Apakah anda pernah mendengar jika khalifah Abbasiyah kenamaan Harun al-Rasyid dahulunya mempunyai ratusan harem (jawari), bahkan konon sampai ribuan?. Ya dalam catatan sejarah, Harun Al-Rasyid mempunyai ratusan bahkan ribuan selir yang berasal dari berbagai daerah yang dikenal dengan wanitanya yang rupawan, elok dan cantik jelita. Buku Sulthanat Manshiyyat (Ratu-ratu yang terlupakan) karya Fatimah Mernisi adalah salah satu referensi yang bisa dipakai untuk studi tentang harem. Mernissi mengupas secara detail dan jelas kehidupan para selir dalam institusi harem dan juga memunculkan kembali nama-nama besar sultanah berpengaruh dalam sejarah Islam yang belum cukup populer.
Perlu diketahui bahwa budaya Arab dahulu mengenal pembagian wilayah kehidupan ke dalam dua bagian; harem untuk wanita dan kehidupan publik untuk pria. Merujuk pada pengertian yang sederhana secara teoritis ruang publik adalah arena untuk mengambil inisiatif dan membuat keputusan-keputusan dalam semua masalah terutama masalah politik. Sebaliknya rumah tangga yang kerapkali dianggap hanya untuk perempuan adalah wilayah kehidupan seks, dan reproduksi. Kata harem sendiri sesungguhnya mengungkapkan suatu gagasan tentang ambang pintu, tentang perbatasan, tentang pemisahan antara dua wilayah dan merupakan ruang yang dilindungi.
Secara singkat dapat dipahami bahwa harem adalah selir atau concubine. Mereka adalah selir-selir Sultan yang hidup dan beraktivitas di sebuah ruangan khusus di kerajaan dan tidak boleh bersentuhan dengan dunia luar. Biasanya lokasi istana harem tak jauh dari bangunan utama kerajaan. Selir-selir yang berada dalam istana harem jumlahnya bisa puluhan, ratusan atau bahkan ribuan. Selir-selir ini bertugas untuk menghibur dan juga menemani Sultan, tak jarang para selir yang memepunyai kecerdasan lebih dan pandai akan dimintai pertimbangan untuk urusan kenegaraan.
Pada awalnya, para harem tersebut merupakan seorang budak yang dibeli dari daerah lain, kemudian dipilih oleh petugas kerajaan khusus istana harem (para eunuch) untuk menjadi selir dan berhak hidup di sebuah istana harem. Menjadi selir dalam institusi harem adalah sebuah capaian yang prestisius, karena jika terpilih untuk menemani sultan mereka dapat secara langsung bertatap muka bahkan bisa menjadi ratu kerajaan.
Budaya harem adalah praktek dan tradisi yang banyak berkembang dan hampir dipraktekkan oleh seluruh masyarakat Arab ketika itu. Apakah tradisi serupa hanya dipraktekkan masyarakat Muslim Arab? tentu tidak. Di daerah Afrika, pemeluk agama Kristen, juga mempraktekkan hal serupa. Salah satunya seperti yang dikisahkan di sebuah buku berjudul Ich Wurde im Harem Geboren (Saya Ingin Lahir di Harem). Buku ini berkisah tentang harem modern, seorang perempuan Bavaria, kulit putih, yang dijadikan selir seorang raja Kristen. Dan ia mendapatkan perlakuan khusus karena berkulit putih.
Realita harem atau selir-selir raja yang biasanya merupakan wanita pilihan adalah fakta sejarah, lintas dinasti, peradaban dan kawasan. Dalam sejarah Turki Usmani dituliskan bahwa di masa pemerintahan Suleiman the Magnificent, sekitar tahun 1520 sampai pertengahan abad 17, peran para harem mencapai puncaknya. Para selir kerajaan mendapatkan peran yang luas dan berkembang. Tidak hanya di dalam institusi harem saja, bahkan mereka juga mempengaruhi keputusan-keputusan politik Sultan. Penelitian yang dilakukan pun merujuk dari literatur awal yang paling otoritatif yang berisi tentang pengaruh Roxelana terhadap kebijakan sang Sultan. Antara lain, The Turkish Letters karya Ogier de Busbecq, duta besar Ferdinant I di Konstantinopel antara tahun 1554-1562 dan juga The Travel Narrative karya Luidgi Bassano.
Istana harem kerapkali disebut sebagai sebuah institusi dalam kerajaan karena memiliki sistem dan pemerintahannya sendiri. Semacam kerajaan dalam kerajaan. Para selir disiapkan untuk menjadi pendamping sultan maka mereka juga harus mendapatkan pendidikan, pengetahuan, pengalaman yang baik dan maju. Dalam institusi harem, para selir diwajibkan untuk mendapatkan ragam pengetahuan, baik seni, matematika, astronomi, ilmu-ilmu agama, dan juga politik. Tak jarang dari institusi inilah lahir produk-produk seni baru baik seni pahat, monumen, sastra dll yang kemudian menjadi trend di masyarakat setempat, seperti yang dijelaskan dalam buku The Imperial Harem: Women and Sovereignity in the Ottoman Empire, karya Leslie P. Peirce.
Harem pada faktanya tidak hanya menjadi ruang kesenangan sultan dan tempat di mana erotisme menggema dan bersua seperti yang diimajinasikan orientalis Barat. Harem merupakan pusat di mana kekuasaan diperbincangkan dan dijalankan. Dari harem lah kebijakan-kebijakan publik kerapkali dicanangkan, hingga perkembangan seni juga sastra justru mendapatkan ruang dan tempat.
Leave a Reply