Neswa.id-“Tik, nyong ga isa gawe iki, kowe bae sing gawek iki yah. Isin ngkok mamake pangling karo aku!!”.
Eeladalah, saya pun tertegun. Sebentar. Kemudian berpaling. Mencari segerombolan teman yang nampaknya sudah kelelahan dan bersandar di kursi penumpang layaknya seorang turis yang sedang berjemur di pantai.
Angkuh. Begitulah kira-kira sekilas gambaran Bandara International Abu Dhabi. Mungkin bagi para penumpang yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di bandara ini akan terbuai dengan kemodernan yang tak henti-hentinya mempesonakan mata. Termasuk saya.
**
Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)
Pukul delapan malam tepat waktu Dubai, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang,
“Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya.
“Cuti?”. Saya mendadak bingung.
Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bulan?”.
Belum juga tersadarkan, saya hanya mampu menjawab dengan kata “Nggak”.
Betapa bodohnya saya waktu itu, entah berpikir apa, hingga beberapa menit kemudian saya baru paham apa maksud dari pertanyaan tadi. Maklum saja, ini merupakan pengalaman pertama saya keluar dari batas negri, masih suka ndeso dan bingungan. Meskipun berangkat dalam satu rombongan, namun saya masih saja suka meributkan diri sehingga harus berurusan dengan petugas bandara karena kehilangan jejak. Gara-gara sebuah toilet. Sangat sepele.
Siapa sangka, di toilet itulah saya mendapatkan petunjuk atas pertanyaan wanita tadi. Dengan berpakaian abaya hitam, tas glamor, perhiasan emas seakan menempel di seluruh bagian tubuhnya, dan sepatu highheels setinggi kira-kira tujuh centimeter lebih, perempuan ini terlihat mirip seperti wanita dari negara teluk yang biasa tampil dengan kemewahan. Mereka bertiga. Saling tukar lipstik, maskara, mempertebal bedak, hingga saya pun hampir tidak bisa membedakan mana yang tembok dan mana yang wajah.
Ya, percakapan antara dua perempuan itu membekas bagi saya yang saling bertukar lipstick hingga highheels. Tak lupa dengan logat ngapaknya yang tentu saja sangat saya kenali. Ya, bahasa kami, orang Indonesia.
Rangakaian aktivitas di toilet sudah beres. Saya melenggang dengan penuh pengamatan di bandara ini. Suka saja melihat raut muka para pelancong, sesekali mendengarkan mereka berbiacara dengan menebak-nebak bahasa mana yang mereka pakai. Ya, saya selalu merasa senang menjumpai hal-hal baru. Termasuk kehadiran sekumpulan manusia yang berjubel dan ramai di ujung sana tepat lurus di hadapan saya, hanya berjarak sekitar 300 meter.
Saya terperanjat. Melihat dengan sekilas, meskipun pada akhirnya hal itulah yang justru menjadi pusat perhatian semua orang. Berbaris-baris, berkoloni-koloni dan banyak. Kira-kira melebihi jumlah penumpang Boeing 737-900 ER milik Lion Air, penerbangan domestik tanah air. Hingar bingar, ramai, juga berisik seketika menggantikan nuansa elegan, eksklusif dan kemegahan bandara. Secepat kilat, suasana berubah layaknya di pasar-pasar traditional, bahkan lebih mirip dengan suasana antrian sembako ketika menjelang hari raya Idul Fitri di kampung.
Saking panjangnya, antrian itu dengan tanpa sengaja membentuk seperti liukan ular. Meliuk-liuk hingga tak berujung. Sontak, para penumpang langsung memalingkan wajah dan melirik ke arah mereka dengan berjuta pertanyaan usil yang mungkin bergelantungan di otak.
“Hey, dari mana mereka? Apa yang mereka lakukan dengan kegaduhan dan keberisikan di bandara ini? Bukankah mereka terlihat sangat kampungan?”.
Sinis !
Mayoritas dari rombongan itu adalah wanita. Ada yang masih belia, seperti anak usia SMP. Juga ada yang seumuran ibu saya. Kaum laki-laki hanya berkisar di angka tiga puluhan, sedangkan wanita hampir mendekati angka seratus, bahkan lebih. Dengan jelas, saya melihat ada kepedihan sekaligus kebanggaan terpancar dari wajah mereka.
Pedih, karena mereka harus ‘terpaksa’ menyembunyikan kenyataan pahit yang mau tidak mau harus mereka simpan dengan baik. Bangga, karena berhasil membawa berbongkah-bongkah emas untuk membeli sawah di kampung halaman. Ada yang melongo, melamun, mengawasi bandara dengan pandangan kosong, juga ada yang bergurau sambil melirik penumpang bule dengan pose genit.
Lambat laun, percakapan rombongan itu mulai samar mampir ditelinga saya. Di tengah kebisingan, tiba-tiba terdengar teriakan sang komando yang membuat saya tak kalah terkejut.
