Neswa.id-“Gus Dur itu presiden tapi gak kayak presiden” kelakar Innayah Wahid di acara Maling atau Mamat Keliling (26 Januari 2022) saat bercerita tentang kejenakaan perilaku bapaknya ketika menjabat orang nomor wahid di Indonesia. Namun bagi saya, yang lebih awal mengenal Gus Dur sebagai cucu dari pendiri NU, Mbah Hasyim Asy’ari, kata paling tepat untuk menggambarkan Gus Dur adalah, “Gus Dur itu kiai tapi gak kayak kiai”
Presiden dan kiai, 2 status yang kadang berpengaruh pada penampilan dan tingkah laku seseorang. Pada umumnya, julukan presiden ada banyak, di antaranya: presiden mahasiswa, presiden stand up, posisi yang amat bergengsi. Biasanya, orangnya cerdas, necis, stylish. Begitu juga dengan panggilan kiai, pakaiannya sangat berbeda layaknya dipanggil “pak yai” ditambah dengan gaya bicaranya yang dibubuhi satu dua ayat dan hadis.
Nah, Gus Dur tidak demikian. Dari segi penampilan, sejak sebelum diangkat jadi presiden sampai lengser tidak ada sedikitpun berubah. Gus Dur khas dengan batik dan songkok hitam atau peci anyaman yang kini mashur dengan peci Gus Dur, terbuat dari anyaman yang berasal dari tumbuhan. Ada yang bilang dari anyaman belukar mintu, rotan dari Gorontalo.
Bayangan saya, andai bertemu dengan Gus Dur di jalan tanpa body guard pastilah saya tidak mengenalnya sebagai presiden. Pun sebagai kiai. Karena jarang sekali ia memakai sarung apalagi jubah maupun gamis. Bawaan Gus Dur santai, bahkan cenderung sering mengeluarkan joke receh namun sarat makna.
Saat jadi presiden basic kerjanya adalah kemaslahatan bangsa. Meski banyak yang yang belum paham alur berpikir Gus Dur, ide-idenya hampir semuanya out of the box, di luar nalar orang-orang pada biasanya. Mantan ketua umum PBNU tersebut mendapat julukan ‘Presiden Wisatawan’.
Bagaimana tidak, menjadi presiden selama kurang lebih 22 bulan ia mengunjungi negara yang ada di Asean seperti: Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, Yordania, dan Rakyat China. Tak ayal banyak yang mengira bahwa Gus Dur hanya wisata ria, padahal ada maksud tujuan tak terpikirkan di balik itu semua yakni demi keutuhan NKRI.
Menjadi presiden bukan alat untuk memperkaya diri dan keluarga. Buktinya ia tidak getir saat lengser dari jabatan presiden, “Tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan dengan mati-matian” ungkapnya mendinginkan para pendukungnya. Sekali lagi, tujuan utama gus dur adalah kepentingan rakyat. Maka setelah ia tetap mendinginkan hati rakyat agar tidak terjadi pertumpahan darah…. Bahkan pasca jadi presiden ia pernah meminjam uang pada anaknya sebanyak 5 juta untuk pegangan.
Alissa Wahid yang ditanya saat itu seketika miris, sebab bapaknya sangat mandiri, kalau sampai pinjam uang berarti memang tidak ada sepeserpun yang ia pegang. Gus Mus mengamini cerita itu. Ia berkata bahwa Gus Dur sangat kaya karena ketidakbutuhannya pada orang lain. Hingga urusan uang, Gus Dur tidak bergantung pada jabatan atau apapun.
Saat ceramah, cucu mbah Hasyim Asy’ari ini mengisinya dengan cerita-cerita dan joke, saat ditanya mengapa tidak mengutip ayat, ia menjawab “Lah, saya gini aja orang sudah panggil saya kiai. Kalo yang lain kan mesti banyak kutip ayat dan pakai sorban atau jubah baru dianggap kiai” dengan nada khas.
Di akhir podcast Maling dengan putri bungsu Gus Dur, ada harapan besar pada rakyat Indonesia secara keseluruhan dan ia sekeluarga mendukung penuh kerja-kerja positif untuk masyarakat. Inayah sebagai perwakilan keluarga besar Gus Dur juga mengatakan bahwa fokus utama keluarga Wahid adalah mendukung upaya-upaya untuk kebaikan masyarakat. Jadi siapapun yang melakukannya, dari pemerintah (yang sebenarnya memang kewajiban) sampai pada komunitas-komunitas di akar rumput akan di dukung. Hal ini sudah diajarkan oleh Gus Dur dengan menganggap Indonesia adalah sebuah keluarga. Jika ada yang ingin berbeda pilihan maka langkah pertama bukan memusuhinya tapi menanyakan alasannya mengapa ia mufaraqah (berbeda) dari keluarga, untuk kemudian mencari problem solving yang melahirkan kemaslahatan.
Harapan selanjutnya, memajukan daerah-daerah yang termarginalkan sehingga aspirasi dari seluruh anggota keluarga masyarakat Indonesia bisa didengat dengan baik oleh pemerintah tanpa memandang ras, suku dan warna kulit.
Terakhir harapan untuk pemegang wewenang agar secepatnya mengesahkan undang-undang yang kepentingannya/kebaikannya untuk masyarakat, dan undang-undang yang tidak penting untuk masyarakat lekas dihapus. Akhir kata, harapan dari penulis, basic maslahat kerja Gus Dur sangat penting kita lanjutkan, agar terhapus sensitivitas perbedaan dalam bersosial. (IM)
Leave a Reply