Wacana tentang perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap diskriminasi dan subordinasi semakin menguat, terutama pada pertengahan abad ke-20. Berbagai diskusi tentang hak asasi perempuan yang semakin intens itu akhirnya melahirkan sebuah perjanjian bernama Convention on Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW).
CEDAW, atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, adalah instrumen fundamental internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan berlaku pada 3 Desember 1981. Per 18 Maret 2005. Konvensi yang disepakati oleh 180 negara tersebut menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Lebih khusus lagi, konvensi ini menetapkan persamaan hak bagi perempuan, di segala lini kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil.
Konvensi ini juga mendorong pemberlakuan undang-undang nasional bagi negara-negara yang mengadopsinya untuk menindak diskriminasi dan mempromosikan kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk mengubah praktik budaya dan adat berdasarkan inferioritas gender atau peran stereotip bagi perempuan dan laki-laki.
Untuk menjamin agar visi konvensi tersebut dapat diimplementasikan dengan baik oleh para negara anggota, PBB membentuk sebuah komite khusus bernama The United Nations Committee on the Elimination of Discrimination against Women. Komite ini bertugas mengawasi kemajuan dan perkembangan hak-hak perempuan di negara-negara yang tergabung dalam CEDAW.
Negara yang menjadi bagian dan meratifikasi CEDAW, dengan demikian, terikat komitmen hukum untuk memerangi diskriminasi perempuan di wilayahnya. Komite ini memantau pelaksanaan langkah-langkah sebuah negara dalam menegakkan komitmen tersebut.
Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang sepakat dengan nilai-nilai CEDAW. Setelah diratifikasi pada 24 Juli 1984, prinsip-prinsip CEDAW termanifestasi dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984. Artinya, Indonesia telah memberi lampu hijau terhadap pencegahan segala tindakan diskriminasi dan melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Mengenai pelaksanaan CEDAW di Indonesia, dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 dijelaskan bahwa,
Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengandung asas persamaan hak antara pria dan wanita sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah kita anggap baik atau lebih baik bagi dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi bangsa Indonesia.
Sedang dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan yang dikehendaki bangsa Indonesia.
Argumen berkekuatan hukum ini memberikan gambaran bahwa, implementasi CEDAW di Indonesia masih terikat oleh nilai-nilai budaya dan norma agama yang berlaku di masyarakat.
Di satu sisi, komitmen untuk menghilangkan diskriminasi gender memang sedang diperjuangkan. Namun di lain sisi, kebutuhan masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang terikat oleh nilai-nilai budaya dan norma agama tidak boleh diabaikan. Itulah mengapa Indonesia mencoba untuk mengkompromikan keduanya dalam UU di atas.
Konvensi ini lebih lanjut menuntut tindakan pemerintah, melalui langkah-langkah yang tepat, untuk mengubah pola perilaku budaya yang menekankan inferioritas perempuan atau superioritas laki-laki. Tindakan pemerintah ini, juga diperlukan untuk memastikan pendidikan keluarga dengan menekankan pembagian peran orang tua dan pemahaman yang sama tentang kesetaraan dalam keluarga.
Namun, penegakan CEDAW di Indonesia terlihat masih meninggalkan banyak catatan. Pada tahun 2018, komite CEDAW, seperti yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan, mengevaluasi beberapa hal terkait pelanggaran berbasis gender yang rupanya masih marak di Indonesia.
Misalnya, dalam website-nya, Komnas Perempuan melaporkan bahwa dalam kurun waktu 6 bulan, Januari-Juni 2018, kasus yang diterima Komnas Perempuan telah mencapai angka 538 kasus, dimana 88% (475 kasus) adalah kekerasan berbasis gender dan sebanyak 12% (63 kasus) adalah kasus yang tidak berbasis gender. Kasus kekerasan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan didominasi oleh kekerasan dalam relasi personal yang mencapai 86% (409 kasus) dari total 475 kasus.
Catatan lainnya, misalnya, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sepanjang Januari hingga September 2022 menunjukkan bahwa dari 19.096 kasus kekerasan, 17.497 kasus di antaranya terjadi kepada perempuan. Dari kasus-kasus tersebut, komite CEDAW mencatat bahwa penyelesaian kasus korban mengalami kemandekan ditambah minimnya respon upaya penanganan maupun pemulihan diri dari dampak kekerasan yang mereka alami.
Namun, negara nampak memperbaiki catatan-catatan negatif tersebut dengan, salah satunya, mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada bulan April 2022 silam. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Puan Maharani, mengatakan bahwa UU tersebut merupakan hadiah bagi seluruh perempuan di Indonesia menjelang peringatan Hari Kartini 2022.
Hadirnya UU tersebut menegaskan bahwa komitmen Indonesia terhadap perlindungan hak-hak perempuan masih sama kuatnya sejak Indonesia meratifikasi CEDAW beberapa dekade lalu. Indonesia bisa dibilang sudah mengimplementasikan CEDAW dan prinsip pokoknya secara sistematis dan terintergrasi ke dalam perundang-undangannya meski dalam perjalanannya masih meninggalkan banyak celah untuk dievaluasi.
Sebagai warga Indonesia, kita tentu harus menyadari bahwa CEDAW dan UU Anti Kekerasan di negara ini tidak bisa bekerja sendirian. Kesuksesan perlindungan terhadap perempuan dan kesetaraan hak akan bisa terimplementasi secara lebih efektif ketika didorong oleh kesadaran individu. UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) merupakan representasi kehadiran negara untuk memberi payung hukum, tidak hanya bagi korban kekerasan seksual, namun juga terhadap kita sebagai agen anti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. (IM)
Leave a Reply