Bom Makassar di depan Gereja Katedral yang terjadi Minggu 28 Maret 2021 memang mirip dengan bom-Surabaya tahun 2018. Tidak hanya jenis bom yang dipakai yakni TATP/Triacetobe Triperoxida dan obyek yang disasar yakni gereja, tapi juga pelakunya yakni keluarga. Bedanya kalau bom-Surabaya Dita Upriyanto mengajak istri dan 4 anaknya, pada bom-Makassar Lukman (25 tahun) karena belum punya anak jadi hanya mengajak Yogi Safitri Fortuna istrinya yang baru dia nikahi 6 bulan sebelumnya. Fenomena bom-Makassat semakin menguatkan munculnya apa yang disebut “Family Terrorism”.
Family terrorism di Indonesia memang menjadi modus-operandi baru. Modus ini ditandai dengan pelibatan ibu-ibu dan anak-anak sebagai eksekutor atau pelaku teror. Setelah sebelumnya di bom Surabaya, bom Sibolga dan kasus Menes. Tentu inspirasinya ya dari ISIS karena modus-operandi ini sudah lama di praktekkan ISIS. Di Indonesia, JAD/Jamaah Anshorut Daulah mencoba mengadopsi modus-operandi itu. Kebetulan setelah bom Surabaya, saya melakukan riset dan menulis artikel serta beberapa kali presentasi tentang topik ini.
Meski di Indonesia terbilang baru, sebenarnya Family Terrorism tidak bisa dikatakan benar-benar baru, melainkan sebagai perkembangan alamiah (natural development) dari modus-modus operandi yang ada sebelumnya.
Pertama, terrorist-brotherhood. Lazimnya, para terroris pertama-tama akan mengajak orang-orang terdekat mereka terutama keluarga; istri, orang-tua, kakak, adik, anak dll. Sebelumnya kita kenal teroris bersaudara Ali Ghufron, Amrozi, Ali Imron dari Lamongan sebagai pelaku bom-Bali 1 dll.
Kedua, widening-participation of woman from muhajiroh to mujahidah. Sebelum ini memang sudah banyak perempuan yang ikut kelompok teroris. Akan tetapi mereka tidak menjadi martir/pelaku bom bunuh diri melainkan supporting-role seperti menjadi kurir, mata-mata dan peran-peran pendukung lainnya.
Banyak hal mengapa perempuan sekarang ikut menjadi martir/pengebom bunuh-diri. Di ISIS karena makin terdesak dimana banyak jihadis pria yang mati sehingga perempuan turun tangan. Ada juga alasan karena perempuan istri teroris merasa dendam dengan tewasnya suami mereka. Ada juga alasan karena diajak suami dan mereka taat pada suami mereka. Ada yang karena keinginan sendiri, bahwa ikut menjadi eksekutor/martir pahalanya akan lebih besar dibanding sekedar sebagai supporter/pendukung dll.
Keterlibatan perempuan sebagai eksekutor terorisme di Indonesia dimulai dengan tertangkapnya terduga teroris Dita Millenia (18 thn) dan Siska Nur Azizah (21 thn) karena hendak menusuk polisi di Mako-Brimob. Keterkaitan mereka dengan ISIS makin menegaskan keterlibatan perempuan dalam terorisme di Indonesia. Meski begitu Dita dan Siska belum menikah sehingga kasusnya tidak dihitung sebagai bentuk Family Terrorism.
Sebelum Dita & Siska kita juga ingat kasus Noviyana dari Cirebon/Indramayu yang membantu teroris laki-laki dari kejaran polisi untuk menyimpan bahan pembuat bom. Terungkap juga rencana menjadikan Novi sebagai eksekutor bom nantinya. Novi sendiri teradikalisasi selama menjadi TKW di luar negeri. Riset IPAC menyatakan women migrant-workers di luar negeri (khususnya di Hongkong) banyak yang terpapar ideologi ekstrimisme-kekerasan.
Keterlibatan (baca: pemanfaatan) perempuan di kelompok teroris di Indonesia memang patut mendapat perhatian. Perempuan memegang peran penting dalam mata rantai terorisme. Mereka membantu aliansi teroris misal dengan mencarikan jodoh untuk teroris laki-laki yang masih jomblo atau yang sudah menikah tapi ingin poligami.
Perempuan juga bisa membantu keuangan teroris karena mereka lebih bisa bebas berbisnis ketika teroris laki-laki banyak yang dikejar-kejar polisi. Perempuan terbukti efektif menjadi kurir terutama untuk membantu teroris yang di penjara. Sekarang, partisipasi lebih jauh dan lebih dalam perempuan sebagai eksekutor serangan juga dianggap efektif karena maaf selain pakai cadar, juga kadang-kadang mereka tidak terlalu dicurigai aparat dan petugas keamanan lainnya sebagaimana teroris laki-laki.
