“Islam akan berjaya jika umatnya kaya”
Sebuah motto bisnis yang saya baca di sebuah laman media sosial hari ini. Cukup menggelitik seh awalnya karena menganggap kekayaan akan memudahkan menuju kejayaan. Well, mungkin penyataan ini ada benarnya tapi juga tak sepenuhnya salah.
Belakangan memang kita melihat meningkatnya ekonomi umat Muslim terjadi tak hanya di Indonesia tapi juga global. Tak hanya sebagai pelaku, tapi juga sebagai konsumen. Ekspresi relijiusitas meluas kepada pada produk produk yang dikonsumis. Maka muncullah kemudian ekonomi syariah, produk produk halal sebagai respon atas tingginya permintaan produk tertentu dari umat Muslim.
Bahkan dikatakan pengusaha muda Muslim yang sekarang banyak menekuni bisnis dan dunia kreatif konon akan menjadi tombak kemajuan ekonomi dan peradaban pada beberapa tahun ke depan.
Nah, menariknya ada yang beranggapan bahwa kemajuan ekonomi umat juga menandakan kebangkitan umat Muslim di beberapa sektor lain termasuk pendidikan, teknologi dan sosio-ekonomi global. Bahkan ada yang menganggap ini sebagai etape awal keberhasilan umat Islam untuk kembali meraih kemajuan peradaban. Yah meskipun hanya diukur dari peningkatan ekonomi saja seh.
Kebangkitan kelompok borjuis (pedagang kayaa ) dalam beberapa frase sejarah dunia memang menandakan adanya geliat kemajuan. Misalkan saja di Eropa mulai abad 11 sampai meluasnya periode keemasan abad 17. Atau periode kejayaan Islam yg dimulai abad 8 sampai 11.
Pertanyaannya, apakah iya meningkatnya ekonomi umat Muslim juga menandakan kemajuan di bidang lain? Akankah umat Muslim saat ini sedang memperbaiki ketertinggalan yang sudah mandek dan ajeg dari beberapa abad lampau?
Untuk menjawab ini, buku dari Ahmed T Kuru nampaknya wajib menjadi bacaan kita untuk memudahkan melihat secara kritis fragmen fragmen dalam sejarah dan politik Islam yang menjadi faktor ketertinggalan selama ini? Alih alih hanya berandai andai dan melulu mengglorifikasi masa lalu.
Apakah faktor ketertinggalan itu bersumber dari ajaran Islam sendiri, ataukah disebabkan oleh kolonialisasi yang acapkali disebut bertanggungjawab atas kemunduran umat Muslim?
Pertama, tentu saja meningkatnya kelas menengah Muslim yang ditandai dengan peningkatan ekonomi bisa menjadi penanda kemajuan tapi dengan syarat, yaitu diimbangi dengan munculnya kelompok intelektual merdeka yang tidak diatur dan disetir oleh negara. Paling tidak itu yang diajukan Kuru untuk menuju satu level kemajuan.
Teori Kuru dalam buku terbarunya yang berjudul “Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan” mengatakan bahwa perpaduan antara kelompok pedagang dan intelektual mampu menciptakan kondisi pengetahuan yang berkembang dan merdeka. Hal tersebut tentunya didukung oleh kondisi sosial masyarakat yang heterogen, pluralis dan demokratis serta willing untuk meraih kemajuan.
Sayangnya analisis Kuru menjelaskan fakta sebaliknya bahwa ketertinggalan umat Muslim disebabkan dari relasi persekutuan antara ulama, negara dan militer serta upaya pembentukan ortodoksi Sunni yang meluas dan menguat dimulai sejak pertengahan abad ke 11.
Problem multidimensi ini terjadi di beberapa kawasan Muslim, khususnya paska serbuan Tentara Salib, Mongol dan serangan dari Temur. Kekuatan umat Muslim kocar kacir tak terbendung. Dari sinilah Seljuk sebagai kekuatan baru di Asia Tengah mulai memprakarsai persekutuan ulama dan negara dalam rangka menguatkan kekuatan Sunni yang mulai tercerai berai. Pembentukan ortodoksi Sunni inipun mengeliminasi kelompok² lain salah satunya adalah para filsuf, kelompok Mu’tazilah dan beberapa aliran Syiah.
Persekutuan ini dikuatkan dengan pembentukan negara militer Seljuk dan juga penerapan sistem ekonomi baru yaitu iqta’. Sistem baru ini mempersulit tuan tanah untuk memiliki tanahnya sendiri dan wajib diorganisir oleh kelompok militer. Pajak rakyat dipakai untuk menghidupi militer dan ulama yg menjadi tangan kanan penguasa untuk menyebarkan otoritas keagamaan melewati madrasah dan wakaf.
Selain itu, menurut pandangan Kuru, penurunan ekonomi karena peperangan dan juga sistem iqta’ menjadikan kelompok borjuis menurun. Mereka tak lagi secara kreatif dapat mendanai para intelektual untuk mengembangkan pengetahuan, sebaliknya negara yang mengambil alih dan mendanai para cendekia dengan aturan dari otoritas negara.
Warisan persekutuan ulama dan negara ini diadopsi di periode selanjutnya, termasuk pada kesultanan Mamluk, Ayyubiyah bahkan sampai Turki Usmani.
Kuru membawa perspektif baru dalam melihat bagaimana Islam berada dalam keterpurukan selama berabad-abad hingga periode kontemporer. Menurut pandangan Kuru, ketertinggalan umat Islam terjadi bersumber dari faktor yang berbeda-beda namun memiliki relasi yang sama. Yaitu persekutuan ulama dan negara, warisan sistem iqta’ dan menguatnya militer yang menjadi perhatian utama pemimpin Muslim (Usmani, Savawi dan Mughal) dan mengesampingkan kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Hmm sepertinya jalan menuju kebangkitan itu masih panjang, jika hal hal yang seringkali diperbincangkan publik justru mengarah pada matinya kepakaran dan ilmu pengetahuan. Bukan begitu?
Leave a Reply