“Ayo, maju ! Yang belakang segera berbaris !. “Siapkan passport dan tiket, cepat…cepat !!”.
Saya lemas. Terpaku.
Seperti yang sudah saya duga ketika pertama kali melihat dari kejauhan postur dan cara berpakaian mereka. Ah negriku. Baru saja beberapa jam yang lalu melangkahkan kaki keluar dari batas negri, dan sekarang sudah disuguhi dengan sebuah fenomena yang, pastinya, menyayat hati. Bukan saja satu tanah air, namun saya juga satu darah dengan mereka, Indonesia.
Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali senyum tak beraturan. Mungkin wanita tadi menyangka saya termasuk dari rombongan mereka. Rombongan Tenaga Kerja Wanita Indonesia.
*****
Kuchuk Hanem. Nama seorang wanita pinggiran Nil yang melulu didengungkan oleh Flaubert. Ia layaknya prototipe kesuburan dan sensualitas wanita Timur yang menjadi inspirator terhebat dalam karya novel dan teatralnya. Layaknya Nerval, Burton dan Lane, Flaubert pun lebih tertarik akan pesona Timur dari beberapa objek sensualitas, termasuk pengalaman malamnya bersama Kuchuk Hanem. Cita rasa dan tarian Hanem “L’Abeille” nampak memukau. Spektakuler! Tak sebanding sedikitpun dengan pelacur-pelacur kota Paris.
Cerita ini mengingatkan saya akan sebuah hikayat dari Timur yang bercerita tentang hareem. Sebuah rumah eksotik nan populer bergaya timur berisikan wanita-wanita cantik guna memuaskan hasrat lelaki. Hareem sesungguhnya mengungkapkan suatu gagasan tentang ambang pintu, tentang perbatasan, tentang pemisahan antara dua wilayah dan merupakan ruang yang dilindungi. Konsepnya berbentuk imperial (kerajaan) atau domestik.
Sistem ini bukanlah berasal dari Arab atau Islam, namun sepenuhnya telah ada sejak zaman Bizantium ketika Turki Usmani mengambil alih kekuasaan. Pada perjalanannya ia mengalami perubahan makna, aspek dan isi secara dramatis. Abad 18 seakan menjadi saksinya. Hareem dahulu bukanlah hareem yang sekarang. Hareem melahirkan makna baru yang lebih eksotis, terutama oleh perspektif Barat. Yang pada akhirnya hareem dijadikan sebagai locus bagi eksotisme dan seksualitas timur guna menggambarkan kekontrasan sifat khas Timur Tengah, yaitu sensualitas dan kekerasan.
Begidik saya membayangkan masa lalu. Gadis-gadis cantik tidak akan luput dari bidikan. Sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk menghibur laki-laki kerajaan. Bahkan demi meramaikan ‘ke-eksotisan’ para gadis di dalam hareem, tak jarang pihak kerajaan mendatangkan berbagai macam karakter wanita dari berbagai penjuru negri untuk ‘dinikmati’ Sang Pangeran. Harun al-Rasyid misalnya, khalifah Abbasiyah ini menyimpan hampir seribu jawari (budak). Hareem hareem itu siap menghibur sang pangeran “luar dalam” sekaligus menjadi tempat kemewahan dan kecantikan dari wanita di seluruh dunia.
“Namun, apakah benar mereka merasa tertindas? Atau, justru bangga menjadi bagian dari kerajaan? Apakah mereka yang sekarang dibela benar-benar merasa ‘diselamatkan’? Bukankah ada beberapa wanita yang justru merasa ‘diadilkan’ ketika dia ‘hanya’ bekerja untuk melayani suami dan anak di rumah?”. Ah begitulah kenyataannya, sebagian wanita merasa di bela, sebagian yang lainnya justru merasa hidupnya telah di otak-atik sedemikian rupa. Padahal sejatinya, perempuan-perempuan itu sudah cukup bersahabat dan nyaman dalam posisinya sebagai mereka.
Hal ini mengingatkan saya akan tenaga kerja wanita Indonesia yang saya temui di Bandara Abu Dhabi beberapa waktu lalu. Berapa ratus, atau bahkan ribuan dari mereka yang secara terpaksa menjadi budak ‘kenikmatan’ bagi orang Arab? Modernisasi hanya meninggalkan kekaburan. Ia belum mampu mengubah budaya hareem yang telah ratusan tahun tumbuh subur di dunia Arab. Yang ada justru membuat sistem perbudakan baru bergaya modern.
‘Kuchuk Hanem’ atau Tuti Tursilawati, tenaga kerja wanita Indonesia di Arab Saudi yang berkali-kali menjadi korban pelecehan seksual majikannya, hanya bisa diam tak berdaya. Hukum menjadi sangat canggih, bahkan tak mampu ditembus oleh pemerintah Indonesia untuk membebaskan ‘Kuchuk Hanem-Kuchuk Hanem’ yang lain. (IM)
Leave a Reply