Neswa.id- Potret kekerasan yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi, digambarkan dengan sangat jelas dalam film ‘Dear Nathan: Thank You Salma’, yang merupakan sekuel ketiga dari trilogi Dear Nathan. Dalam sekuel ini, kisah Nathan dan Salma semakin diperkaya dengan dinamika kehidupan kampus dan keterlibatan mereka dalam dunia aktivisme sosial. Keduanya memiliki pandangan berbeda dalam mengekpresikan perjuangannya, Nathan lebih menyukai turun ke jalan, sementara Salma lebih memilih berekspresi melalui media sosial. Perbedaan ini akhirnya membuat hubungan mereka renggang.
Pertengkaran mereka memuncak saat Salam melarang Nathan untuk ikut serta dalam aksi demonstrasi besar bersama teman-teman himpunan mesin di Jakarta. Nathan bersikeras dan meyakinkan Salam bahwa ia akan menjaga dirinya dengan baik. Namun ternyata aksi tersebut rusuh dan menelan banyak korban, termasuk Nathan yang mengalami luka di bagian kepala. Kejadian ini membuat Salma marah besar, dan akhirnya memutuskan untuk ‘break.
Prestasi Seseorang Tidak Menjamin Moralnya!
Suatu hari, Nathan menerima telepon dari temanya, Rebecca. Ia menceritakan bahwa teman sekelasnya Zanna, mengalami depresi akibat menjadi korban kekerasan seksual. Nathan langsung menghampirinya.
“Siapa orangnya? Kasih tau gue!” teriak Nathan, dengan wajah emosi.
“Pelakunya, Rio Darmawan, temanmu sendiri!” jawab Rebecca. Nathan terdiam sejenak dan merenung, “Tidak mungkin, Re! Orang-orang selalu menyebut Rio sebagai calon mahasiswa berprestasi, IPK-nya 3.8! Dia juga aktif di BEM dan dianggap jenius!” Rebecca teriak, memotong obrolannya “cukup Nath, prestasi seseorang tidak bisa menjamin moral seseorang!”
Sulit dipercaya oleh Nathan, karena Rio merupakan teman dekatnya dan keduanya sama-sama aktif sebagai demonstran “kalau memang benar, kenapa dia gak lapor ajah?” protes Nathan. Rebecca menjawab dengan tegas “karena dia perempuan Nath!”.
Nathan menjawab “terus kalau perempuan kenapa?. Emosi Rebecca semakin memuncak “Nathan please jangan pura-pura bego deh, perempuan masalah baju ajah dipermasalahin!”, Nathan tetap pada pendiriannya “kita gak lagi bahas baju, ini bahas soal kenapa dia gak lapor?”. Rebecca tidak menggubrisnya lagi, ia langsung mengusirnya.
Part ini cukup menggambarkan potret masyarakat yang slelau menyamakan kasus kekerasan seksual dengan kasus kriminal lainnya. Padahal keduanya tidak bisa disamakan, karena kasus kekerasan seksual memiliki karakteristik khusus yang membuat penanganannya cukup kompleks. Kekhasan tersebut tentu berkaitan erat dengan stigma yang melekat dalam masyarakat.
Data Kekerasan Seksual Bagaikan Fenomena ‘Gunung Es’
Tidak semua perempuan memiliki keberanian untuk speak up saat menjadi korban, karena tidak semua korban siap menghadapi konsekuensinya. Terlebih lagi, ketika hal ini terkait dengan penilaian orang lain terhadap dirinya, ancaman dari pelaku, dan ketakutan akan ketidakpercayaan orang-orang terhadap ceritanya, apalagi jika pelaku memiliki posisi strategis, seperti halnya pengalaman Zanna.
Zanna terlahir dari keluarga miskin, ia hidup dengan seorang ayah yang lumpuh. Keluarganya menyuruh Zanna untuk menikah saja agar tidak menjadi beban keluarga. Namun Zanna menolaknya, ia memiliki tekad bahwa kemiskinan bisa dilawan dengan pendidikan. Dia berusaha keras belajar dan akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa kuliah.
