“Kalau ke Makkah-Madinah hanya untuk bersenang-senang, lalu apa bedanya dengan sabu-sabu?” (Sujiwo Tejo)
Kalimat itu tak sengaja saya baca saat berada di Mekah bulan Agustus 2018 lalu. Menyadarkan saya akan arti tangis ketika bus jamaah haji hendak berangkat (maklum, kami orang desa, yang memiliki kebiasaan jika hendak berangkat haji diantar oleh –hampir- seluruh penduduk desa. Mereka berduyun ke kota kemudian menangis bersama atas kepergian jamaah haji. Laiknya orang mati, jamaah haji ditalqīn, didoakan dan ditangisi kepergiannya. Ini bukti bahwa primordialisme masyarakat pedesaan lebih erat dibanding masyarakat madani).
Sesampainya di 2 tanah suci, nyatanya sulit untuk beribadah secara maksimal. Ada seorang kaker yang tidak berhenti memikirkan keluarganya, makan apa mereka, betapa indahnya berangkat bersama keluarga dan hal lain yang memberatkan pikirannya hingga membuatnya tak nafsu makan, akhirnya lemas beribadah ke masjid.
Yang lainnya sibuk memperhitungkan oleh-oleh untuk keluarga (di titik ini saya juga kadang khilaf), atau sibuk merekam ini-itu saat beribadah, tawaf, sa’i, wukuf dan lain-lain. Saya juga fotogenik tapi saya memilih mematikan hp saat beribadah, bukan karena saya agamis tapi ini usaha saya untuk menahan nafsu berfoto yang dapat mengganggu ibadah.
Seakan 40 hari hanya untuk melaksakan rukun haji di tanggal 9-13 Dzul Hijjah, 35 hari selebihnya dihabiskan untuk memanjakan diri, salah satu alasannya “Saya tak mau menforsir tenaga hanya untuk ibadah sunah, takut lengah ketika beribadah wajib” padahal banyak sekali ‘bonus-bonus’ yang dijanjikan Allah di tanah istimewa itu.
Ibarat jual beli, yang mereka pentingkan adalah kembalinya modal, sementara laba yang dihidangkan enggan mereka ambil. Bagi mereka ibadah haji adalah anugerah Tuhan yang tak boleh dinomorduakan dengan ibadah sunah, lebih baik rehat di maktab atau jalan, shopping di pasar menyegarkan pikiran.
Padahal kegiatan yang –katanya- menyegarkan ini seperti sabu-sabu, mengandung zat adiktif yang bikin ketagihan. Tak cukup sekali dilakukan, ia akan meronta meminta hati untuk diulang lagi dan lagi. Tak cukup berbelanja ke pasar sini pergi ke pasar itu, setelah ke market ini pergi ke market itu. Ah begitu pengalamannya saya.
Lantas apa yang harus dilakukan oleh jamaah haji? Jangan-jangan jamaah penganut mazhab seperti di atas (baca: lakukan yang wajib saja) terbuai dengan teks hadis
العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّة
“Antara satu umrah dengan umrah yang lain ada pelebur dosa. Dan tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga”
Mereka cukup melakukan dua kali umrah dan ibadah haji wajib lalu otomatis mendapatkan pelebur dosa dan surga? Tidak semudah itu ferguso.
Hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhārī dan imam Muslim ini kadang oleh masyarakat dijadikan dalih untuk berleha-leha di tanah suci, seakan dengan melakukan umroh 2 kali maka semua dosa akan terhapus dan dengan melakukan haji yang sah surga akan terbuka lebar untukknya.
Betapa murahnya harga surga jika memang sesederhana itu memaknai hadis di atas. Prof Quraisy Shihab dalam bukunya ‘Islam yang Disalahpahami’ mengatakan, haji mabrur bukan sekedar haji yang sempurna hukum-hukumnya sehingga terlaksana sempurna sebagaimana yang dituntut, ia mengutip hadis yang diriwayatkan imam Ahmad dan al-Hakim, dari sahabat Nabi, jābir, bahwa para sahabat bertanya kepada Rasul “Apakah haji mabrur itu?” Beliau menjawab “إطعام الطعام وإفشاء السلام” Memberi pangan dan menyebarluaskan kedamaian.
Meski hadis ini lemah menurut pengarang kitab al-Fath, namun agaknya hadis inilah yang paling tepat untuk makna haji mabrur dan sejalan dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Haji mabrur dimiliki mereka yang mampu berbagi makanan, menjaga lisan dan hatinya dari menyakiti sesama manusia. Kata mereka yang berhaji, ketika haji pengendalian hati sangat diuji, saat berdesakan dengan ribuan orang dikala tawaf, ingin hati meraih Hajar Aswad dan Multazam tanpa menyikut orang lain, mendahulukan lansia yang sudah bertongkat saat lama mengantri kamar mandi di padang Arofah yang jumlah kamar mandinya tentu tidak cukup menampung jutaan jamaah haji.
Untuk menutup artikel ini, kiranya kita perlu sejenak merenungkan rentetan kegiatan ibadah dalam haji.
- Ihram. Setiap cita dalam hidup haruslah diawali dengan tekad kuat untuk mewujudkan dan menyempurnakannya. إنما الأعمال بالنيات “Sesungguhnya segala perbuatan adalah bergantung pada niatnya”. Bulatkan tekad untuk menggapai
- Ṭawāf. Langkah kedua haruslah kita sadari bahwa semuanya adalah milik Allah, hanya pada-Nya kita meminta dan di sanalah spiritualitas tertinggi akan dirasakan. Tak ayal jika ada yang berkata, Kakbah adalah “wujud” Tuhan di muka bumi.
- Sa’i. Hasil tak akan menghianati usaha. Saat kau lengah maka hasilnya tak akan maksimal, ia akan berbanding lurus dengan usaha yang kau lakukan. Sebagaimana kisah sayyidah Hajar yang berkeliling 7 kali Safa-Marwah baru kemudian menemukan air zam-zam untuk anaknya, Ibrahim.
- Wukuf. Saatnya manusia tawakkal, berdoa meminta yang terbaik. Berserah diri pada hasil yang akan diberikan oleh Pemiliknya karena manusia hanya bisa berkehendak kecil, Tuhanlah yang memiliki kehendak besar.
Falyaṭṭawwafū bilBaitil ‘Atīq.
Leave a Reply