,

Filsafat Egalitarian dalam Pandangan Islam (Bagian 2)

/
/

Filsafat Egalitarian dalam Pandangan Islam (Bagian 2)

Neswa.id-Pada suatu hari putera Amr ibn Al-Ash terlibat pertandingan dengan pribumi. Karena kalah dalam pertandingan, Putera Amr kemudian menampar pribumi. Sebagai pribumi yang merasa teraniaya, ia mengancam akan melaporkan persoalan ini kepada Khalifah Umar ibn Al-Khattab. Seketika Umar memanggil Amr ibn Al-Ash, gubernur Mesir kala itu. Khalifah Umar meminta Amr untuk menghadapkan puteranya dan meminta pertanggungjawaban atas tindakan putranya itu. Putera Amr telah menampar pribumi, artinya ia telah melakukan tindakan semena-mena. Mungkin karena ia putera seorang gubernur, ia merasa berhak melakukan hal itu. Kemudian di ruang pengadilan, di hadapan orang banyak, Umar memperlihatkan ketegasannya sebagai khalifah.

Cerita yang disampaikan Syekh Ahmad Ath-Thayyib ini hanyalah satu dari sekian banyak cerita yang menggambarkan betapa agama Islam menjunjung tinggi egalitarian umat manusia. Cerita tadi menggambarkan tentang bagaimana egalitarian melampaui batas-batas kelas sosial masyarakat yang kaku dan rigid itu. 

“Apa alasan kalian memperlakukan orang lain layaknya hamba, bertindak semena-mena kepada mereka, padahal mereka dilahirkan dalam keadaaan merdeka?” tegas Umar. Ia seolah-olah mau mengatakan bahwa manusia itu sama dan setara adanya. Hak istimewa tidak berhak diberikan kepada siapa pun, termasuk untuk putera gubernur. Kemudian ia meminta warga pribumi untuk membalas perbuatan putra gubernur.    

Terkadang sedemikian kaku kesadaran kelas sosial di masyarakat sampai-sampai terasa dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pengalaman subjektif saya misalnya, kalangan dengan kelas sosial tertentu akan mengelompok dalam satu ruang. Pengelompokan itu merupakan upaya agar hak istimewa bisa diberikan dengan mudah kepada mereka. Mereka mendapatkan hak istimewa dari pemegang otoritas (agama) yang menaungi mereka. 

Mungkin saja pengalaman saya ini terdengar aneh jika kita mengaca pada kondisi sosial masyarakat Indonesia yang nyaris alami dan tak mengenal kelas sosial yang kaku dan timpang, akan tetapi, ketidakadilan dalam pengalaman itu nyata adanya.    

Kita semua tahu, seburuk-buruknya sistem adalah yang berdasar pada ketidakadilan. Ada hak istimewa di dalamnya yang diperuntukkan bagi kalangan tertentu berdasarkan kelas sosial, ras, garis darah, ataupun gender.

Sistem buruk dirancang oleh mereka di level tertinggi; tokoh masyarakat, pemuka agama, elite politik, bangsawan, mungkin juga, narasi populer melalui media sosial. Mereka melestarikan hak istimewa secara turun temurun pada generasi setelah mereka. Lebih buruk lagi dari itu, mereka menciptakan narasi yang mendukung status quo.

Karena sistem ini dilakukan oleh pemuka agama, artinya mereka juga membawa-bawa otoritas agama demi kepentingan (mereka), maka pertanyaan yang muncul di titik ini adalah: Bagaimanakah misi keadilan dan egalitarian dalam Islam dinarasikan kitab suci, kemudian dipahami-diterjemahkan-diadaptasi oleh pembawa risalah dan pemeluknya? Bagaimanakah kita menerjemahkan kebijakan politik Khalifah Umar di awal tadi? Bermula dari pertanyaan tersebut, saya pikir bukan hal yang buruk jika dalam tulisan ini kita membincang hal-hal normatif dalam agama. Lagi pula, hal yang  bersifat normatif tidaklah selalu berarti negatif.       

Di tulisan sebelumnya, saya sudah mengulas mengenai keterikatan antara syariat (hukum agama) dan akhlak (sisi moral). Dalam tulisan itu, saya mengatakan bahwa syariat dan akhlak adalah rangkaian yang saling berkait dan tidak bisa meninggalkan satu sama lain. Keduanya terikat secara basis dan fundamental. Basis tertinggi laku keagamaan adalah akhlak yang baik.

