,

Bukan Cuma Ekonomi, Inilah 6 Hal Yang Harus Dipertimbangkan Ketika Ingin Menambah Anak

/
/


Seorang perempuan ahli hubungan internasional bercerita tentang pengalamannya pasca melahirkan. Jika dilihat dari luar, ia adalah orang yang cerdas, berpendidikan, pemikirannya terbuka, suaminya orang yang berpendidikan, bisa dibilang sempurna. Namun, siapa sangka  ternyata dia mengalami baby blues setelah melahirkan anak pertama.

Baby blues adalah satu dari post partum depression (depresi pasca melahirkan), penyakit ini dipengaruhi oleh kondisi psikis seorang ibu. Ia bercerita saat itu suaminya berhenti kuliah, yang mana sedang mengambil beasiswa terusan S2-S3 untuk mendampinginya mengalami fase baby blues.

Lalu ia membagikan cerita seorang ibu yang akhirnya masuk Rumah Sakit Jiwa karena baby blues yang tidak tertangani. Beliau mengatakan, jika sekiranya saat itu beliau tidak ditangani dengan baik, dan suami tidak mendampingi, mungkin ia sudah berada di RSJ.

Begitu beratnya menjadi seorang ibu, kondisi psikis sangat mempengaruhi seorang ibu. Ini baru anak pertama, bagaimana jika ada dua, tiga, dst? Memang tidak selalu terjadi, namun fakta tentang hal ini membuat kita perlu berpikir matang sebelum memutuskan untuk memiliki anak.

Memiliki banyak anak bukanlah suatu yang buruk. Kita bisa melihat keluarga Gen Halilintar yang sukses mendidik anaknya dengan baik, ibunya dalam keadaan sehat jasmani rohani, anak-anaknya sehat dan rukun.

Fakta bahwa ada keluarga yang berhasil itu benar, namun kita tidak selalu bisa menyamakan kondisi kita dengan orang lain. Keluarga yang berhasil itu memiliki banyak faktor yang tidak kita ketahui. Bisa jadi dukungan orang tua, kondisi ekonomi yang mencukupi menjadi faktor keberhasilan itu.

Selain itu, pengetahuan di bidang psikologi dan parenting mempengaruhi orang tua dalam mendidik dan menguasai emosi dengan baik. Ada baiknya kita memikirkan baik-baik untuk memiliki anak. Karena jika sesuatu terjadi pada anak, kita lah yang akan bersedih juga nantinya. Berikut hal-hal yang perlu dipertimbangkan ketika ingin memiliki anak.

  1. Ekonomi Memang yang Mendasar

Setiap anak sudah ada rezekinya masing-masing, ini benar. Namun kita harus ingat, rezeki itu diperjuangkan, bukan datang tiba-tiba. Adapun rezeki yang datang tak disangka itu ada, namun tidak bisa dijadikan patokan untuk selalu ada.

Ketika punya anak, saya sendiri merasakan banyak kebutuhan yang akhirnya bisa terpenuhi. Namun, saya juga memperjuangkan rezeki itu. Kami memproduksi pupuk organik, membuat furniture, menjual cincin, perlengkapan rumah tangga. Apa pun yang bisa dijual, kami upayakan.

Jika barang kami terjual, maka itu rezeki anak kami, tapi datangnya tidak tiba-tiba. Kalau anak saya banyak, saya mungkin tidak sempat berjualan online. Waktu saya akan banyak diisi bersama anak-anak.

Tidak semua orang bisa mengupayakan apa pun untuk mencari penghasilan. Ada yang memiliki keterbatasan fisik, keahlian, dan pengalaman. Banyak anak yang bekerja sejak masih anak-anak, karena ekonomi yang tidak memadai. Banyak juga yang tidak bisa makan dan tidak memiliki tempat tinggal karena banyaknya kebutuhan kelurga yang harus ditanggung.

  1. Pertimbangkan Relasi Psikologis Ibu dan Anak

Sebagaimana cerita saya di atas, kondisi psikologis ibu bisa terganggu setelah melahirkan anak. Belum lagi kondisi ibu yang kehidupannya harus diserahkan pada anak. Yang awalnya punya bisnis, kegiatan, atau pekerjaan semuanya harus dinomor duakan. Yang awalnya bisa tidur nyenyak, makan nikmat, mandi dengan tenang, tiba-tiba berubah. Yang awalnya bebas kemana saja tiba-tiba harus di rumah.

