,

Dear Muslimah, Mematikan Centang Biru di WhatsApp Bukan Berarti Sombong atau Tidak Sopan Kok!

/
/

centang biru

Neswa.id-Sore gerimis sambil makan cimol, seorang teman nyletuk “Wes nonton story WA sing tak gawe mau isuk durung?” (Sudah melihat story WA yang kubuat tadi pagi belum?).

“Sudah ya, sejak tadi pagi” Jawabnya sambil menatap layar.

“Lha kok, aku nggak tau kalau kamu sudah nonton” Timpalnya sambil mengerutkan dahi.

“Ehehe. Iya, centang biruku mati. Jadi kamu nggak bisa lihat, apakah aku sudah nonton atau belum”.

“Woalaaaaah, Aku sudah pernah matiin centang biru, serus ditegur dosenku katanya nggak sopan”

“Tapi…” berusaha menjawab dan memberikan argumen.

Dengan cepat suara lain nyambar “Oh iya, koncoku juga bilang jare nek ngunu ngekei kesan sombong” (Oh iya, temanku juga mengatakan jika hal tersebut juga memberikan kesan sombong)

WhatsApp memiliki banyak fitur canggih yang dapat dinikmati, salah satunya fitur mematikan centang biru. Seorang pengguna aplikasi WhatsApp boleh secara bebas memilih merasakan fitur yang ingin digunakan.

Fitur mematikan centang biru pada aplikasi WhatsApp memang memberikan dampak terhadap ketidakjelasan status pesan. Maksudnya, apakah pesan tersebut sudah terbaca atau belum. Hal tersebut yang selanjutnya bisa berpengaruh pada reaksi orang-orang yang memiliki kepentingan dengan para sosok yang menganut madzhab “centang biru mati”. Supaya lebih mudah, kita sebut saja madzhab anti centang biru.

Mematikan centang biru pada WhatsApp terkadang juga mampu memicu persoalan, seperti ketidakrelaan dan ketidakpuasan pengirim karena tidak mendapatkan kepastian sudah dibaca atau belum terhadap pesan yang ia kirim. Oh iya, ada satu lagi, para pengikut anti madzhab centang biru ini juga tidak memberikan jejak terhadap tindakan melihat story teman-teman yang telah dilakukan. Sehingga, pengikut madzhab anti centang biru ini tidak akan pernah menjadi barisan viewer story, karena tidak terlihat. Namun, ia juga tidak bisa mengetahui viewer dalam story yang ia buat.

Tetek bengek persoalan centang biru ini memang cukup serius bagi kalangan madzhab centang biru dan kalangan madzhab anti centang biru. Nah, bagian ini akan sedikit celoteh dengan penuh keriangan mengenai beberapa fenomena sederhana, namun cukup krusial untuk disampaikan. Sebagai bagian dari penganut anti centang biru, memilih jalan tersebut bukan merupakan kesalahan yang mutlak, tidak sopan atau sombong. Setiap individu punya prioritas, strategi dan alasan mengapa memilih suatu pilihan termasuk mematikan centang biru.

Mematikan centang biru terkadang digunakan oleh beberapa orang yang terkadang mendapatkan chat setiap harinya namun tidak sempat membalas, bisa jadi pula mereka kalangan orang-orang yang tidak cukup konsentrasi untuk membalas chat dalam sela-sela kegiatan, sehingga lebih senang membalas pesan pada saat waktu yang tenang dan longgar. Terburu-buru menjustifikasi para aliran “madzhab anti centang biru” sebagai orang yang sombong atau tidak sopan juga sebenarnya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Sebab, terkadang orang lain tidak bisa disamakan keadaannya dengan apa yang sedang kita rasakan.

Refleksi sederhananya, justru yang terburu-buru men-judged kepada mereka yang mematikan centang biru juga perlu dipertanyakan kesopanan dan kesombongannya. Sebab, terdapat indikasi merasa benar atas dirinya, hingga tergerak untuk menyalahkan orang lain. Etika menghargai orang lain dan tidak merasa benar sendiri adalah sesuatu yang seharusnya diunggulkan.

Sebab, sejatinya setiap individu memiliki kondisi, kepentingan dan hal lain yang tidak bisa disamakan dengan kondisi individu yang lainnya. Mereka punya keunikan sendiri, memiliki cara untuk mencari kenyamanan sendiri, dan memiliki segudang berbedaan yang perlu kita hargai. Semua tidak harus sama dan tidak perlu memaksakan standarisasi.

Melahirkan kesadaran untuk muhasabah serta menghindari melakukan pembenaran terhadap diri sendiri merupakan sesuatu yang penting. Kalangan muda sudah seharusnya mampu menangkap dan menguasai hal tersebut sebagai upaya untuk menghadapi tantangan zaman yang berkembang dengan kompleksitas budaya hari ini. Jargon besar yang perlu diperkuat sebenarnya sederhana, yaitu tentang konsep rahmah seperti yang telah disampaikan dalam Islam.

Persoalan tentang centang biru adalah fenomena kecil yang lahir atas perkembangan teknologi yang melahirkan problem di lingkungan masyarakat. Artinya, ada pemicu perpecahan dan penyebaran kebencian hari ini bisa timbul dari hal kecil dan receh,  yang mungkin dulu tidak pernah terbayangkan. Hal tersebut merupakan bukti bahwa perkembangan zaman juga harus berjalan bersama dengan peningkatan etika. Khususnya, generasi muda bahwa menjadi kerukunan dan memelihara rasa cinta untuk sama adalah modal utama untuk merawat keragaman dan menjalani kehidupan hari ini agar lebih harmonis. Sekian. (IM)


Khoniq Nur Afiah Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *