Pada mulanya, Kufah dijadikan barak militer tentara Islam saat melakukan ekspansi di luar wilayah semenanjung Arab. Tempat ini dipilih lantaran bangsa Arab lebih menyukai padang pasir terbuka. Lambat laun, ketika Sa’ad bin Abi Waqas membangun kota dengan mendirikan masjid berarstitektur Persia, Kufah pun tumbuh menjadi basis pemerintahan Islam, terutama saat Sayyidina Ali memerintah.
Pemindahan ibu kota dari Madinah menuju Kufah tak lepas dari polemik kematian Sayyidina Usman bin Affan. Banyak pihak menuntut Sayyidina Ali untuk mencari dalang di balik pembunuhan. Sang khalifah yang mencoba cooling down lebih dahulu, ternyata menimbulkan polemik baru. Siti Aisyah, istri Rasul yang tengah melakukan umrah di Makah, tidak terima akan sikap Sayyidina Ali.
Bersama relawan penduduk Makah, beliau memobilisasi perlawanan sehingga tercetuslah sebuah perang. Meski akhirnya kalah, Siti Aisyah tetap diantar kembali ke Madinah dengan penghormatan dan pengawalan. Sikap dilematis inilah yang menjadikan dasar Sayyidina Ali untuk memindahkan ibu kota dari Madinah menuju Kufah. Karena tidak mungkin beliau menetap di Madinah sedangkan baru saja memenangkan peperangan melawan istri Rasul, dan Siti Aisyah menetap di sana.
Kendati telah pindah ke Kufah, bukan berarti peperangan berhenti. Penuntutan kematian Sayyidina Usman terus bergulir. Malah ada yang menuduh jika Sayyidina Ali terlibat di belakang pemberontakan. Salah satunya adalah Mu’awiyah yang menjadi gubernur di Damaskus. Ia yang kecewa lantaran suaranya tidak didengar dan tidak terwakili saat pemilihan Sayyidina Ali memutuskan memberontak. Lagi-lagi peperangan tak bisa dihindarkan.
Sang khalifah yang mendapati gejolak politik terus membara, dan ingin menstabilkan keadaan, akhirnya memilih genjatan senjata dengan Mua’wiyah. Namun, keputusan ini disalahartikan sebagian pendukung Sayyidina Ali. Mereka tidak terima berdamai dan memutuskan keluar dari pemerintahan Sayyidina Ali. Merekalah yang disebut kaum Khawarij.
Kaum Khawarij kerap melempar api fitnah. Mereka merampok dan membunuh orang-orang tidak berdosa. Kendati begitu, mereka tidak meninggalkan ibadah. Sayyidina Ali yang mendapati stabilitas pemerintahan terganggu memutuskan untuk memerangi mereka. Kedua pasukan ini bertempur di sebuah tempat bernama Nahrawan. Meski dimenangi Sayyidina Ali, peperangan ini melahirkan cerita baru. Syahnah bin Uday, pemimpin Khawarij yang gugur bersama putranya dalam perang, ternyata memiliki gadis yang terkenal cantik. Gadis inilah yang menjadi inti cerita kali ini.
Dialah Qatham binti Syahnah. Perempuan yang memiliki paras paling rupawan di Kota Kufah. Kemasyhurannya diperbincangkan banyak orang. Namun, dia tidak menautkan hati pada seorang pun. Terlebih dalam suasana berkabung. Qatham menghabiskan waktu dengan mengutuk takdir. Ayah dan kakaknya yang gugur dalam medan perang bukanlah suatu akhir. Amarah terus menyala dalam hatinya. Keinginan untuk balas dendam tumbuh tanpa bisa dihalangi.
Sebagai sosok yang memiliki wajah indah, Qatham menggunakan karunia ini untuk meloloskan keinginannya. Ibnu Muljam yang terpesona akan kecantikan Qatham mengangguk setuju ketika gadis itu menyertakan syarat sebagai mahar perkawinan. Syaratnya tak tanggung-tanggung. Ibnu Muljam harus membunuh Sayyidina Ali. Tanpa berpikir panjang, Ibnu Muljam mengiyakan sebab ia sendiri membenci Sayyidina Ali.
Sejak khalifah keempat itu memutuskan genjatan senjata dengan Muawiyah, ia memilih keluar dari pemerintahan yang sah. Berangkat dari alasan inilah, mahar permintaan Qatham diwujudkan Ibnu Muljam. Ia membunuh Sayyidina Ali pada 17 Ramadan (ada pula sumber yang menyebut 19 Ramadan) ketika hendak menunaikan shalat subuh.
Meski ada yang menasbihkan kisah cinta Qatham dengan Ibnu Muljam sebagai fiktif belaka, saya kira peristiwa ini sarat hikmah. Dari sisi Qatham, misalnya. Diakui atau tidak, kecantikan perempuan kerap mengundang perseteruan. Sejarah ini telah terjadi sejak generasi manusia pertama, yakni ketika Qabil tidak menerima keputusan ayahnya jika yang menikahi Iklima adalah Habil. Nabi Adam pun menyuruh keduanya melakukan persembahan pada Allah, dan sembahan mana yang diterima, maka dialah yang berhak menikahi Iklima.
Takdir akhirnya berkata bahwa sembahan Habil yang diterima Allah sebab ia memberikan hasil panen yang terbaik, sedangkan sembahan Qabil berupa binatang ternak yang kurus lagi kering. Qabil yang tidak terima bahwa Habil yang berhak menikahi Iklima, lantas membunuh saudaranya. Peristiwa ini tercatat sebagai kejahatan pertama di muka bumi.
Kendati begitu, kecantikan perempuan tidak semata dinilai sebagai sumber perseteruan. Hal ini dapat dibijaki melalui pandangan tiap manusia yang hendaknya terus diupgrade melalui iman, ilmu dan akhlak. Jika tidak, maka perselingkuhan akan terus terjadi. Entah yang perempuan terpincut akan ketampanan dan kekayaan si lelaki, atau sebaliknya, sang lelaki yang terbius akan rupawan sang perempuan. Bukankah, tiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik atau buruk, dan kita memiliki kalbu yang letaknya jauh dalam nurani sebagai wakil suara Tuhan?
Wallahu a’lam bisshowab..
Leave a Reply