Belum lagi adaptasi menjadi ibu dan kejenuhan menghadapi hal-hal yang sama setiap harinya. Seputar, makan, mandi, popok, menidurkan, begitu seterusnya. Belum termasuk suami, ada yang mendukung ada yang tidak peduli dengan keadaanya istrinya. Keadaan fisik anak menjadi yang dikomentari orang juga bisa membuat ibu tertekan.

Begitu banyak tekanan dan tuntutan yang dialami seorang ibu ketika memiliki anak. Bagaimana jika setiap tahun melahirkan anak?

Tak hanya ibu, anak juga akan mengalami dampaknya. Jika seorang ibu merasa tertekan, maka anak pun akan merasakan hal yang sama. Belum lagi seorang ibu bisa melampiaskan kondisi itu kepada anaknya. Pada akhirnya anak dan ibu akan menjadi korban dari keadaan.

  1. Ingat Soal Kesehatan

Sebagaimana kita ketahui hamil bukanlah sesuatu yang mudah. Gejala morning sickness, hiperemesis gravidarum adalah hal yang sering terjadi pada ibu hamil. Belum terkait kelelahan dan sebagainya.

Lalu proses melahirkan yang menyakitkan, menyusui, dilanjutkan  proses membersamai bayi yang harus begadang, makan tidak menentu, menggendong yang tiada henti. Banyak ibu yang kemudian sakit karena kondisi yang demikian. Jika setiap tahun atau dua tahun hamil, melahirkan, dan mengurus bayi serta kakak-kakaknya, bagaimana kabar kesehatan dan kondisi fisik ibu?

  1. Perhatian pada Tiap Anak Harus Seimbang

Tak selalu kita bisa memahami anak, perlu perhatian yang ekstra dan komunikasi yang intens setiap harinya. Banyak anak merasa tidak diperhatikan meskipun orang tuanya di rumah. Banyak anak mencari kesenangannya sendiri di luar karena kurangnya perhatian dari orang tuanya. Memilki anak memang suatu tanggung jawab berat yang tidak akan pernah usai. Ini baru membahas satu anak.

  1. Pendidikan Harus Dipikirkan dengan Matang

Hampir sama dengan masalah ekonomi. Banyak anak artinya banyak yang harus disekolahkan. Orang yang berpenghasilan besar pun, jika anak nya banyak akan kewalahan juga. Jika pun ada beasiswa miskin, orang dengan status PNS tidak bisa masuk.

Saya sendiri mengalami, padahal kami hanya 4 bersaudara. Dari kecil saya selalu merasa miskin, padahal bapak saya PNS. Saya tidak punya apa-apa, mau beli tas atau sepatu untuk sekolah saja susah. Mau mengajukan beasiswa miskin tidak bisa karena bapak PNS meski pangkatnya rendah.

Beruntung saya dapat beasiswa untuk kuliah. Namun tidak semua orang seberuntung saya. Ada juga yang tidak lolos, atau tidak tau informasi beasiswa. Akibatnya, banyak anak berhenti sekolah dan kebanyakan berakhir dengan bekerja di pabrik.

  1. Psikologis Kakak dan Adik Harus Diperhatikan

Tidak dipungkiri kecemburuan itu pasti terjadi antar saudara. Apalagi anak dengan jarak yang dekat dan belum genap 7 tahun. Umur 0-7 tahun adalah fase egosentris, dimana seharusnya fase itu dituruti untuk membangun sikap kemandirian dan percaya diri pada anak. Tapi jika sudah banyak adiknya, bagaimana fase ini bisa terlewati dengan baik?

Ada juga anak yang belum siap menjadi kakak. Belum siap mengalah, tapi harus mengalah. Belum mengerti tapi harus mengerti. Akibatnya anak hanya anak memendam atau menangis. Ada pula anak yang masih ingin bermanja dengan ibunya, namun terpaksa harus mengalah pada adiknya. Kadang ibu yang stress dan kelelahan bisa kesal dengan keadaan ini. Akibatnya anak tidak mendapatkan perhatian yang diinginkannya.

***



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *