Jalaluddin Rumi seorang sufi dan penyair kenamaan abad 13. Puisi-puisinya melintasi beragam ajaran agama dan ras hingga semua pembaca dapat merasakan relevansinya. Sufi Persia itu tidak hanya menggubah puisi cinta, kedamaian dan persahabatan. Perhatiannnya juga tertuju pada persoalan derita, meskipun begitu menurutnya penderitan adalah cintaNya yang menyamar. Terlihat pada bait awal mahakaryanya, Matsnawi, Rumi telah membetot perhatian pembaca dengan syairnya: “Derita adalah jalan masuknya Cahaya kedalam dirimu”
Menurutnya, derita, patah hati, dan luka yang menyakitkan akan membawa kita pada kesadaran bahwa kita memang manusia yang rentan nan rapuh. Namun dibalik semua itu ada Tuhan yang terbentang luas kasih sayangNya.
Allah yang menghadirkan penderitaan dalam kehidupan tidak lain adalah untuk menguji hambaNya. Ibarat tanah liat yang diremas, dipukul, dibakar dan dibentuk untuk menjadi kerajinan tembikar yang indah dan berharga. Maka setiap cobaan yang Dia datangkan kepada kita adalah untuk meneguhkan diri kita menjadi sosok manusia yang terbaik, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka ditimpakan musibah kepadanya” (HR. Bukhari)
Bagi Maulana Rumi menderita itu asyik. Sebab melalui derita akan melahirkan kerinduan untuk kembali kepada Sang Pengasih. Karena itu menurutnya penderitaan adalah kasih sayangNya yang tengah menyamar. Dihadirkannya cobaan dalam kehidupan manusia, agar seorang hamba kembali ingat Tuhannya. Sebab Dia selalu merindukan hambaNya yang menengadahkan tangannya memohon rahmatNya, dan Dia tak pernah rela bila hambaNya melupakanNya.
Tanya pada diri kita, kapankah manusia lebih bergantung kepada Tuhannya, ketika dalam suasana riang gembira mendapat kenikmatan-kenikmatan hidup? Ataukah ketika banyak masalah dan hati sedang terluka? Sepertinya lebih sering ingat Tuhan saat hati sedih. Ayat 12 surat Yunus seakan menyindir manusia;
وَاِذَا مَسَّ الْاِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْۢبِهٖٓ اَوْ قَاعِدًا اَوْ قَاۤىِٕمًا ۚفَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهٗ مَرَّ كَاَنْ لَّمْ يَدْعُنَآ اِلٰى ضُرٍّ مَّسَّهٗۗ كَذٰلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِيْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Apabila manusia ditimpa kesusahan, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Namun, setelah Kami hilangkan kesusahan itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) kesusahan yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan” (QS. Yunus/10: 12)
Kenikmatan duniawi kerapkali membuat hati terlampau senang sehingga lupa bahwa semua yang terjadi atas hidup kita adalah kehendak serta karunia dariNya. Manusia dengan mudahnya bersikap sombong dan tidak menyadari bahwa Allah-lah yang memberikan semua hak baik dalam hidupnya.
Untuk itu Allah menegur hambaNya agar menyadari kesalahan yang telah ia perbuat dan kembali ke jalan yang diridhai. Maulana Rumi percaya bahwa dengan penderitaan yang terjadi di dunia ini, adalah untuk membersihkan hati seseorang. Seperti al-Musthofa Rasulillah bersabda;
“Tidaklah seorang muslim tertimpa kecelakaan, kemiskinan, kegundahan, kesedihan, kesakitan maupun keduka-citaan bahkan tertusuk duri sekalipun, niscaya Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan apa yang menimpanya itu” (HR. Bukhari)
Rumi dalam syairnya mengajak kita untuk memahami bahwa luka lara dan derita yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan, tidak lain merupakan bukti cintaNya— yang dengannya kita diundang untuk kembali kepadaNya dengan jiwa yang bersih.
Lalu melalui hati yang bersih itu, Tuhan akan rela (ridha) masuk ke dalam hati hambaNya dan mengenalkan diriNya. Sebagaimana ketika Dia mengenalkan diriNya kepada Musa di gunung Sina melalui penampakkan Cahaya.
