan dada gemetar tanpa merasa kasihan. Sampai akhirnya dia kembali memaksa. Saya menolaknya mentah-mentah. Ia menyebut saya sundal. Kalimat itulah yang didengar Randu yang kebetulan datang beronda dan membutakan matanya sehingga menebas kepala Darsan. Untuk itu, Bapak Hakim. Saya mohon keadilan untuk membebaskan Randu, anak saya”.
“Alasan Randu yang mendapati ucapan korban menyebut ibunya pelacur sehingga memutuskan membunuh akan kami pertimbangkan. Namun menghilangkan nyawa orang lain, negara tidak pernah membenarkan tindakan tersebut bahkan oleh Tuhan itu sendiri.”
“Kalau lelaki menghilangkan selaput dara perempuan, apakah negara memperkenankan tanpa menghukumnya, wahai, Bapak Hakim?”
“Maksud Ibu Munarsih?”
Duhai, Randu, anakku yang malang. Maafkan Ibu menyampaikan ini di depan umum. Barangkali hanya ini yang dapat mengurangi hukumanmu meski aib lama harus dibongkar. Kalaupun kau tetap dibui, setidaknya telah kuketahui bahwa keadilan tak ada di muka bumi. Dan kelak, ketika kau mendapatiku menjadi tulang-belulang, ingatlah kalau aku tak menganggapmu sebagai pembunuh, melainkan sebagai pahlawan yang memahami kaum terbuang.
“Ibu Munarsih. Sebaiknya Ibu jelaskan perkataan Ibu tadi. Jika tidak, Ibu dapat dikenai pasal Pencemaran Nama Baik dan dapat dipidana karena telah menghina negara.”
“Wahai Bapak Hakim sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Saya tak ada niat menghina negara. Saya hanya ingin bertanya saja, ketika seorang perempuan diperkosa perangkat desa lalu memaksa lelaki lain menikahi si perempuan dengan iming-iming rupiah, apakah negara diam saja? Itulah yang saya alami. Lantas, adakah negara yang Bapak Hakim junjung tinggi ini menghormati perempuan seperti saya? Adakah negara memikirkan latar belakang Randu, putra saya yang merupakan anak dari korban pemerkosaan terpaksa membunuh lelaki yang menyebut ibunya pelacur? Adakah negara menimbang, bahwa perbuatan anak saya mengandung unsur kebaikan sebab membela ibunya, padahal di luar sana, banyak lelaki yang dalam batok kepalanya memandang perempuan sebatas selaput dara?”
Seluruh hadirin tercengang. Hakim Ketua menutup sidang dengan mengetuk palu satu kali, tanpa menanggapi perempuan tua yang berdiri mengacungkan dua jemari membentuk huruf V.
Leave a Reply