Beberapa waktu lalu penulis ditawari berbincang perihal bias gender dan gerakan keperempuan di kalangan aktivis mahasiswa. Terhadap tajuk pembicaraan semacam ini, penulis merasa terjangkit “Dunning-Kruger effect”. Ketika kita merasa lebih hebat dari orang lain di bidang tertentu padahal sebenarnya tidak.
Efek ini pula yang penulis jadikan sudut pandang kepada kelompok yang menggugat bias gender tanpa sedikit pun menawarkan toleransi, untuk mengatakan kelompok feminis yang fasis. Jika tajuk tersebut diperbincangkan bagi mahasiswa artinya bias gender dan gerakan keperempuan diteroka dalam jangkauan keorganisasian. Meskipun demikian, bukan berarti pengaruh diskursusnya tidak bisa sangat melebar.
Berbicara bias gender secara umum kita akan terngiang pada perjuangan tokoh atau aktivis perempuan. Bicara bias gender dalam suatu organisasi sudah tentu merujuk pada posisi kader perempuan yang menjadi pasukan cadangan dalam banyak atau bahkan setiap agenda organisasi. Dus peluang eksplorasi setiap diri kader mengalami suatu kompetisi yang halus atau mungkin saja semu di kalangan organisasi.
Tulisan ini hendak membongkar satu per satu cara pandang pada masing-masing kaum lelaki maupun perempuan yang berangkat dari hubungan dialogis dalam kerangka kerja bersama. Hasil tersebut kemudian akan memperlihatkan ada atau tidaknya bias kognitif dalam pandangan ‘pasukan cadangan’ yang melekat pada perempuan sebagai wujud pemikiran konvensional.
Dalam ruang lingkup kerja bersama, kesalingan adalah kunci. Jika ada suatu kondisi yang diyakini sebagai bentuk pendiskreditan terhadap perempuan, semisal suatu pekerjaan yang mana perempuan hanya sebagai cadangan tenaga, yang demikian jika dituruti oleh kaum perempuan, artinya kita mengikuti cara pandang maskulin.
Sementara cara pandang feminin adalah cara berfikir yang memberi banyak celah pada dirinya sendiri dan sekitarnya untuk mengalirkan segala potensi yang dimiliki. Ia lebih welas asih menyikapi segala silang pandang yang ada. Bukan berarti dalam cara pandang ini para feminis boleh kehilangan kepekaan atas segala hal bodoh di sekitarnya. Kepekaan utama adalah ketimpangan tidak sepatutnya berlaku.
Adanya istilah ‘pasukan cadangan’ –atau sejenisnya– adalah ketika ada suatu kelompok –bukan berarti mesti perempuan– yang tidak didahulukan untuk dipercaya menunaikan suatu tugas atau pekerjaan. Dalam konteks lebih luas dan mainstream kita mempercayainya sebagai inferioritas. Akan tetapi, yang menjadi lebih penting di sini adalah ‘siapa kamu’ yang memandang ‘pasukan cadangan’ ini.
Artinya suatu posisi nomor dua adalah representasi (saja), tergantung bagaimana seseorang memposisikan diri dalam memandangnya. Posisi tidak didahulukan dalam satu atau beberapa hal bukan lantas menjadikan seseorang sebagai bagian yang lebih rendah (inferior) dan menjadikan mereka yang didahulukan adalah superior.
Satu misal ketika sebagian kelompok mempermasalahkan kader perempuan yang selalu dijadikan bagian konsumsi. Pertanyaannya apakah berperan dalam bidang konsumsi adalah stigma buruk yang harus diubah? Lantas bagaimana dengan kader lelaki ‘yang terpinggirkan’ yang senantiasa menjadi bagian ‘angkat-angkat’? Atau mereka yang selalu merasa berat menjadi bagian inti acara?
Sama halnya dalam lingkungan kerja, ada jobdesk perempuan dan jobdesk laki-laki. Bukankah kita juga bisa menganggap suatu pekerjaan sebagai jobdesk perempuan sekaligus laki-laki? Kita bukan berperang antar gender tetapi kita selalu riskan berhadapan dengan representasi diri kita sendiri terhadap pembagian porsi kerja.
Setiap diri dalam segala hal adalah berbeda. Kita adalah pribadi yang imanen, yang tidak pernah sama satu dengan lainnya. Ketika kita melihat setiap hal dengan tabiat kalap terhadap ketimpangan pada akhirnya diri ini hanya terjebak dalam cekungan sempit bayang-bayang inferioritas. Sebaliknya, bagaimana kita memahami posisi penting diri dalam setiap hal adalah yang melegakan.
Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana mereka yang merasa dinomorduakan telah berhasil memahami arti penting dirinya? Zacky Khairul Umam dalam tulisannya yang berjudul “Fatema Mernissi: Aisyah Teladan Feminisme, Bukan Cuma Romantisme” (tirto.id, 11/05/2020) menyebut bahwa Mernissi mengungkap kurangnya partisipasi perempuan dalam produksi ilmu pengetahuan periode klasik berakibat pada pemahaman ilmiah yang menyebut tradisi Islam sebagai androsentris (berpusat pada kaum lelaki).
Jika mau mencermati, cara berfikir Mernissi adalah membangkitkan rasa perjuangan dalam tataran keseimbangan yang tidak menyudutkan suatu pihak, tetapi berusaha mengubah suatu kondisi. Ia memahami pentingnya kebangkitan perempuan dalam produksi ilmu pengetahuan guna mengubah stigma terhadap Islam yang androsentris menjadi Islam yang moderat.
Tidak setiap hal yang sudah menjadi kebiasaan perlu diubah, tetapi memang secara gamblang adalah hal-hal yang harus segera disentuh perubahan. Setiap diri semestinya berani memposisikan diri sebelum dirinya diposisikan. Soal ‘bias-biasan’ bukankah sekarang ini setiap subjek lebih mudah dinegosiasikan? Akan tetapi juga terlalu banyak yang bisa dinegosiakan, sehingga terkadang menjadi membingungkan.
Salah satu yang menjadi kegelisahan ketika bias gender dipahami hanya menjadi milik –artinya hanya menimpa– perempuan. Tunggu dulu, bukan berarti di sini gerakan keperempuan harus direm. Justru gerakan kaum perempuan mesti terus dijalankan sebagai klaim eksistensi yang bukan sekadar eksis. Melainkan eksistensi yang mengada (mengejawentah). Kita mesti ingat perempuan sebagai representasi watak feminitas adalah separuh dari kehidupan.
Perempuan punya areanya sendiri, begitu pula laki-laki. Apa yang terjadi pada kaum perempuan, juga bisa dirasakan oleh kaum lelaki. Dalam buku Biokultural (Gambang, 2020) disebutkan bahwa satu hal yang sangat mendesak untuk diperbaiki adalah, kata Aprinus Salam, rasa percaya terhadap sesama dan kepercayaan terhadap masa depan yang lebih baik.
Dengan begitu penulis meyakini yang lebih luhur adalah setiap perbedaan –ideologi, kepercayaan, gender, etnis, sifat, pengetahuan, cara berfikir, dll– bisa dileburkan menjadi suatu hal yang baik bagi peradaban –seluas apapun konteksnya. Yang lebih penting dari kompetisi gender adalah kontemplasi kemanusiaan.
Setiap perempuan yang bergulat di arena gerakan keperempuanan yang memperjuangkan ketertindasan perempuan, sudah selayaknya lihai memilah mana perjuangan dan mana persaingan. Bagi mereka yang ada di luar garis perjuangan itu –entah ia laki-laki maupun perempuan– punya andil yang sama menepis ketertindasan.
Seperti kita menyadari ucapan Ajahn Brahm bahwa pikiran dapat memuat segalanya, patut kita terima pikiran kita dapat didera bias di mana-mana. Sebuah kewaspadaan sepertinya menganjurkan agar kecaman atas suatu anggapan bias (terutama gender) tidak dilayangkan dengan gegabah. Kita dijadikan layak untuk menimbang sejak dalam pikiran.
**
Leave a Reply