Nilai Kemanusiaan dalam Pandangan Rumi
Modernisme menaksir manusia dengan pendekatan grand theory. Dalam konsep humanisme mereka, potensi kebaikan berasal dari dalam diri manusia dan keburukan datang dari luar. Hal ini berakibat ketika manusia bersalah, ia akan selalu membantah kesalahannya sendiri, karena merasa bahwa potensi buruk itu berasal dari pengaruh lain di luar diri. Padahal dalam diri manusia terdapat bibit keburukan sekaligus juga kebaikan. Seperti yang disinggung pada ayat berikut ini:
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ ٧ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ ٨
Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, Lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. (QS. asy-Syams/91: 7-8)
Menurut Quraish Shihab menafsiri ayat diatas menerangkan tentang jiwa manusia sebagai ciptaan yang sempurna, dari kesempurnaan itu Allah menganugerahi manusia dengan potensi baik dan buruk. juga mengilhami (mengisnpirasi) manusia kemampuan untuk melewati jalur ketakwaan dan kedurhakaan, sehingga ia bisa membedakan jalan mana yang benar dan salah.
Melalui syair-syairnya, Rumi ingin mengingatkan kita bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan yang kontradiksi, yaitu kecenderungan untuk berbuat jahat dan juga ada kecenderungan untuk bersikap baik. Terkadang manusia menyerupai sifat serigala, di lain waktu manusia menjelma keindahan Yusuf (Matsnawi, bait 1420)
Manusia memang diberikan potensi keburukan, namun hal ini tidak berarti serta-merta ia pasti akan berbuat kejahatan. Sebuah penelitian tentang ilmu neuroscience tahun 1995 menemukan perihal bagaimana otak manusia bekerja, seperti juga bagaimana otak dapat menghasilkan emosi marah, iri, benci, dengki, dan sebagainya. Dari penemuan itu dapatlah kita pahami bahwa bukan salah takdir jika manusia berbuat kejahatan, karena tidak ada pengaruh gen (keturunan) jahat dari dalam diri, gen hanya memberikan kecenderungan atau potensi untuk melakukan keburukan.
Hal ini bisa dianalogikan dengan sebuah pisau, ketika pisau digunakan dengan niat dan cara yang baik maka akan bermanfaat seperti, misalnya, digunakan untuk memotong buah dan sayur. Namun jika digunakaan untuk untuk hal-hal yang tidak dibenarkan, tentu akan bernilai keburukan.
Memaksimalkan Potensi Kebaikan
Wujud manusia laksana hutan belukar
Hanya mereka yang berpegang pada tali Allah-lah yang akan selamat
Dalam diri manusia ada ribuan srigala dan babi
Shalih dan tidak, baik dan buruk
(Matsnawi, bait 1416-1417)
Bait-bait puisi di atas, disuarakan oleh Jalaluddin Rumi supaya manusia tidak mudah berputus asa, meskipun potensi keburukan dalam diri manusia akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan. Dua hal; potensi kebaikan dan keburukan berjalan beriringan karena kebaikan tidak akan ada tanpa keburukan begitu pula sebaliknya.
Akan tetapi Allah tidak hanya menganugerahkan dua potensi tersebut, sebagaimana ayat yang termaktub diatas, Dia juga memberi inspirasi atau ilham dan mengenalkan kepada kita tentang jalan kefasikan dan ketakwaan, darinya kita mengetahui bahwa jalan kefasikan akan membawa pada kerusakan, sedangkan jalan ketakwaan akan mangantarkan pada hal-hal yang baik.
Bekal dari Sang Pemberi petunjuk berupa kitab al-Quran dan juga akal yang dengannya kita dapat berpikir, memilih, serta mengambil keputusan potensi mana yang harus terus-menerus dipelihara dan dikembangkan. Siapa pun yang sudah melahap betul bekal itu, mereka dapat manjatuhkan kemana pilihan yang tepat, tentu saja potensi untuk berbuat baik yang perlu dirawat dan dimaksimalkan di lain sisi berusaha membuang perasaan untuk berbuat buruk.
Wallahu a’lam
Leave a Reply