Gus Dur lahir pada 7 September 1940 dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Nyai Solihah. Gus Dur dilahirkan dalam lingkungan pesantren di Jombang Jawa Timur. Kedua orangtuanya merupakan ‘anak macan’, dari seorang kiai pendiri pesantren di Jombang. KH. Hasyim Asy’ari pendiri pesantren Tebuireng adalah ayah dari KH. Wahid Hasyim dan KH. Bisri Syansuri adalah ayah dari Nyai Solihah yang merupakan pendiri pesantren di Denanyar Jombang. Kedua kakeknya ini merupakan founding father organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tahun 1926.
Sejak kecil Gus Dur terdidik dalam lingkungan pesantren yang sangat kental dengan mempelajari dasar-dasar keilmuan Islam. Pada masa remaja Gus Dur lebih intens mendalami ilmu-ilmu agama di berbagai pesantren seperti di pesantren Krapyak Yogyakarta, Tegalrejo Magelang, dan pesantren Denanyar yang merupakan pesantren kakeknya sendiri.
Masuk jenjang perkuliahan, Gus Dur mendapat beasiswa dari Departemen Agama (kini Kementerian Agama). Mengambil kuliah di al-Azhar Mesir mengambil konsentrasi pada jurusan Syariah. Namun, di sana Gus Dur merasa bosan dengan kultur pendidikan al-Azhar, karena menurutnya sistem yang dijalankan tidak berbeda dengan yang pernah ia jalani selama di pesantren. Oleh karenanya, Gus Dur lebih memilih ‘lari’ ke perpustakaan membaca buku sendiri. Selain itu, Gus Dur juga lebih memilih berorganisasi daripada kuliah. Kedua hal ini dilakoni Gus Dur selama tujuh tahun.
Perjalanan intelektulnya dilanjutkan di negeri Seribu Satu Malam, beliau masuk ke perguruan tinggi di Irak, tepatnya di Universitas Baghdad. Di kampus inilah Gus Dur menemukan kultur studinya. Gus Dur belajar banyak dari pemikiran-pemikiran Barat melalui berbagai kary, seperti karya Emil Durkheim.
Dari berbagai perjalanan intelektual di ataslah yang menjadikan sosok Gus Dur sebagai seorang kiai yang open minded, memiliki pemikiran yang terbuka dan modern-rasionalis. Dengan sikap ini Gus Dur menjadi seorang kiai yang humanis, peduli terhadap sesama manusia dengan menebarkan perdamaian, membela kelompok minoritas, dan membela kaum yang lemah, tak terkecualai kaum perempuan.
Gus Dur Sebagai Pejuang Perempuan
Dalam sejarah peradaban manusia sejak dahulu, perempuan dianggap sebagai manusia ‘kedua’ setelah laki-laki. Tidak terkecuali dalam komunitas Islam sendiri. Perempuan dianggap sebagai manusia yang lemah, tidak sekuat laki-laki. Oleh karena itu, kedudukannya selalu berada di bawah laki-laki. Dari segi biologis, perempuan tidak sama dengan laki-laki. Hal inilah yang menjadi ‘asumsi’ dasar mayoritas orang, yang seakan menjadi pembatas ruang gerak, peran, dan kontribusi perempuan di ruang publik. Keyakinan ini melekat kuat dalam benak masyarakat dan semakin kuat karena didapati sebagian teks-teks keagamaan yang dijadikan sebagai penguat argumen tersebut.
Melihat realita seperti ini Gus Dur tidak serta merta menyetujui, meskipun dilandaskan pada teks-teks keagamaan. Justru sebaliknya, Gus Dur membela kaum perempuan yang dianggap telah menjadi korban ketidakadilan yang jauh dari kesetaraan. Menurut Gus Dur, semua umat manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata Tuhan. Mereka tidak dilebihkan antara satu dan yang lain, kecuali hanya pada ketinggian takwanya.
Bentuk perjuangan Gus Dur dalam mengangkat derajat perempuan begitu nyata. Hal ini dapat ditelusuri saat dirinya masih menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pada saat itu Gus Dur membela perempuan dalam aktivitasnya di ranah publik, seperti dalam dunia politik. Hal ini dinyatakan dalam Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama pada 17-21 Nopember 1997 di Lombok Nusa Tenggara Barat, Nomor 004/Munas/11/1997 dalam tema “Kedudukan Perempuan dalam Islam”.
(1) Mengaku bahwa: “Islam memberikan hak-hak yang sama kepada perempuan dan laki-laki sebagaimana telah ditegaskan dalam Alquran dan hadis, namun dalam kenyataannya pengaruh budaya partriarki telah mendistorsi prinsip tersebut sehingga menjadi perempuan tersubordinasi dalam peran-peran publik”,
(2) Dalam konteks peran publik menurut prinsip Islam, perempuan diperbolehkan melakukan peran-peran tersebut dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut.
Dua pernyataan ini menjadi langkah realistis Gus Dur dalam mewujudkan cita-citanya untuk memberikan hak yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam ranah publik. Perempuan menurut Gus Dur memiliki kedudukan yang sama seperti laki-laki, mereka boleh berkarir, berpolitik, dan bahkan menjadi pemimpin. Namun, dalam komunitas Islam dan masyarakat Indonesia (saat itu), wacana ‘kepemimpinan perempuan’ masih menjadi suatu hal yang tabu. Bahkan perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin, baik itu pemimpin dalam rumah tangga maupun pemimpin dalam ranah publik seperti lurah, camat, bupati, gubernur, menteri, apalagi presiden. Stigma demikian perlahan luntur dan perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi pemimpin termasuk di ranah publik, contoh menjadi menteri dan presiden.
Kepemimpinan perempuan ini berkaitan erat dengan salah satu ayat Alquran yang berbunyi “al-Rijalu Qawwamuna ala al-Nisa’ (laki-laki adalah pemimpin perempuan) yang tertuang dalam QS. al-Nisa’/4 ayat 34. Mayoritas muslim memahami ayat ini secara tekstual, hanya apa yang terucapkan dalam ayat tersebut. Namun, Gus Dur memiliki pemahaman yang berbeda. Menurutnya, pelarangan dalam ayat ini sah-sah saja jika melihat konteks kepemimpinan perempuan era Nabi Saw dan sahabat yang tunggal. Maksudnya, pemimpin saat itu mempunyai tugas secara personal yang hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki seperti memimpin perang dan melerai pertikaian.
Berbeda dengan kepemimpinan modern era kini yang berbasis sistem, pemimpin saat ini tidak lagi personal, tetapi kolektif. Jadi seorang perempuan dapat menjadi pemimpin/presiden karena ditopang oleh berbagai lembaga lain yang mendukungnya, seperti lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Dengan pemahaman seperti ini, tidak mengubah pemahaman terhadap nash yang ada. Dari pernyataan tersebut tampak bahwa Gus Dur berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan yang saat itu masih terpenjara dalam ruang publik. Dalam konteks Indonesia saat ini, perjuangan Gus Dur tersebut tampak membuahkan hasil yang manis, hal ini terbuukti dengan adanya perempuan yang mampu eksis di ranah publik bahkan sanggup menduduki kursi pemerintahan tidak kalah dengan kaum laki-laki.
* * Tulisan ini adalah hasil kerja sama neswa.id dan Jaringan GUSDURian untuk #MemperingatiBulanGusDur
Leave a Reply