Mimpi Zanna hancur berkeping-keping! Sejak ia menjadi korban kekerasan seksual, kampus yang tadinya menjadi ruang untuk mewujudkan mimpinya kini hanyalah tempat yang mengerikan baginya. Zanna merasa terjebak dan tidak tahu harus bagaimana lagi. Pelaku kekerasan seksual adalah teman sekelasnya, sosok yang populer, kaya, cerdas, dan ayahnya merupakan petinggi kampus.
Thank You Salma!
Malam itu, Nathan dan Salma pergi makan bersama. Saat Salma meninggalkan sebentar untuk membeli minuman, tiba-tiba sekelompok laki-laki mendekatinya. Mereka menggoda, menyentuh dagu, dan bahkan meraba pantat Salma. Salam melawannya, ia memukulnya! Teriak! Dan memakinya. Tak berapa lama kemudian, Nathan tiba dan segera merangkul Salma yang menangis dan ketakutan.
“Aku merasa gagal melindungi kamu, Ma!” ujar Nathan. “Ini bukan salahmu, Nath. Aku masih bisa menjaga diri, kalau ada apa-apa aku masih bisa melawan. Tapi, ada sebagian perempuan yang tidak berani, mereka tidak seberuntung aku,” ujar Salma. Dengan wajah heran, Nathan menjawab, “Emang ada yang diapa-apain diam aja?”, “Banyaklah, Than!” jawab Salma mantap.“Kok bisa?” tanya Nathan sambil masih mempertahankan raut wajah herannya.
Saya setuju dengan Salma! Ada banyak faktor yang mendasari mengapa perempuan sering memilih untuk ‘diam’ ketika menjadi korban kekerasan seksual. Salah satu faktornya adalah perlakuan tidak adil yang dialami oleh perempuan, bahkan sejak pemikiran mereka terbentuk. Contohnya, stereotip negatif terkait dengan status keperawanan perempuan, yang sering dianggap buruk dibandingkan dengan laki-laki yang tidak perjaka.
Nathan Berubah Menjadi Sosok ‘Laki-laki Baru’
Penjelasan Salma berhasil mencuci otak Nathan, ia berubah 180 derajat, menjadi laki-laki baru! Esok harinya Nathan segera menghampiri Zanna, ia berjanji akan membantunya pulih dan menyelesaikan kasusnya. Tapi perilaku Nathan gegabah, ia mengintrograsi Rio dalam keadaan marah, yang akhirnya membuat anak-anak himpunan lainnya masuk dan menyaksikan cekcok mereka.
Dengan lantang Nathan menyebutkan identitas Zanna di hadapan mereka. Hal ini jelas melanggar etika penanganan kasus kekerasan seksual, di mana seharusnya nama korban dijaga kerahasiaannya. Penyebutan identitas korban sangatlah sensitif dan memerlukan persetujuan korban, karena ini menyangkut kesiapa mereka yang akan mempengaruhi mentalnya.
Tentu saja, mereka sulit mempercayai pengakuan Nathan, terutama karena Rio memiliki reputasi sebagai individu dengan ‘image baik’, sementara Zanna dianggap sebagai perempuan miskin yang sedang mencoba memeras Rio.
“Sudahlah, Nath, gak usah ribut masalah sepele gini!” ujar salah satu dari mereka.
“Kalau ini terjadi pada keluarga kalian, gue siap ribut! Gue siap maju di barisan paling depan!” tegas Nathan. Ia menghela nafas sejenak lalu berkata, “siapa yang siap dukung gue buat lawan si bajingan ini? Yang siap angkat tangan!” lanjutnya. Mereka terdiam, tidak menghiraukannya.
Ini part yang bikin saya merinding, fiks Nathan adalah gambaran lelaki baru sebenarnya! “Tiap hari kalian PD nyanyi ‘totalitas perjuangan’! Makan tai! Kalian sama busuknya dengan yang kalian demo!”Teriaknya dengan penuh emosi.
