Neswa.id-“Kok badannya kurusan, sih? Nggak dikasih makan ya sama Mamanya? Dulu terakhir kesini gendutan anaknya,” ucap salah satu tetangga jauh. Kalimat semacam ini sering terdengar ketika kami pulang berlibur ke kampung halaman. Persoalan fisik selalu menjadi salah satu topik yang trending ketika kita bertemu kerabat lama. Makin kurus, tambah subur (istilah halus untuk sebutan gendut), tambah hitam dan berbagai komentar lainnya. Tidak hanya berlaku pada orang dewasa saja, bayi-pun tidak luput dari “body shaming“. Mungkin bagi sebagian orang basa-basi seperti itu adalah hal yang sangat wajar. Apalagi kita hidup di era gempuran kata “baper”, ketika kita tidak sependapat dengan opini orang lain, sikap merasa tidak enak dengan komentar di atas, akan dibilang baper.
Di tengah komentar-komentar yang sering membuat kita risih tersebut, saya juga tidak mau meladeni dan meresponnya terlalu dalam. Selain demi menjaga kewarasan diri sendiri juga untuk tetap menjaga hubungan baik dengan saudara dan orang tua, sangat susah bagi kita sebagai orang tua baru untuk idealis dengan pola pengasuhan sudah kita terapkan. Kemajuan zaman dan informasi mengakibatkan pola asuh yang berbeda antara generasi tua dengan saya saat ini.
Perihal Pola Asuh
Jika berbicara tentang pengasuhan terhadap anak, saya yakin setiap orang tua ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Jika bisa, mungkin dunia seisinya akan rela orang tua berikan kepada anak. Tidak hanya orang tua, nenek dan kakek pun bahkan sangat antusias dengan tumbuh kembang sang cucu. Apalagi jika itu merupakan cucu pertama, ia akan menjadi pusat perhatian dan pemegang tahta tertinggi dalam keluarga.
Sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah. Tujuannya sama-sama demi kebaikan cucu. Sayangnya, terkadang nenek dan kakek terlalu ikut campur dan memaksakan kehendak mereka dalam pola asuh sang cucu. Hal ini biasanya disebabkan karena cucu tinggal jauh dari mereka, sehingga, ketika cucu berkunjung, nenek dan kakek akan memberikan segala perhatiannya untuk ‘mencuri hati’ sang cucu. Efeknya, kebiasaan baru yang sudah dijalani oleh anak bisa berubah.
Contohnya, menurut kebanyakan masyarakat (apalagi di daerah pedesaan) menganggap bahwa anak sehat adalah anak yang gemuk. Pun sebaliknya, anak yang kurus dianggap tidak suka makan. Makan wajib harus nasi, ketika anak makan kentang sebagai pengganti karbohidrat, dianggap belum makan dan gizinya tidak terpenuhi. Hal-hal seperti itu yang dapat menimbulkan gesekan antara orang tua anak dengan kakek-nenek.
Dalam menyikapi masalah seperti ini, adakalanya kita tidak terlalu mengkritik atau justru berdebat dengan orang tua kita. Namun, kita yakini dengan ilmu dan informasi yang telah kita dapat, tentu kita akan mencoba berkomunikasi dengan landasan tidak menyakiti hati dan menyinggung perasaan orang tua kita.
Situasi seperti di atas memang seringkali dihadapi oleh ibu-ibu muda atau keluarga yang baru memiliki anak. Sayangnya, konflik antara anak dan orang tua seringkali dipicu oleh pola asuh yang berbeda. Hal ini dikarenakan zaman dan konteks yang berbeda. Dengan informasi dan ilmu yang semakin beragam, di zaman ini, kita bisa mendapatkan dan mencari berbagai ilmu dan informasi terkait pola asuh, baik dari media sosial, website tentang pola asuh. Informasi tersebut bisa didapatkan dari dokter, para pakar, teman, kolega, dan dari siapapun yang menjadi pijakan kita dalam memakai pola asuh yang menurut kita sesuai dengan anak.
Kita juga tidak boleh men-justice bahwa pola pengasuhan lama yang dipegang oleh generasi tua (baca: orang tua) itu salah. Akan tetapi, konteks dan situasi yang berbeda mempengaruhi pemikiran dan sudut pandang yang dipakai untuk menjadi pedoman dalam hal pola asuh.
Menjaga Kewarasan
Persoalan mengenai konflik terkait pola asuh antara ibu-ibu muda dan orang tua mereka memang seringkali terjadi di sekitar kita. Hal ini akan berdampak besar bagi hubungan keluarga, terutama anak dan orang tua. Situasi ini akan menjadi “bola salju” yang terus bergulir jika tak ada solusi dan hal yang bisa dilakukan. Salah satu solusi yang bisa dilakukan yakni berdiskusi. Upaya ini penting untuk memahami bagaimana pola asuh yang berbeda antara generasi sekarang dan dulu. Apalagi terkait pola asuh pun tidak ada “template” yang saklek dan rigid.
Dampak yang ditimbulkan-pun memang tidak secara langsung dirasakan. Namun, sisi psikologis ibu muda yang mendapatkan perlakuan dan komentar “pedas”, serta menyinggung perasaan akan menjadi bumerang. Dalam hal ini menjaga kewarasan adalah hal penting yang mesti dilakukan. Berpikir positif, bersabar, berpikir dengan “kepala dingin, berdiskusi untuk mencari alternatif dan jalan tengah, serta “support system” yang baik adalah kunci menyelesaikan persoalan laten ini.
Sebagai muda, memang ada berbagai persoalan yang dihadapi. Mulai dari komentar, kritikan, dan pertanyaan yang seringkali membuat risih menjadi pemicu terjadinya konflik dan kesal di dalam hati. Fenomena itu lumrah adanya. Yang paling penting seharusnya kita mampu mengelola persoalan tersebut dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kita juga perlu meng-“upgrade” diri untuk lebih baik lagi dengan terus belajar, membaca buku, berdiskusi, dan menumbuhkan rasa ingin tahu agar hidup terus bertumbuh dan berkembang secara pengetahuan. (IM)
Leave a Reply