Ketiga, ciri Family Terrorism adalah pelibatan anak-anak. Mereka masih belum memiliki nalar sempurna sehingga tidak bisa pikir panjang. Anak-anak juga masih tergantung dengan orang tuanya baik psikologis maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya. Oleh karena itu mereka cenderung gampang dipengaruhi orang tua mereka yang teroris. Kebanyakan karena yang mencekoki bapak-ibunya sehingga tidak kuasa menolak. Apalagi narasi yang dipakai orang tua mereka seperti “masuk surga bareng-bareng sama mama-papa”. Klo untuk remaja, narasinya biasanya lebih heroik dan spiritual seperti jihad membeka agama, melawan musuh kafir, memperjuangkan keadilan, semuanya dengan klaim fi sabilillah (dijalan Allah)
Dengan maraknya Family Terorism seperti di atas, sekarang pencegahan dan pemberantasan ekstrimisme-kekerasan harus berbasis keluarga, salah satu orientasinya ke arah family-resilience (ketahanan keluarga).
Pertimbangan keterlibatan perempuan dan atau ibu dalam program-program kontra terorisme menjadi sangat penting dan niscaya. Memang memprihatinkan jika melihat keterlibatan perempuan yang tidak sekedar supporting-role tapi sudah terlibat sebagai eksekutor martir atau pelaku bom bunuh diri. Makanya tidak aneh selain remaja, perempuan juga jadi sasaran/target propaganda ideologi dan perekrutan kelompok ekstremisme kekerasan.
Perempuan sesuai karakteristiknya dianggap punya loyalitas yang tinggi. Karena itu bahaya sekali jika mereka sudah terpapar ekstrimisme lebih susah tobat/ditobatkan. Beberapa peristiwa menunjukkan hal ini. Jika kita bicara keterlibatan perempuan dan ekstrimisme, artinya satu-paket dengan kerentanan remaja dan anak-anak karena umumnya mereka dekat dengan perempuan/ibunya. Oleh karena itu strategi kontra-terorisme untuk kaum perempuan juga to-some-extent sedikit berbeda dengan untuk kaum pria seperti yang selama ini sudah banyak dilakukan.
Secara umum jika kita mengacu pada faktor pendorong perempuan dalam ekstrimisme yang disusun WGWC, maka prinsip-prinsip dasar kontra-terorisme perempuan are such follows (but not limited to):
Pertama, perempuan harus berdaya, mandiri dan sejahtera. Sekarang wanita karir tidak melulu harus bekerja di sektor publik. Perempuan bisa kerja rumahan dan tidak kalah produktif. Minimal kerja online dan home-industry dll. No single path to Rome. Banyak cara dan jalan perempuan menjadi berdaya, mandiri dan sejahtera.
Kedua, perempuan harus punya literasi media. Ibu-ibu di Indonesia sekarang kelihatannya juga terjangkiti demam social media. Ini seperti dua koin mata uang, di satu sisi bisa positif untuk kaum perempuan tapi juga bisa negatif. Karenanya literasi media menjadi kebutuhan penting dan urgent ditengah derasnya arus informasi yang full of hoax, propaganda dll.
Ketiga, perempuan harus punya critical thinking. Secara umum jika kita bicara filsafat yang core-nya berpikir kritis, ilmu itu agak seksis dan filsuf-filsuf kuno masih didominasi laki-laki. Perempuan harus berkenalan dengan filsafat dan alat bantu pengetahuan lain yang bisa mengasah kritisisme mereka.
Keempat, perempuan harus belajar agama yang moderat dan toleran. Sekarang banyak komunitas hijabers, komunitas hijrah, majlis taklim, sosialita syar’i dll. Bagus seh tapi harus hati-hati. Jika bisa diupayakan murabbi dan ustadz/ustadzahnya yang moderat dan toleran sehingga ghiroh/semangat perempuan dalam beragama lebih ke arah yang positif.
Kelima, perempuan harus meningkat kualitas SDM-nya. Juga harus aktif. Aktif disini bisa macam-macam. Intinya ada media/saluran/tempat untuk aktualisasi diri. Sense of leadership perempuan juga harus di asah. Bahwa perempuan bisa berkontribusi positif dalam keluarga dan masyarakatnya itu pokok tujuannya.
Keenam, kontra-terorisme perempuan juga berarti perjuangan kesetaraan jender, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Jadi posisi perempuan yang subordinat dan inferior itu masa lalu dan sekarang sudah usang. Relasi suami-istri sekarang lebih setara dan berbagi peran. Kesadaran ini tidak hanya diperlukan perempuan tapi juga pihak laki-laki (baik ayah maupun anak-anak). Intinya bagaimana kita saling menghargai dan menghormati tanpa melihat sekat-sekat jender dll.
Leave a Reply