,

“Gumuk itu Ibu Kami”: Ekofeminisme yang Tersengal dari Timur Jawa

/
/

Gumuk

Neswa.id-Dalam ruang ingatan saya, kisah masa kecil yang amat berwarna masih terawat baik. Dulu, hampir tiap hari saya berlari-lari mengejar capung memakai sapu lidi. Entah capung api atau jenis yang lain, saya kerap menangkapnya usai sepulang sekolah. Kadang saya sengaja menggunakan getah nangka yang ditaruh di ujung lidi, dan menjebak capung kecil sebagai umpan menangkap capung api.

Bilamana lelah menangkap capung, saya berlari-lari ke belakang rumah menuju gumuk guna mengejar layangan putus yang terbawa angin. Sembari membawa galah di tangan kanan, saya mendaki bukit yang tak seberapa tinggi ini. Di sana, saya dan kawan saling berebut dan tak jarang berkelahi. Kalau sudah begini, satu-satunya jalan keluar adalah menyobek layangan agar tak ada yang bisa memiliki.

Mengejar layangan di gumuk seolah ritual yang tak boleh saya lewati. Kerap Ibu mengambil reranting, lalu mengacung-acungkan pada saya bila tak kunjung pulang padahal hari mulai petang, pertanda saya mesti mengaji ke surau. Saya pun meliuk-liuk menghindari amukan Ibu. Saya lekas-lekas mandi, shalat Ashar secepat kilat dan berangkat ngaji.

Bersama kawan-kawan seperantaran, kami tak langsung menuju langgar. Di sepanjang jalan yang cukup jauh jaraknya dari rumah, kami masih bermain di sungai tepi gumuk. Kadang kami mengambil ikan mas yang sengaja kami jebak usai membuat bendungan kecil, dan tak jarang kami ke gumuk mengambil buah nam-nam milik orang. Pernah suatu petang, seusai mencuri mangga, kami dihukum guru ngaji. Jemari kami dipukul menggunakan rotan berulang-ulang, dan menyisakan memar berhari-hari.

Lantas, apakah kami kapok begitu saja? Oh, tentu saja tidak. Kami masih bermain Jailangkung sepulang ngaji di tegalan yang berdampingan dengan makam di gumuk. Kami masih melakukan tradisi bulanan, yakni membangunkan pohon-pohon di sepanjang jalan saat bulan purnama. Atau bila kerja bakti di langgar, kami menyelinap ke gumuk dan bermain ke sungai.

Bagi saya dan kawan-kawan sepermainan, gumuk tak ubahnya kamuflase kehidupan. Segalanya ada di sana. Bila kami ingin berlagak seperti mahasiswa pecinta alam, kami cukup mengambil terpal orang tua yang biasa digunakan sebagai wadah menjemur gabah, lalu ujung terpal kami ikat ke batang pohon, dan jadilah tenda asal-asalan. Bila kami lapar, kami cukup mencabut ketela—entah milik siapa—lalu kami bakar. Atau bila ingin menambah gizi, kami incar burung yang hendak membuat sarang, kami sembelih menggunakan silet, bulunya dicabut, lalu kami bakar. Setidaknya, inilah sedikit gambaran bagaimana masa kecil saya di gumuk.

Sayangnya, saat ini sulit rasanya mendamparkan ingatan tentang gumuk di Jember. Pengerukan gumuk begitu masif terjadi selama rentang waktu 10 tahun belakangan. Tak jarang, bekasnya menyisakan lubang menganga yang bila dibiarkan bakal menjadi tempat pembuangan sampah, dan bila musim hujan, menjadi kolam-kolaman yang membahayakan.

Saya tak menampik jika hasil menjual material gumuk yakni pasir dan bebatu amat menggiurkan. Bila cukup beruntung, sanggup membeli kendaraan dan memperias tempat tinggal. Padahal gumuk di Jember bukan sekadar bukit. Gumuk di Jember terbentuk akibat longsoran gunung api pada zaman lampau, yakni ketika Gunung Gadung—gunung api tua di sebelah barat Gunung Raung—meletus.

Hal ini mengacu pada bentuk gawir bekas longsoran di sebelah barat Gunung Gadung, di mana material dan lahar yang disertai banjir bandang pada zaman itu, ditengarai menerjang Jember lalu mengendap bertahun-tahun. Endapan yang disebut hillocks ini adalah fenomena geologi langka di dunia yang terbesar dan terpanjang. Perkiraannya terjadi ketika Gunung Gadung aktif sekitar 40.000–100.000 tahun yang lalu, jauh sebelum Gunung Raung aktif seperti sekarang.

Tetapi, status gumuk yang merupakan milik perorangan kini menyisakan lubang kengerian. Para sesepuh yang menyebut gumuk sebagai Pakoh Bhumi atau pakunya bumi mesti gigit jari, kendati nasihat turun temurun ini memiliki makna tinggi. Sebab segala yang tertanam di gumuk, entah pohon trembesi, aren, mahoni dan sebagainya, tak ubahnya paku yang menancap dan memperkokoh bangunan.

Sialnya, paku-paku itu telah hilang. Jumlahnya berkurang signifikan. Padahal pohon-pohon inilah sumber mata air. Akarnya yang menyimpan kadar air tinggi telah terbukti menghidupi kehidupan terutama perempuan yang memiliki beban ganda dalam menjalani rumah tangga. Selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun lalu, para perempuan menggantungkan hidup dari sumur yang sumbernya berasal dari sumber mata air gumuk. Tapi kini, pertambangan yang selalu menguntungkan pihak korporasi telah mencabut sumber kehidupan.

Akibatnya, para perempuan mesti bekerja dua kali lipat dari biasanya. Mereka menjadi korban utama dari tambang gumuk. Mereka bukan sekadar susah payah mendapatkan air lantaran sumur-sumur mulai mengering, melainkan mereka harus kehilangan salah satu sumber pangan. Sebab di gumuk, tak jarang ditanami ketela atau umbi-umbian. Sialnya, para perempuan yang bersuara, kerap dibungkan atas nama budaya patriarki.

Dulu, saya mengira, kenangan masa kecil saya akan bertahan hingga sekarang bahkan sampai anak cucu kelak. Terlebih di gumuk biasanya terdapat makam para buju’ atau pembabat padukuhan yang kedudukannya sangat sakral. Sejak dulu, makam petuah ini dikenal kramat. Letaknya di pucuk gumuk, dan hampir tiap gumuk, terdapat makam para buju’. Alasan mengapa makam mereka berada di atas karena menghindari perusakan.

Bukankah manusia zaman dulu memiliki ilmu yang tidak dimiliki manusia zaman sekarang? Bukankah kedekatan mereka dengan semesta telah menghubungkan ruh dan jiwanya dengan alam? Jadi, wajar jika manusia zaman dulu, memiliki ilmu batin berupa ramalan-ramalan masa depan, dan terbukti benar. Termasuk soal ramalan para buju’ yang menyebut gumuk akan habis, dan untuk meminimalisir, makam mereka mesti di pucuk karena keberadaan mereka sangat dituakan. Sayangnya, saat ini, tidak sedikit yang berani memindahkan makam para buju’. Mereka yang telah tinggal tulang belulang, mesti rela digusur atas nama tambang. Saya kira, hanya perempuan saja yang menjadi korban keberingasan tambak gumuk. Rupanya, orang mati yang tak lagi punya hak bernapas dan tersisa nisan saja, juga menjadi korban kepandiran tak kepalang. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *