Neswa.id-Hari pertama rangkaian Kongres Ulama Perempuan Indonesia diisi dengan tiga halaqah dalam satu waktu. Peserta bebas memilih halaqah yang diminati. Halaqah ini bersifat interaktif, semua boleh berbicara dan berdiskusi, pembicara di panggung hanya memberi materi untuk memantik diskusi.
Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama tahun 2014-2019 sebagai pemantik di Halaqah Kebangsaan memberi warning para ulama perempuan perihal tantangan yang sangat mungkin ditemui; pertama, adanya sekolompok orang beragama yang justru mengingkari inti pokok ajaran agama. Kita akui adanya orang yang berislam yang justru merusak, alih-alih mendukung dan me memusnahkan, malah menghalangi kemaslahatan. Padahal inti dari agama Islam adalah menebar kasih sayang.
Kedua, lahirnya tafsir-tafsir keagamaan tidak bertanggung jawab. Sangat merendahkan perempuan, bertolak belakang dengan keadilan gender. Maka akibatnya perempuan pada era sekarang masih tetap mengalami diskriminasi, marginalisasi, subordinasi dan semacamnya.
Ketiga, adanya regulasi aturan Negara yang belum pro keadilan gender. Ini salah satu akibat dari suara perempuan yang terbungkam, berbicara dan mengakui eksistensi perempuan adalah hal keliru, berbicara pengalaman sosial dan biologis perempuan dianggap tabu, kemudian sampailah pada giliran perempuan dianggap tidak ada.
Begitulah gambaran yang terjadi dalam regulasi aturan Negara. Seluruh aturannya didominasi laki-laki sehingga rumusannya hanya berdasarkan perspektif laki-laki yang menganggap dirinya kuat. Tidak memikirkan perempuan dan orang-orang yang berkebutuhan khusus. Hal ini berakibat pada tantangan selanjutnya. Praktik kemasyarakatan yang belum berspektif perempuan dan anak.
Dengan demikian, identifikasi solusi dan langkah-langkah nyata perlu juga dipikirkan. Pak Lukman menyebutkan 3 rekomendasi untuk para ulama perempuan yang tetap antusias mendengarkan meski cuaca mulai panas. Pertama melakukan identifikasi kutub-kutub ekstrim, praktek beragama yang berlebihan, terlalu ketat atau terlalu longgar ghuluw atau tathorruf, baik dalam cara pandang dan atau sikap yang justru mengingkari inti pokok ajaran agama –yang ushuli, bukan yang particular.
Artinya ajaran agama yang usuli (inti agama) tidak bisa ditolerir, apalagi diubah. Maka ajaran agama yang bersifat usuli pasti sama. Seluruh umat Islam pasti meyakini bahwa Allah satu, bersifat sempurna. Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Maka dalam hal ini tidak boleh ada satupun yang mengingkari.
Sedangkan yang partikular kita harus toleransi. Memahami adanya perbedaan budaya dan kebiasaan di setiap daerah. Misal di Negara Indonesia ada upacara pengibaran bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Warga Negara Arab, misalnya, tidak bisa mengharamkan praktik ini karena ini bersifat partikular dalam agama, bukan inti dari ajaran agama.
Kedua, merumuskan kebijakan dalam mengatasi menghadapi tantangan yang teridentifikasi. Kemudian mengadvokasi kepada setiap individu, media, komunitas, syukur-syukur bisa diderivasi kepada seluruh turunan kupi. Penting untuk selalu diingatkan –masih menurut pak Lukman- ada 2 karakter yang senantiasa melekat dalam kebangsaan kita: keberagamaan dan kemajemukan. Relasi antara agama dan Negara sangat kuat; saling membutuhkan (simbiosis mutualisme), negara membutuhkan agama dan agama membutuhkkan Negara.
Nilai-nilai keberagamaannya butuh agama untuk menjalankan nilai-nilai kemajemukan itu sendiri. Karena bangsa Indonesia ciri dasarnya adalah masyarakat agamis. Seakan tidak sah untuk menjalani ritual kenegaraan tanpa legitimasi dari agama. Agama juga memerlukan Negara, agama perlu jaminan proteksi dalam menjalankan perangkat Negara.
Selanjutnya lakukan check and balances antar keduanya guna meneguhkan kebangsaan dan beragama kita. Meski berbeda tapi 2 hal ini bisa diteguhkan secara bersamaan karena merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan membutuhkan. Bukan saling bertentangan.
Dalam rekomendasi dan solusi kepada para ulama perempuan, Pak Suyoto menambahkan harapan besar untuk merawat Indonesia tetap utuh, membawa masyarakat Indonesia yang adaptif, mampu menghadapi dinamika global dan mampu mendorong anak negeri untuk tetap melaju dan progresif.
Masyarakat Indonesia harus adaptif dan progresif karena tantangannya bukan hanya pada SDM nya tapi pada gejala alam yang hanya bisa dikendalikan dengan merawat, menjaga keindahan alam dari kerusakan, dari panas yang berlebihan. Beliau mengajak untuk bersama-sama mengurangi sampah plastik, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperkuat kualitas ekonomi masyarakat luas. (IM)
Leave a Reply