Saya keasyikan membaca bagaimana cara Syekh Ibnu ‘Asyur menafsirkan ayat 34 Surah an-Nisa dalam kitabnya, Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir. Ini adalah ayat qiwamah. Yang ingin saya zoom in adalah penggalan ayat “ar-rijalu qawwamuna ‘ala-n-nisa”. Bapak maqashid as-syari’ah abad 19 ini menafsirkan ayat ini sekuarang-kurangnya dengan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan kebahasaan/linguistik. Kedua, maqashid as-syariah. Ketiga, studi banding lintas madzhab.
Kata “al-rijal” dan “al-nisa” menurutnya, secara kebahasaan, bahwa ‘al‘ tersebut adalah ‘al ta’rif‘ berfungsing untuk makna yang ditentukan/definitif, bukan makna yang umum (nakirah), dimana ‘al’ itu berfaidah istighraqin ‘urfiyyin, yakni makna tertentu yang mencapuk keseluruhan subyek makna yang bersifat keadatan/ketradisian.
Maksudnya, al-rijal yang artinya lelaki dan al-nisa yang artinya perempuan, itu mencakup semua lelaki dan semua perempuan, akan tetapi bersifat kebiasaan atau ‘urfiy.
Istrighraq ‘urfiy ini jika dijelaskan bahwa “lelaki adalah pemimpin perempuan” adalah bersifat keumuman saja, bukan bersifat universal berlaku bagi semua laki-laki dan semua tempat dan keadaan, bukan menjadi satu keharusan dan pakem yang pokoknya harus diterima apa adanya. Ini konsekuensi makna dari pandangan Ibnu ‘Asyur mendudukkan ‘al’ sebagai istighraq ‘urfiy.
Lebih lanjut, lelaki dan perempuan dalam ayat itu terkait dengan konteks tradisi, kebiasaan masyarakatnya, dan lokalitas di mana mereka hidup. Lebih jelasnya, lelaki dan perempuan dalam berrelasi memiliki pola yang beragam, tidak seragam, lantaran tergantung tradisi dan kebiasaan setempat.
Berbeda dengan istghraqu al-jinsiy yang artinya mencakup semua lelaki dan perempuan dalam semua keadaan, tempat dan waktu. Saya pribadi terus terang terkejut ketika Ibnu ‘Asyur menawarkan konsep istighraq ‘urfiy ini. Sebab setahu saya dalam kitab Nahwu hanya ada istighraq al-jinsiy. Ternyata benar bahwa yang dimaksudkan istighraq itu adalan al-jinsy yang artinya shifu al-dzukur (golongan lelaki) dan shinfu al-inats (golongan perempuan) dari jenis kelamin manusia tapi secara keumuman.
Lalu, untuk memperkokoh argumentasi penafsirannya, Ibnu ‘Asyur mengutip dari kitab al-Shahih–maksudnya adalah kitab al-Shahih al-Bukhari–bahwa sesungguhnya Umar bin al-Khatthab berkata “Kami, golongan Muhajirin, adalah kaum yang menguasai perempuan kami. Maka ketika golongan Anshor merupakan kaum yang dikuasai oleh perempuan mereka, sehingga perempuan kami mengambilnya dan beretika dengan etika perempuan Anshor”.
Sahabat Umar bin al-Khatthab ini menginformasikan bahwa ada perbedaan relasi lelaki dan perempuan antara penduduk Mekah dan penduduk Madinah. Mekah adalah Muhajirin dan Medinah adalah Anshor. Mekah umumnya lelaki yang memimpin perempuan, dan Medinah umumnya perempuan yang memimpin lelaki. Tukar tempat semacam ini dianggap sebagai keadaan yang normal saja.
Ibnu ‘Asyur pun menjelaskan dengan bagus sekali pada arti kata qawwam, bahwa “wa qiyamu al-rijali ‘ala al-nisai huwa qiyamu al-hifdzhi wa al-difa’, wa qiyamu al-iktisabi wa al-intaju al-maliy” (dan kepemimpinan lelaki pada perempuan adalah dengan menegakkan penjagaan, pembelaan, bekerja, dan menghasilkan materi). Pun sebaliknya, jika perempuan yang memimpin. Sehingga menurut Ibnu ‘Asyur bahwa lelaki boleh menjadi pemimpin bagi perempuan, atau perempuan boleh menjadi pemimpin bagi lelaki. Dalam konteks domestik, adalah absah jika ada ayah rumah tangga sebagaimana ibu rumah tangga.
Bersambung
Leave a Reply