Neswa.id-Pentingnya mencatat rekam jejak perjuangan seseorang, merupakan salah satu alternatif penting untuk memperkenalkan sejarah hidupnya. Sebab selama ini, sejarah seringkali bertindak tidak adil dalam merekam jejak perjuangan seseorang. Ia hanya fokus mencatat terhadap perjuangan orang-orang perkotaan. Sejarah seakan-akan enggan untuk meliput kiprah tokoh-tokoh pinggiran yang tinggal di daerah-daerah pelosok pedesaan yang terpencil dan terbelakang. Padahal, kita memiliki ribuan kiai kampung yang konsisten berjuang di level paling bawah, memperjuangkan nasib perempuan agar memperoleh status sosial sama dengan kaum laki-laki.
Salah satunya adalah Kiai Ghazali, sapaan akrab KH. Ghazali Ahmadi (1945-2021). Ia memiliki kontribusi sangat besar bukan hanya dalam bidang dakwah dan pendidikan Islam, tetapi juga dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Tak heran jika di Kangean, Sumenep Madura, tepatnya di Dusun Arjasa Lao’ dan Duko Lao’ tempat Kiai Ghazali tinggal. Tidak hanya dikenal sosok kiai, mubalig, pendidik dan pengasuh di Pesantren Zainul Huda, ia juga dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan.
Sebagai tokoh pejuang emansipasi perempuan, Kiai Ghazali tidak memiliki karya khusus baik berupa kitab maupun buku membahas tentang perempuan. Beliau hanya menganggit kitab di bidang fiqh, yaitu Sabilul Jannah. Suatu kitab yang berisi seputar ibadah dan ditulis berbahasa Madura dengan huruf Arab Pegon. Walau begitu, sepak terjangnya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan menjadi mercusuar bagi kalangan masyarakat setelahnya, terutama kaum perempuan di Dusun Arjasa Lao’ dan Duko Lao’ secara khusus dan Kangean pada umumnya.
Gagasan Emansipasi Perempuan Kiai Ghazali
Gagasan Kiai Ghazali lahir dari kegelisahan yang dialami. Kondisinya sangat memprihatinkan. Jangankan menyandang pendidikan hingga perguruan tinggi, lulus Sekolah Dasar (SD) pun adalah sebuah keberuntungan. Mirisnya, kondisi ini diperparah oleh paradigma berpikir masyarakat: setinggi apapun status sosial dan pendidikan seorang perempuan, toh akhirnya mereka akan tetap menjadi ibu rumah tangga yang, aktivitas kesehariannya adalah memasak, menyuci, mengurusi anak dan melayani suaminya. Pola berpikir demikian sudah mengakar kuat di tengah masyarakat kala itu bak kitab suci yang ketetapannya tak boleh diubah, apalagi dikritik. Cukup diamini.
Di tengah situasi memprihatinkan itulah, Kiai Ghazali hadir membawa gagasan segar dengan berupaya mendobrak budaya patriarki masyarakat yang sering menganggap; perempuan makhluk yang lemah, tidak layak berkiprah di ruang publik, apalagi memiliki peran strategis di tengah-tengah masyarakat. Menurut Kiai Ghazali, hal ihwal penting diperjuangkan karena di dalam Islam seluruh manusia setara di hadapan Allah. Sebab yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya kepada-Nya,bukan berdasarkan kelamin. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran surat Al-Hujurat;
يَاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثَى وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ اَتْقَكُمْ اِنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Melalui ayat ini Allah menegaskan kepada kita bahwa setiap manusia memiliki status, kedudukan, harkat dan martabat yang sama di hadapan-Nya. Bahkan, melalui ayat ini pula Allah melarang secara tegas untuk melakukan diskriminasi, merendahkan yang liyan dan memasuk hak-hak setiap individu – kendatipun mereka berbeda dalam hal jenis kelamin, suku, agama, pemikiran dan lain-lain.
Upaya emansipasi perempuan yang digagas yakni melalui dunia pendidikan. Pendidikan, demikian Kiai Ghazali adalah satu-satunya jalan yang bisa tempuh untuk membebaskan kaum perempuan dari budaya patriarki yang menyiksa dan mengikatnya. Dengan memperoleh pendidikan, seorang perempuan dapat mempertinggi perannya. Tidak sekadar di ranah domestik, tetapi juga mencakup segala aspek kehidupan tak terkecuali di bidang kemasyarakatan.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan keagamaan yang diperolehnya ketika nyantri di Pesantren Sukorejo Situbondo, Jawa Timur, dibawa asuhan langsung KHR. As’ad Syamsul Arifin, akhirnya Kiai Ghazali membuka “pengajian qira’at” dan “kursus ibadah” yang diperuntukkan bagi kaum perempuan di desanya. Pengajian dan kursus ini disambut hangat oleh mereka. Hal ini bisa dibuktikan dari jumlah jamaah yang mengikutinya, ada sekitar ratusan orang. Mulai dari ibu-ibu lansia (lanjut usia), para janda dan orang dewasa.
Di pengajian dan kursus ini, materi yang diajarkan langsung oleh Kiai Ghazali seputar dasar-dasar ilmu keagamaan seperti tata cara beribadah, membaca Al-Quran, ilmu tajwid, akhlak, syair-syair kehidupan dan lain-lain. Materi ini tentu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, di mana notabene para jamaahnya adalah orang-orang pelosok pedesaan, sehingga hal demikian menjadi sesuatu yang sangat urgen dikuasai dan dipahami.
Sementara bagi kalangan anak-anak perempuan, Kiai Ghazali tak segan-segan untuk menyekolahkan mereka. Mulai dari tingkat SD, SMP, SMA hingga ke perguruan tinggi. Saking gigihnya memperjuangkan nasib perempuan di desanya, saban waktu Kiai Ghazali rela mengantar mereka ke sekolah hanya dengan berjalan kaki. Perlu diketahui bahwa pada masa Kiai Ghazali, alat transportasi tidak seperti sekarang: mobil, sepeda motor dan lain-lain. Namun, yang ada hanya kuda dan dokar. Bahkan, keduanya menjadi alat transportasi paling populer kala itu. Menariknya, meski Kiai Ghazali memiliki kuda, tetapi ia lebih memilih untuk berjalan kaki. Sungguh, perjuangan yang luar biasa dan mungkin jarang akan dilakukan orang lain.
Akhirnya, berkat perjuangan Kiai Ghazali ada banyak perempuan-perempuan di desanya yang memiliki status sosial memadai seperti mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi, bahkan mereka sudah berkiprah di ruang publik. Demikianlah, perjuangan KH. Ghazali Ahmadi dalam memperjuangkan nasib kaum perempuan di desanya dari kubangan budaya patriarki masyarakat. Wallahu A’lam (IM)
Leave a Reply