#dirumahaja gara-gara virus corona membuat saya menonton film korea ini: Silenced atau Dogani dalam bahasa koreanya.
Ini film yang menguras emosi dan air mata. Kalau Anda ingin cari hiburan, mending cari film lain saja. Ini bukan jenis film yang membuat Anda riang gembira sesudahnya
Film ini diangkat dari sebuah novel berdasar kejadian nyata. Seorang guru mengetahui bahwa sekolah barunya, sekolah khusus bagi penderita gangguan pendengaran, ternyata menyimpan rahasia kelam. Beberapa murid di sana mengalami penyiksaan dan kekerasan seksual oleh staf sekolah tersebut selama bertahun-tahun. Film ini menceritakan perjuangan anak-anak itu menuntut keadilan ditemani sang guru baru dan seorang aktivis HAM.
Di luar alur ceritanya sendiri yang menyayat hati dan layak ditonton, ada hal lain yang ingin saya kenang melalui tulisan dari film ini. Film ini mengingatkan saya bahwa perjuangan mencari kebenaran dan keadilan tidak datang dengan mudah. Harus ada pengorbanan, keberanian, kekeraskepalaan..
Di film ini ada adegan unjuk rasa meminta keadilan bagi anak-anak bisu tuli itu. Para pengunjuk rasa yang berduka disiram air dan dipentungi polisi. Dalam kenyataannya memang begitu. Unjuk rasa “terpaksa” dilakukan karena hukum tidak bisa memberikan keadilan. Hukuman yang diberikan pada para pelaku kekerasan seksual tersebut teramat sangat ringan. Tidak ada apa-apanya dibandingkan kejahatan yang mereka lakukan dan trauma yang mereka timbulkan.
Saya lantas teringat banyak unjuk rasa semacam ini sepanjang sejarah. Banyak hal yang kini kita anggap sebagai bagian terberi, sesuatu yang sudah dari sananya, dalam hidup dan kenyamanan kita, adalah berkah dari demonstrasi segelintir orang berani pada masanya. Iya segelintir, karena sebanyak-banyaknya pendemo, masih lebih banyak yang tidak ikut demo tapi menikmati hasil perubahan sosial berkat demo.
Bila hari ini perbudakan sudah tidak ada, itu salah satunya berkat demo. Kalau Anda perempuan dan punya hak pilih serta bisa bekerja di luar rumah, itu salah satunya juga berkat orang-orang yang dengan gagah berani berunjuk rasa menuntut itu, meski mendapat tekanan dari penguasa dan orang-orang yang tak memahami perjuangan mereka.
Kalau Anda membaca sejarah, minimal menonton film sejarah dan mau sedikit melongok wikipedia, Anda akan tahu bahwa dunia kita pernah begitu mengerikan. Peperangan, perebutan kekuasan, perbudakan, penindasan perempuan, penjajahan. Apakah semua itu hilang secara ajaib? Tidak. Ada orang-orang yang berjuang mengubahnya. Apakah caranya selalu manis melalui diplomasi dan diskusi? Atau jalur-jalur formal seperti pengajuan usul pada yang berwenang dan lantas pasrah karena “pemerintah pasti memikirkan yang terbaik buat rakyatnya”? Tidak. Perubahan sejarah kerap menuntut keberanian menantang kebiasaan, kenormalan, keberterimaan. Proses menuju itu kadang keras, bahkan berdarah-darah. Nyaris selalu penuh kekacauan. Tidak pernah lurus dan linear. Kadang kita tidak tahu proses yang mana menghasilkan apa. Sering kita didera keraguan demi keraguan: apakah aku melakukan hal yang benar? Apakah semua ini ada gunanya?
Ini karena perjuangan-perjuangan mengubah hal besar tidak pernah didukung banyak orang. Minimal pada awalnya. Anda akan selalu dituduh pemberontak, pengacau, tukang bikin ribut, dll, dsb. Seperti itulah kondisi yang mengiringi banyak perubahan besar dalam sejarah. Pun dalam kisah nyata yang melatari film Dogani ini. Penguak kasus ini awalnya hanya dua orang. Namun pendukungnya lantas bertambah, lalu bertambah lagi. Pengunjuk rasa awalnya hanya sedikit. Tapi mereka tidak menyerah. Mereka bahkan belum menyerah sampai film ini dibuat bertahun-tahun setelahnya.
Saya bersyukur mas ganteng Gong Yoo yang jadi pemeran utama film ini membaca novel Dogani dan menghubungi si penulis untuk memfilmkannya. Setelah film ini tayang di bioskop, makin banyak orang yang tahu kasus ini dan mendesak pemerintah korsel untuk mengubah undang-undang yang memungkinkan para pelaku kejahatan seksual tersebut lolos dari hukuman berat.
Akhirnya, sebuah peraturan hukum yang bermasalah pun diubah. Aturan penggantinya dinamai UU Dogani, seperti judul film ini. Sekarang, tidak ada batasan waktu lagi untuk mengajukan gugatan hukum untuk kasus pelecehan seksual. Saat ini, korban tidak lagi berkewajiban membuktikan bahwa diri mereka “tak mampu melawan” saat diperkosa.
Begitulah. Kadang kita harus berani bersuara. Tidak selamanya diam itu emas.
Kadang kita harus memaksa. Demi kepentingan yang lebih besar. Tidak selamanya cara-cara sopan dan manis adalah pilihan yang tepat.
Pemerintah, aparat, pihak berwenang, polisi, tentara, tidak selalu baik dan tahu yang terbaik buat semua orang.
Di akhir film ini ada kutipan menarik yang disuarakan sang pemeran utama wanita:
“aku baru sadar bahwa alasan kita berjuang begitu keras bukanlah untuk mengubah dunia, tapi untuk tidak membiarkan dunia mengubah kita.”
Jangan pernah takut untuk bersuara. Jangan pernah lelah menyuarakan mereka yang tak bisa bersuara. You know who you are.
Leave a Reply