Malam itu tak biasanya aku sulit terlelap. Bawaan bayi mungkin, karena akhir-akhir ini tubuhku makin terasa tak nyaman. Perutku terus menggelembung, namun bagian tubuh lainnya tidak. Bila dipandang dari belakang maupun wajah, aku tetap Fey yang dikenal orang-orang.
Dari balik tirai jendela kulihat bulan tak tampak karena mendung begitu pekat. Kulihat jam dinding. Pukul 22.15. Raka baru boarding, mudah-mudahan pesawatnya tak tertunda karena cuaca. Kubayangkan wajah kelelahannya usai menuntaskan pekerjaan lintas daerah ini.
Baru saja aku hendak berbaring, lampu penanda pesan masuk berkedip-kedip.
“Foto profilmu jelek.” Singkat, khas pesan Tedja.
Sebal aku, lelaki itu lagi. Padahal, tak satu pun dari daftar teman di whatsapp-ku yang berkomentar sejak kemarin.
“Ra urus, pacar bukan…suami juga bukan!”, sungutku.
Seketika kuterima balasan, “Oh ya? Kayak bukan dirimu.”
Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara. Kualihkan dengan menanyakan kondisinya setelah tahu dia terinfeksi virus itu.
“Gimana dirimu, sudah baikan? Anosmia nggak?”
Tak lama ia mengetik. “Cium bau agak kurang, mungkin karena pilek juga. Tapi soal rasa…jangan ditanya.”
Kuberi ia emoji berpikir. Maksudnya?
“Semua rasa yang pernah ada, tetap tersimpan.”
Pesan terakhir ini membungkamku. Tak berniat membalas, aku segera membuka pintu balkon apartemen, mencari udara segar. Sederetan genting rumah yang memerangkap pandangan malah membuat pikiranku melayang lagi mengingat sosoknya.
***
2010
Langit Jakarta kemerahan, khas kota metropolis. Lewat tengah malam suasana hening dan tak berangin.
“Pesawatmu jam berapa besok?”
Aku menggeser kepala, menyentuh lengan Tedja.
“Kenapa? Mau nganter?”
Lelaki berkulit kecokelatan itu menunjukkan sederetan gigi yang memesona, sebelum berbisik, “Enggak ah, nanti aku nangis.”
Tiba-tiba kekikukan menyergap.
Kuelus jambangnya seperti biasa. Terasa rambut-rambut halus yang biasa menggelitikku saat kami bermesraan di kantornya.
“Memang kamu bakal kehilangan, Fey?” tanya Tedja sebelum mendaratkan kecupan di jari jemariku.
Aku menunduk, ada yang diam-diam mengalir di pipi.
“Ehm, tapi ini yang terbaik. Sebelum kita dan orang lain makin sakit hati. Sudahlah, selesai saja di sini.” Suaraku bergetar tak bisa menyembunyikan perasaan.
Tedja memelukku kuat, dadaku sesak dibuatnya. Suaranya kini gantian bergetar.
“A-apa kamu menyesal beberapa bulan ini? Apa mungkin kamu merasa malu dengan perbedaan kita, Fey?”
Kukecup rambut dan cuping telinganya.
“Aku enggak peduli perbedaan itu. Toh hati enggak bisa milih merasa nyaman bersama siapa.”
Malam mulai jatuh ke peraduannya. Keheningan makin terasa di di area asrama lokasi rumah produksi tempat kami bekerja.
Dengan sigap, ia menggamit lenganku menuruni genting menuju kamar masing-masing.
***
Aku sudah tiba di ruangan boarding, ketika sepucuk surat terpental dari saku depan ransel.
Ada tulisan Tedja yang kukenali dari post it yang biasa menempel di lokerku.
Tak sabar surat itu kubuka.
“Fey, aku hanya minta, apa pun yang terjadi… biarlah rahasia kita saja. Kita sama-sama telah punya kekasih ketika bertemu belakangan. Merasa klik padahal tak pernah bilang saling cinta. Aku nggak tahu, kita ini apa? Teman, kok akrab sekali? Sahabat, tapi mesra berciuman. Enggak pernah juga di antara kita ada yang menyatakan cinta.
