Neswa.id-Perlu diakui, hingga saat ini, wacana bias gender masih menjadi tantangan bagi kita semua, utamanya bagi para pejuang kesetaraan gender. Salah satu contohnya adalah sebagian masyarakat kita masih menempatkan para perempuan sebagai makhluk kelas dua, yang tugasnya akan kembali ke ranah domestik. Ya, mereka akan dihadapkan dengan sumur, dapur, dan kasur. Wacana bias gender semacam itu, apabila terus kita biarkan, maka saya kira para perempuan akan mengalami kemunduran yang sangat keterbelakang.
Para perempuan tidak akan memiliki akses untuk berpendidikan tinggi, mengembangkan potensinya, bahkan para perempuan akan terus menerus terbelenggu dalam rantai diskriminasi, marjinalisasi dan ketidakadilan.
Terlebih, wacana bias gender ini juga, kerap kali menjadi alat bagi sebagian orang untuk mendiskreditkan para perempuan. Mereka akan menggunakan dalil keagamaan untuk melegitimasi para perempuan.
Oleh sebab itu, wacana bias gender harus benar-benar kita lawan dan selesaikan dengan menghadirkan wacana baru bahwa perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Perempuan adalah makhluk yang setara dengan laki-laki. Dia mempunyai kesempatan yang sama baik untuk pendidikan, karier maupun tentang kehidupannya.
Tugas domestik yang selama ini dikenal oleh masyarakat menjadi tugas perempuan, melalui wacana baru ini, kita harus menegaskan bahwa tugas tersebut menjadi tugas yang harus dilakukan bersama, laki-laki dan perempuan. Begitupun dengan pekerjaan di publik, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama.
Namun sebelum jauh menghadirkan wacana baru, rasanya penting bagi kita semua untuk mengetahui beragam wacana bias gender yang masih berkembang di tengah masyarakat kita. Beragam wacana bias gender ini dapat menjadi tolak ukur kita agar kita mampu melawannya, dan menyelesaikannya dengan wacana baru yang lebih berkeadilan.
Berikut tujuh wacana bias gender seperti yang dikutip di dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan karya KH. Husein Muhammad.
Pertama, tipe istri yang salihah. Wajib bagi seorang istri untuk senantiasa menunduk malu di hadapan suaminya, tidak hanya melawan menundukkan pandangan matanya, patuh kepada perintah suami, diam ketika suami sedang bicara, berdiri ketika ia datang (pulang) dan ketika pergi, memperlihatkan rasa cinta dan kegembiraan kepadanya, menawarkan dirinya ketika akan tidur, menebarkan keharuman tubuhnya, membersihkan mulutnya.
Kedua, istri wajib menyerahkan tubuhnya kepada suami. Seorang istri tidak boleh menolak memberikan tubuhnya kepada suami, meski sedang berada di atas punggung unta.
Kalaupun seorang istri telah menghabiskan malamnya untuk ibadah dan siangnya untuk puasa, tetapi ketika suami mengajaknya ke tempat tidur, istri terlambat memenuhinya, maka ia akan diseret, dibelenggu, dan dikumpulkan bersama para setan, lalu dimasukkan ke dalam neraka yang paling dalam.
Ketiga, tugas istri adalah urusan domestik. Urusan tamu, semua urusan politik, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi adalah urusan-urusan Anda (laki-laki). Anda berhak tidak memperkenankan ia (perempuan) untuk ikut campur di dalamnya, kecuali sekadar yang dibutuhkan.
Sementara, urusan kamar, dapur, dan urusan kamar yang lain, serta kerumahtanggaan adalah urusan khusus perempuan. Ia berhak menolak campur tangan Anda (laki-laki), kecuali sekadar yang diperlukan.
Keempat, istri dilarang keluar rumah, kecuali dengan izin suami. Seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa izin suaminya. Jika memaksakan diri keluar, maka ia akan dilaknat oleh para malaikat langit dan bumi, malaikat pemberi rahmat, dan malaikat penyiksa, kecuali jika ia bertaubat, meskipun suami melarangnya tanpa alasan yang benar (dengan zhalim).
Kelima, suami boleh memukul istri. Suami boleh memukul istrinya karena menolak berhias, menolak diajak tidur, keluar rumah tanpa izin suami, membuka wajahnya di hadapan laki-laki bukan mahram atau bercakap-cakap dengannya.
Keenam, kerelaan Tuhan tergantung pada kerelaan suami terhadap istrinya. Tubuh tidak akan menerima shalat dan puasa seorang istri yang membuat marah suami sampai ia bertaubat dan kembali (berbaik hati kepada suami). Salah satu tanda kerelaan (ridha) Tuhan kepada seorang perempuan adalah jika suami ridha kepadanya.
Ketujuh, poligami sebagai ketetapan agama. Sepanjang ada pernikahan, maka talak akan tetap ada, demikian juga poligami. Ia akan tetap ada sepanjang kehidupan masih berlangsung. Tetapi, keduanya harus berdasarkan syarat-syarat tertentu.
Atas dasar demikian, kaum perempuan perlu memahami dua ketentuan agama ini. Meyakini dua hal ini adalah bagian dari muhkamatud din (ketentuan agama) dan mengingkarinya dapat merusak akidah (keimanan).
Dengan demikian ketujuh wacana bias gender yang masih mengakar kuat di tengah masyarakat kita itu, setidaknya bisa kita selesaikan dengan menghadirkan wacana baru bahwa Islam hadir untuk memberikan kasih sayang, keadilan, dan kemaslahatan kepada semua makhluk, baik kepada perempuan maupun laki-laki.
Maka dari itu semua wacana bias gender di atas sangat bertentangan dengan praktik ajaran Islam. Islam secara tegas melarang para suami melakukan pemukulan atau kekerasan kepada perempuan. Bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri meminta kepada para perempuan saat memilih pasangan jangan cari pasangan yang suka memukul.
Permintaan tersebut sebagaimana di dalam hadis dari Shahih Muslim. Isi hadis tersebut sebagai berikut:
Dari Fatimah binti Qais Ra., beliau berkata, “ketika beberapa orang melamarku, di antara mereka adalah Mu’awiyah dan Abu Jahm.” Nabi Muhammad Saw memberi saran, “Mu’awiyah itu tidak memiliki harta sama sekali. Sementara Abu Jahm sangat keras terhadap perempuan—suka memukul. Pilihlah Usamah bin Zaid” (Shahih Muslim).
Larangan jangan memilih laki-laki yang suka memukul perempuan sebagai pasangan ditegaskan, karena dalam sebuah pasangan, jika salah satunya berani melakukan pemukulan, apalagi membiasakannya, maka jelas sudah tidak mungkin lagi ada penghormatan dan kasih sayang salah satu kepada yang lain.
Oleh sebab itu, perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Ia sakit jika dipukul dan terhina jika direndahkan. Sebaliknya, ia akan bahagia jika dihormati, senang jika dicintai, dan bangga jika dimuliakan. Pelaku kebaikan mendapat pahala, dan pelaku keburukan memperoleh dosa. Siapa pun pelakunya. Wallahu a’lam. (IM)
Leave a Reply