Neswa.id-Belakangan ini, saya sering mendapati kalangan yang—seperti sedang gagap dengan dalil agama terkait isu perempuan. Mereka sengaja memilih irisan dalil tertentu mengenai perempuan, lalu meletakkan perempuan seolah berada pada titik subordinat berdasar dalil tadi. Mereka menyederhanakan, kemudian menganggap dalil-dalil yang mereka pilih sebagai pandangan agama.
Dalil-dalil yang sengaja dipilih adalah ayat tentang qawamah surah Al-Nisa: 34, atau ayat waris yang mengatakan porsi laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan ayat-ayat lain yang seolah-olah mengatakan perempuan tidak setara dengan laki-laki. Jawaban singkat menurut Syekh Ahmad Ath-Thayyib, sebenarnya nas utuh dari dalil yang mereka pilih adalah dalil tentang egalitarian laki-laki dan perempuan.
Dalam pandangan Syekh Ath-Thayyib, egalitarian yang berarti kesetaraan (laki-laki dan perempuan) adalah memberi mereka hak yang seimbang, tidak berat dan timpang pada salah satunya. Egalitarian adalah keadilan dan keseimbangan pada kedua pihak dan/atau banyak pihak. Oleh karena itu, sistem apapun yang mensubordinasikan salah satu pihak jelas menyalahi kodrat kesetaraan manusia.
Jika demikian halnya, bagaimanakah ruang lingkup kesetaraan perempuan dan laki-laki itu? Mungkin saja pertanyaan ini mendorong kita melihat term kesetaraan dari sisi ontologis. Tidak hanya itu, barangkali gagasan penting Ibnu Rusyd mengenai egalitarian laki-laki dan perempuan bisa sedikit membantu.
Pandangan Ibnu Rusyd tentang Egalitarian
Bagi Ibnu Rusyd, melihat manusia sebagai ‘manusia’ merupakan pengetahuan elementer atau bawaan. Melihat manusia artinya menanggalkan atribut laki-laki dan perempuan. Melihat manusia berarti “melihatnya sebagai manusia”, bukan melihatnya sebagai laki-laki atau perempuan. Karena ia manusia tentu saja tak mengenal superioritas ataupun inferioritas. Secara substansial, keduanya setara.
Persoalan muncul ketika kita membayangkan term manusia (yang setara laki-perempuan itu), namun hanya prefer pada salah satunya, pada laki-laki saja atau perempuan saja. Di titik ini barangkali kita telah membuka ruang perbedaan dalam koridor kesetaraan.
Masih dalam pandangan Ibnu Rusyd. Perbedaan laki-laki dan perempuan bersifat aradliy dzatiy, yaitu perbedaan yang muncul dalam ranah biologis/fungsional. Manusia berwujud dalam bentuk perempuan atau laki-laki. Hubungan perempuan dan laki-laki serupa dengan (angka) ganjil-genap. Mirip seperti dunia versus tetapi bukan untuk menunjukkan kekuatan bertarung atau yang lebih dominan. Sekali lagi, bagi Ibnu Rusyd, ruang perbedaan laki-laki dan perempuan berada dalam koridor egalitarian.
Jika demikian adanya, maka yang perlu dilakukan adalah memastikan tidak ada hegemonidi antara keduanya, memastikan keberadaan perempuan setara dengan laki-laki. Sepertinya cara pandang Ibnu Rusyd berbeda dengan cara pandang Ibnu Arabi. Ibnu Arabi mengatakan hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan kausalitas, laki-laki adalah kausa keberadaan perempuan.
Orang-orang yang saya singgung di awal meyakini bahwa pandangan Islam mengenai isu perempuan, sesederhana dalam pikiran mereka. Mereka enggan menyadari bahwa pandangan agama tidak berhenti dalam tataran dogmatis. Mereka tidak sampai (atau tidak mau sampai?) pada pandangan agama secara filosofis. Saya tidak mengatakan bahwa pemahaman yang dogmatis dalam pikiran manusia adalah sesuatu yang buruk dan kolot. Tidak, saya tidak sedang mengatakan itu. Titik poinnya di sini, pemahaman yang sederhana dan tidak utuh mengenai agama, selayaknya tidak diklaim sebagai pandangan agama.
Uraian filsafat egalitarian dalam pandangan Islam tak bisa lepas dari pembahasan moral. Ada kaitan erat antara hukum agama dan sisi moral. Firman Allah dalam surah Al-Ankabut: 45 dan sabda Nabi Muhammad: barang siapa yang ritual peribadatannya tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar, maka tiada lain baginya kecuali bertambah jauh dari Allah, menunjukkan relasi kuat antar keduanya. Syariat dan akhlak (yang baik, layak, beradab, pantas, ethical) adalah rangkaian yang mustahil dipisahkan.
Untuk lebih membuktikan keterikatan syariat dan akhlak dalam agama, barangkali kita bisa menilik cerita yang disampaikan Syekh Ath-Thayyib berikut. Pada masa Rasulullah SAW, ada seorang perempuan yang ritual peribadatannya ketat sekali, ia berpuasa sunah di siang hari dan melaksanakan tahajud di malam hari. Akan tetapi, di luar ibadah itu, ia menyakiti perasaan orang lain. Baginda Nabi memberikan kesaksian bahwa ia masuk neraka. Yang perlu diperhatikan dari cerita ini, titik tekannya bukan dalam rangka untuk mengecil-artikan ritual ibadah.
Syekh Ath-Thayyib kemudian meluaskan imajinasi akhlak yang baik. Ia mengatakan akhlak mulia yang mestinya kita upayakan bukan hanya kepada sesama manusia. Akhlak mulia mesti kita terapkan pada binatang, tumbuhan, alam dan makhluk Tuhan yang lain. Interaksi kita dengan manusia lain dan jagat raya seharusnya berlandaskan akhlak yang baik. Imajinasi ini berdasar pada kisah seorang laki-laki yang mendapat ampunan Tuhan sebab memberi minum pada anjing yang kehausan, atau cerita perempuan yang masuk neraka akibat mengikat kucing, tidak beradab dan menyiksanya sampai meninggal. Dalam agama ini, parameter surga atau neraka bagi manusia, perempuan ataupun laki-laki, ditentukan oleh akhlak yang baik. Parameter akhlak mulia telah melampaui ritual ibadah.
Dengan demikian, jika benih penerapan hukum agama (mulai ibadah, muamalah, ahwal syakhsiyah, mawarits, hudud dan uqubat, sampai perang dan jihad) adalah akhlak yang baik, maka hasilnya akhlak yang baik pula. Bahkan jika ditarik lebih jauh, Kanjeng Nabi Muhammad pun diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.
Ilustrasinya mungkin saja begini, akhlak mulia merupakan akar/fondasi/kausa syariat. Akhlak mulia telah terpikirkan sebelum syariat (ma’lul). Karena fondasinya adalah akhlak, maka hasilnya (buah-bunganya) pun punya sisi moral. Sehingga kaitan antara akar dan daun-bunga-buahnya adalah talazum (konsekuensi logis).
Saya membayangkan, kita—sebagai pihak yang relatif dekat dengan penerapan hukum agama Islam, semestinya menyadari konsekuensi ini. Apakah dalam praktik keagamaan kita sudah bersikap adil atau justru menghegemoni perempuan? Kalau dalam penerapan syariat kita masih merendahkan orang lain, menyubordinasikan perempuan dan eksploitatif terhadap alam, bolehkah hal itu dilakukan?
Kita tidak hidup di masa kenabian, di saat teks-teks wahyu sedang turun, di mana hak-hak perempuan diberikan secara berjenjang. Kita semua tidak hidup di zaman itu. Sehingga kita tidak bisa menjadikan potongan dalil agama sebagai sebuah pandangan agama. Kita tidak bisa terus seperti itu. Tidak bisa. Itu menyalahi hukum alam.
Leave a Reply