Apakah eksistensi perempuan sebagai guru merupakan bentuk kemerdekaan karena bisa bekerja di ruang publik, atau malah sebaliknya?
Neswa.id-Keberadaan guru perempuan adalah satu dari sekian realitas timpang. Dilansir dari statistik pendidikan data Kemdikbud tahun ajaran 2020/2021, jumlah seluruh guru baik dari tingkat dasar hingga menengah atas adalah 1.902.172 orang dengan rincian laki-laki sebanyak 663.908 dan perempuan sebanyak 1.238.264. Dari sini saja, sudah terlihat perbedaan yang signifikan diantara keduanya. Jika dikalkulasi dalam bentuk persen, guru laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan hingga 30%, yang artinya perempuan lebih banyak. Lantas mengapa perbedaan ini begitu besar di antara keduanya?
Barangkali kita bisa memulainya dari pernyataan Kate Millet dalam disertasinya yang berjudul “Sexual Politics”. Pada fase pertama, yakni tahun 1830-an hingga awal abad ke-19, ia melakukan kajian terhadap gerakan politik seksual perempuan baik dari segi pendidikan, organisasi politik, hingga bidang ekonomi kerja. Dalam buku ini, pendidikan bagi perempuan di Amerika dan Inggris mulai dicanangkan, bahkan menyebar ke berbagai institusi pendidikan. Awalnya, pendidikan ini diberikan atas dasar kepatuhan, yakni bagaimana mendidik perempuan sehingga bisa menjadi istri serta ibu yang baik. Selain itu, para perempuan juga diperkenankan mengenyam pendidikan tinggi agar mereka bisa mengajar di sekolah. Di sinilah asal mula adanya guru perempuan di Barat. Pada satu sisi, perempuan diberi ruang menjadi guru dengan dasar pemberian upahnya yang relatif rendah. Tak lain hal ini didasarkan pada konstruksi biologis dan sosial perempuan sebagai makhluk nomor dua, memiliki tenaga yang lebih lemah, dan ditakdirkan bekerja pada ruang domestik. Namun di lain sisi, keadaan ini menjadi sebuah celah bagi perempuan untuk lebih bergerak dan berkembang.
Selain dari Kate Millet, saya juga mencoba membaca sebuah kolom pertanyaan dan jawaban di sebuah website. Kolom itu sendiri menanyakan, mengapa jumlah perempuan yang menjadi guru jauh lebih banyak ketimbang laki-laki. Jawaban paling atas adalah, karena perempuan memiliki sisi yang cocok menjadi guru. Saya sedikit mengangkat alis dan menyipitkan mata, lantas lanjut membaca. Kurang lebih komentar yang diberikan oleh sesama perempuan tersebut mengatakan bahwa perempuan diciptakan sebagai makhluk yang perasa, memiliki intuisi tinggi, penyayang, sehingga cocok menjadi guru. Tetiba saya ingat pernah sedikit membaca tulisan Nancy Chodorow, singkatnya ia mengatakan bahwa kepribadian anak laki-laki dan perempuan berangkat dari pengalamannya yang paling awal, yakni pada masa bayi. Mulai bagaimana orang memberinya pakaian, memperlakukan, mendidik, dan menginternalisasikan nilai, sehingga bisa membentuk wataknya.
Dari pernyataan Kate Millet maupun jawaban kolom yang saya dapatkan, sama-sama memberikan kesimpulan bahwa keberadaan guru perempuan sebagai pendidik di institusi formal maupun informal memiliki dasar stereotip bahwa mereka makhluk yang memiliki sifat-sifat keibuan yang digambarkan sebagai sosok penyayang dan lemah lembut. Namun tidak berhenti di sini, saya masih mengunyah pikiran apakah benar peran guru perempuan merupakan bentuk stereotip atau malah bukti kemerdekaannya.
Pada suatu kelas perkuliahan, saya mencoba menanyakan hal ini kepada dosen kami, Dr. Moch. Nur Ichwan. Kebetulan ia sedang membahas bukti historis gerakan perempuan di bidang pendidikan mulai pada masa Imam Syafi’i hingga Imam As Suyuthi. Diketahui bahwa kedua imam ini ketika masih pada tahap belajar tidak hanya berguru pada syeikh saja, namun juga pada berbagai syeikhah yang masyhur. Misalnya Imam As Suyuthi sendiri, pernah berguru pada Ummu Hana Al-Mishriyyah, Aisyah bin Abdil Hadi, Sarah binti As-Siraj bin Jama’ah, dan lain sebagainya. Melalui bukti historis ini, terlihat bahwa kedua Imam ini telah hidup jauh lebih dulu ketimbang keberadaan guru perempuan seperti yang dijelaskan Kate Millet sebelumnya.
Tentu ada yang janggal di sini, bagaimana bisa di abad ke-9 (masa hidup Imam Syafi’i) yang mana perempuan masih begitu banyak dibatasi gerak lakunya untuk keluar rumah, diakui memiliki akal yang tidak sempurna, dapat diakui masyarakat bahkan bisa mengajarkan berbagai keilmuan. Hal inilah yang saya tanyakan, bagaimana mereka bisa berkompromi dengan batasan-batasan tersebut? Di sini, dosen kami menjawab bahwa belum ada penelitian yang lebih dalam perihal ini, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan, di antaranya: pertama, kemasyhuran syeikhah bisa didapatkan dari nasab keulamaan yang dimilikinya, misalnya keluarganya atau bahkan ayahnya sendiri adalah seorang ulama yang diakui.
Kedua, walaupun perempuan banyak dibatasi untuk belajar jauh (melakukan rihlah), namun mereka memiliki kesempatan untuk belajar langsung kepada para ulama masyhur di daerahnya. Apalagi pada masa itu, pembelajaran tidak dilakukan di sekolah seperti sekarang, namun lebih kepada mendatangi guru ke kediamannya untuk menuntut ilmu. Dengan ini, perempuan dapat meraup keilmuan dari berbagai guru, dan mendapatkan wawasan yang luas.
Berdasarkan ulasan yang diutarakan tersebut, bersamaan dengan pembacaan berita dan buku dari Kate Millet tersebut, rasa-rasanya memang perlu ditinjau ulang bahwa banyak jarak yang terjadi di tiap masa, di mana mulanya perempuan bisa menjadi guru karena keilmuannya yang diakui, menjadi sebuah stereotip bahwa perempuan memang cocok atas pekerjaan itu karena sesuai dengan karakter yang dilekatkan masyarakat padanya. Makna guru perempuan sebagai pendidik yang menyebarkan ilmu dan mengajarkan karakter pada pelajar harusnya tidak dilekatkan pada sesuatu apapun, melainkan kemampuan dan kualitas intelektual pendidik tersebut. Dengan ini profesi guru bagi perempuan bisa diakui sebagai bukti kemerdekaan dan kebebasan mereka dalam berekspresi, bukan untuk menekankan posisinya sebagai makhluk domestik. Wallahu a’lam. (IM)
Leave a Reply