Maafkan aku, nggak mampu bilang ini kemarin. Kurang jantan sebenarnya melalui surat. Namun, aku enggak sanggup melihatmu menangis.
Jadi, tolong …jangan beri tahu siapa-siapa. Termasuk Raka, kekasihmu. Aku khawatir ia marah besar, padahal hubungan kalian sudah di ambang pernikahan. Kalau Joy, dia tahu aku perlu dekat perempuan, dan merasa ‘safe’ ketika tahu yang berdekatan denganku itu kamu. Bukan perempuan lain.
Maafkan bila surat ini membuatmu terluka. Selamat berkarya dan membangun kariermu yang baru!”
– Lelaki berkulit cokelat yang kamu sukai dan menyukaimu-
Membaca surat itu membuatku sakit dan menambah rasa bersalah kepada Raka. Kubuat ia koyak-moyak sebelum menjadi penghuni tong sampah terdekat. Bodohnya aku, sekian bulan dijadikan pelampiasan rasa, (mungkin) juga nafsu Tedja juga ketika Joy tak berada di sisinya.
Tedja tahu aku punya ketakutan terbesar ditinggalkan dan diabaikan lelaki; sejak Papa pergi meninggalkan keluarga kami waktu aku masih SMA. Ketika mau tak mau kuhadapi hubungan jarak jauh dengan Raka, trauma terbesarku itu muncul lagi. Tedja memanfaatkannya. Berkali-kali ia menunjukkan perhatian lebih, memperlihatkan afeksi dengan kemesraan dari level yang sederhana.
Tedja menawarkan kopi setiap pagi, menemani nonton, menghiburku dengan lelucon-lelucon recehnya, termasuk menikmati langit dan bintang-bintang ketika sama-sama insomnia. Dungunya aku terbuai, tanpa tahu aku bukan siapa-siapa di hatinya.
Ketika pesawatku melesat menembus cakrawala, aku berjanji kepada diri sendiri. Tedja hanya cerita lalu, Raka lembaran hidupku yang baru.
***
“Hei, kau ganti lagi foto profilmu? Kok kurus? Jadi nggak bagus kelihatannya.”
Pesan Tedja terbaru benar-benar menggangguku lagi.
Ia memintaku merahasiakan, tetapi ia sendiri terkungkung dalam kenangan masa itu termasuk mencoba-coba merangkai serpihan kebersamaan kami agar hatiku tertawan lagi.
Tedja belum tahu aku tak senaif dulu. Dengan cermat kutelusuri lagi percakapan kami sekian kali untuk membuktikannya.
Bermula dari aku yang terlebih dahulu menghubungi. Meminta beberapa foto rumah produksi saat menjadi penampil pertunjukan satu dekade lalu untuk contoh ilustrasi buku yang kutulis. Lalu berlanjut ketika ia berduka karena Covid merenggut nyawa adik kesayangannya, kemudian ia sendiri terinfeksi virus yang sama.
Aku hanya ingin menunjukkan simpatiku. Tak lebih. Meski akhir hubungan dengan Tedja tak terlalu baik, tak berarti aku harus bersikap jahat kepadanya.
Joy—istri Tedja kini—mungkin mencurigai lelaki itu memiliki maksud kurang baik dari sekian percakapan denganku. Sebanyak aku menghubungi lelaki itu, sesering nama perempuan itu muncul dalam deretan nama yang melihat story di media sosial dan status WA-ku.
***
“Fey, udah cek tensi belum? Sebelum tidur jangan lihat ponsel mulu. Tentang chatt-nya Tedja, biarkan ia halu sendiri saja. Kamu harus jaga kesehatanmu. Our baby needs a healthy Mom.”
Pesan Raka sebelum berangkat kantor tadi teringat kembali. Bahkan dia memintaku mengabaikan Tedja dengan segala kelakuan toksiknya. Segera kucari tombol pengaturan di WA dan media sosialku. Untuk memblokir Tedja, Joy, dan segala lintasan memori tentang mereka.
—-
Leave a Reply