Seperti fakta sebenarnya, sering sekali saya menemui laki-laki yang mengaku dirinya sebagai ‘aktivis’, tapi sama sekali tidak memiliki perspektif gender, yang akhirnya menjadi kaki tangannya patriarki, menindas perempuan! Padahal ia gemar mengonsumsi jargon ‘musnahkan penindasan manusia atas manusia!’. Apakah dia berpikir bahwa kekesan seksual tidak mengancam hidup manusia lain? Atau memang konsep perjuangannya memusnahkan ‘penindasan rakyat, kecuali penindasan terhap perempuan?’ hahaha, entahlah.
Korban Kekerasan Seksual: Sudah Jatuh, Tertimpa Pula!
Perjuangan Nathan tidak terhenti di sana. Ia bersama yang lainnya berhasil membujuk jajaran dekanat untuk menyelidiki kasus ini. Akhirnya, pihak dekanat menggelar pertemuan antara pihak pelaku dan pihak korban. Relasi kuasa tampak jelas di sana, pihak dekanat lebih memihak pelaku karena hubungan keluarganya dengan petinggi kampus. Hal ini terlihat saat mereka memaksa Zanna untuk mau diinterogasi tanpa melibatkan pendamping, dan Zanna pun terpaksa menyetujuinya.
Belum selesai Zanna menceritakan kronologisnya, ia langsung disudutkan, pertanyaan-pertanyaan seksis pun saling bertebaran “kenapa waktu itu gak teriak minta tolong? Kenapa lapornya baru sekarang? Udah tahu malam, kok pulang sendirian? Kamu pakai baju apa waktu itu?”, Zanna terdiam, ia sesak. Setelah itu, ia meninggalkan ruangan dengan air mata dan tatapan kosong, ternyata beasiswa Zanna dicabut! Siallll! Sudah jatuh, tertimpa pula.
Masih Ada Kekuatan Lain yang Bisa Dipijak
Perjuangan ini belum berakhir. Ketika pihak struktur kampus tidak lagi memihak korban, langkah selanjutnya adalah memanfaatkan kekuatan besar lainnya, yaitu masyarakat. Inilah yang kemudian mereka lakukan, mencari dukungan publik. Strategisnya, mereka melibatkan tokoh berpengaruh, yaitu Gema Senja, seorang musisi yang sangat terkenal di kalangan remaja pada saat itu.
Gema Senja menceritakan kisah Zanna dengan menggunakan nama samaran ‘Lilac’ melalui live streaming. Tidak hanya itu, mereka juga membagikan kisah Zanna melalui sebuah lagu dan puisi. Terakhir, mereka mengkoordinasikan massa melalui demonstrasi di kampus dengan tiga tuntutan utama: pertama, kembalikan beasiswa Zanna. Kedua, K=keluarkan pelaku dari kampus. Ketiga, teegakkan hukum seadil-adilnya bagi korban.
Akhirnya, mereka berhasil mengembalikan beasiswa Zanna, tetapi tidak dapat mengeluarkan atau menindak pelaku, karena ayah pelaku mengancam akan menghentikan pendanaan bagi pihak kampus. Keadaan seperti ini tentu membuat Zanna galau dan bimbang. Ia tidak bisa berada di ruang yang sama dengan orang yang telah merenggut tubuhnya dan menyebabkan trauma yang mendalam.
“Apakah kita benar-benar kalah” keluh Zanna. Pihak kampus tidak bisa mengeluarkan pelaku, karena sang ayah mengancam untuk melaporkan balik pihak kampus, mereka tidak mau ambil reseiko. Namu keadaan tersebut sama sekali tidak membuat Zanna frustasi, ia tetap berjuang melanjutkan hidupnya dengan memutuskan untuk keluar dari kampus tersebut.
Di mata penguasa, Zanna memang kalah, tapi di mata saya, Zanna adalah pemenangnya, karena ia sudah berani melawannya. Wajar saja jika Zanna kalah, karena yang dilawannya adalah struktur yang sangat besar. Meskipun begitu, ia tidak putus asa, dan berkat perjuangannya, setidaknya perlawanan atas ketidakadilan masih tetap hidup. (IM)
Leave a Reply