Selanjutnya, Syekh Ahmad Ath-Thayyib mengatakan, titik sentral akhlak yang baik adalah egalitarian. Ia meneguhkan bahwa egalitarian merupakan kompas moral manusia. Keadilan menjadi pijakan utama saat kita berinteraksi dengan orang lain.

Argumen tentang keadilan ditegaskan Syekh Ahmad Ath-Thayyib dalam bukunya, Muqawwimat al-Islam, ia berkata; di antara pokok ajaran Islam adalah merealisasikan egalitarian bagi manusia. Ia meneguhkan agar kita bersikap adil bukan hanya kepada sesama muslim, akan tetapi, juga dengan non muslim. Semua praktik peribadatan dan laku sosial dalam agama Islam, basisnya adalah keadilan pada sesama makhluk Tuhan. Islam menginginkan sistem dan relasi yang adil dan bermartabat. Pokok ajaran ini, perlu kita tanam dalam benak dan memori kita.

Islam, menurut Syekh Ahmad Ath-Thayyib, telah menjelaskan konsep egalitarian secara gamblang di dalam teks wahyu. Teks wahyu yang menegaskan egalitarian berpredikat qathiyyah al-tsubut wa qathiyyah al-dalalah (merupakan transmisi positif dan mengandung makna definit).   

Sedemikian kuatnya dalil agama tentang egalitarian, sampai-sampai Imam Baidlawi, ulama tafsir kenamaan itu, berkomentar begini: “Seandainya tak ada satu ayat pun di dalam Al-Quran kecuali ayat ini, niscaya Al-Quran telah menjadi kasih sayang (rahmat) bagi semesta. Ayat tersebut adalah surah Al-Nahl: 90 yang mengandung titah Tuhan untuk berbuat adil.”

Tindak lampah Baginda Nabi, sang Pembawa Risalah, juga menyuratkan hal yang sama, egalitarian. Nabi Muhammad selalu bersikap egaliter dalam fase dan dinamika kehidupannya. Bersikap adil dan egaliter berarti menjaga keseimbangan hidup. Nabi selalu menegaskan keseimbangan antara dual hal yang berlawanan. Ia tidak meremehkan, akan tetapi juga tidak melampaui batas. Sebagaimana kearifan Kanjeng Nabi menyikapi dinamika sahabat perempuan masa itu.  

Dari kearifan Nabi dan kebijakan politik Umar ibn Al-Khattab di awal, kita tahu bahwa Islam menjunjung tinggi egalitarian manusia. Islam melalui Nabi dan Khalifahnya, telah mengorkestrasikan kesejahteraan umat manusia. Kanjeng Nabi dan Khalifah Umar—dengan pengetahuan, integritas moral, kapabilitas, dan jaringannya, mampu mengantarkan kesejahteraan pada seluruh umat dan rakyatnya.

Jika keadilan adalah titik sentral akhlak mulia dalam agama Islam, kemudian prinsip ini kita bawa jauh pada konteks perbincangan kita sebelum-sebelumnya, tentu saja berarti, Islam juga menginginkan egalitarian laki-laki dan perempuan.  

Kita tahu betul agama Islam mengapresiasi perempuan dan menempatkannya sebagai manusia mulia yang bermartabat. Islam juga mengakui kemanusiaan perempuan. Di dalam agama ini, kemanusiaan perempuan sejajar, setara dan sama persis dengan laki-laki. Perempuan bukanlah second class citizenship.

Maka, bila ada pemegang otoritas mendiskriminasi dan mendiskreditkan perempuan atas nama agama Islam, artinya ia tak pernah benar-benar memahami Al-Quran dan hadis. Mungkin, di sini, kita harus bertanya, bila mereka tak memahami Al-Quran-hadis, juga tak berkaca pada dinamika sahabat perempuan, lantas mau mengambil dalil dari mana? Apakah dalil Al-Qur’an, hadis Nabi, dinamika perempuan muslimah generasi awal, dan kebijakan politik Khalifah Umar tidak cukup membuktikan bahwa egalitarian adalah misi utama agama ini? (IM)


Sawdah A Fauzi Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *