Bagian 2
Masa Reformasi: Kebangkitan kembali Organisasi Perempuan
Peristiwa yang terjadi pada Mei 1998 adalah pembuka kran reformasi di Indonesia. Berawal dari tuntutan demonstran yang menginginkan rezim Soeharto dilengserkan akibat krisis moneter yang menjerat bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut juga menjadi titik awal pergerakan perempuan yang sebelumnya terbelenggu oleh kebijakan Orde Baru yang diskriminatif terhadap perempuan.
Menjelang reformasi, Indonesia dikejutkan dengan peritiwa hilangnya Marsinah, seorang buruh perempuan yang aktif dalam aksi-aksi pemogokan. Hal-hal yang dituntut oleh buruh saat itu adalah kenaikan upah, tunjangan kesejahteraan sosial, cuti hamil, cuti haid, upah lembur, THR, jaminan kesehatan buruh, serta kenaikan uang makan dan uang transportasi. Setelah melakukan aksi pemogokan kerja yang dipelopori oleh Marsinah, pada tanggal 9 Mei 1993 ia ditemukan meninggal dunia (Iyut: 2014). Pengungkapan kasus kematian Marsinah mengalami kebuntuan, tidak jelas siapa terdakwa dan siapa yang merencanakan pembunuhan. Kasus tersebut akhirnya menguap begitu saja.
Muncul perlawanan dan kecaman dari berbagai pihak, termasuk perlawanan dari kelompok perempuan. Perlawanan memuncak dalam gerakan massif dan terstruktur saat gerakan perempuan juga menuntut penyelesaian tragedi 12-14 Mei 1998 di Jakarta. Dalam tragedi tersebut banyak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, hak bicaranya dibungkam, dan hak politiknya dikebiri. Maka bersamaan dengan mosi menggulingkan Soeharto, isu tentang pemberdayaan perempuan juga dimunculkan.
Pada tanggal 14 Desember – 22 Desember 1998 diadakanlah Kongres Perempuan di Yogyakarta dengan agenda memperjuangkan keterwakilan 30% suara perempuan dalam parlemen. Di masa pemerintahan presiden Habibie, dibentuklah Komisi Nasional Perlindungan Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas perempuan), yang khusus menangani kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Kemudian di masa presiden Gus Dur dikeluarkanlah program Pengarusutamaan Gender (PUG).
Pada masa presiden Megawati, tuntutan perempuan untuk memberikan kuota 30% bagi perempuan disetujui. Kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengangkat secara langsung 4 menteri perempuan dalam kabinetnya. Pada periode keduanya, Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat 5 menteri perempuan. Hal ini sekaligus menjawab tudingan di masa sebelumnya yang menyatakan kesulitan mencari kader perempuan.
Perjuangan terus ada, belum sampai ke garis finish
Dibanding dengan periode sebelumnya, posisi gerakan perempuan di era ini memang mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Semuanya masih dalam proses, belum mencapai garis finish. Sistem politik demokrasi neoliberal seolah memang memihak pada perempuan melalui kebebasan berpolitiknya, namun sayangnya masih berbanding terbalik dengan redistribusi kemakmuran.
Hal ini diperparah dengan munculnya organisasi sektarian yang mengusung isu-isu horisontal seperti takfiri, anti-Barat, dan antek-Zionis. Diperkuat dengan meningkatnya sentimen religius dengan tren hijrah yang saat ini laku keras di pasaran. Sehingga narasi domestikasi perempuan sebagai simbol kesalehan paripurna, preferensi busana, dan sibuk dengan politik pengakuan, menjadi perdebatan bahkan oleh sesama perempuan itu sendiri.
Perjuangan perempuan masih panjang, keadilan bagi seluruh rakyat tanpa memandang gender akan tercipta jika Indonesia terbebas dari kungungan patriarkal yang berjalan mesra dengan kapitalisme. Patriarki masih dianggap sebagai suatu hubungan social dan keluarga yang ternormalisasi. Sehingga acapkali digunakan sebagai legitimasi untuk menomorduakan perempuan.
Referensi
Tyas Retno Wulan, Pemetaan Gerakan Perempuan Di Indonesia Dan Implikasinya Terhadap Penguatan Public Sphere Di Pedesaan, Jurnal Studi Gender & Anak, Vol.3 No.1 Jan-Jun 2008 pp.120-139.
Ruth Indian Rahayu, “Politik Gender Orde baru Tinjauan Organisasi Perempuan sejak 1980-an”, dalam Prisma 5 Mei 1996.
D. Triwibowo, “Gerakan Perempuan di Indonesia”, dalam Basis, No 01-02, Tahun ke 55 Januari-Februari 2006
Soyomukti, N. (2009). Perempuan di mata Soekarno / Nurani Soyomukti. Yogyakarta: Garasi.
Iyut Qurniasari dan IG. Krisnadi, Konspirasi Politik Dalam Kematian Marsinah Di Porong Sidoarjo Tahun 1993-1995, Jurnal Publika Budaya Volume 3 (2) November 2014
Leave a Reply