,

Bila Seorang Sufi Menikah

/
/


Dalam sejarah tasawuf dan dunia sufi, Rabiatul Adawiyah adalah tokoh yang tidak asing. Sebagai pencetus konsep mahabbah, Rabiatul Adawiyah benar-benar mendedikasikan dirinya hanya untuk Tuhan semata. Mencintai dan melebur ke dalam diri Tuhan tanpa meminta balasan pahala atau surga. Kekasih bagi dia tiada lain hanyalah Tuhan itu saja. Sehingga dia tidak memerlukan jalan untuk menikah seperti layaknya seorang manusia yang mencintai manusia lainnya. Cukup hidup dalam kesendirian sebagai jalan mulia menuju Tuhan.

Sebuah dialog mengisahkan seorang laki-laki hendak mempersunting Adawiyah. Namun, secara halus dan mendalam dia menolak, “Apakah dengan menikah, kau menjamin aku bisa lebih dekat dengan Tuhan?”

Rabiatul Adawiyah adalah salah satu contoh sufi yang hidupnya memilih untuk tidak menikah. Bagi sebagian sufi, menikah adalah salah satu jalan hawa nafsu yang bisa menjauhkan diri dalam proses penyatuan kepada Tuhan. Menyatu dengan Tuhan dan senantiasa menjalin hubungan dengan-Nya itu juga sudah merupakan bentuk pernikahan tersendiri.

Tapi apakah memang seorang sufi tidak boleh menikah, menjalin hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan? Menurut saya, untuk menjadi sufi salah satu syaratnya adalah dengan menikah. Jiwa perempuan dengan Tuhan amat dekat. Tuhan bersemayam di dalam diri perempuan dan menampakkan wujud keindahannya melalui cinta yang disemai kepada perempuan.

Alam semesta ini tumbuh dan berkembang karena di dalam dirinya ada unsur jiwa perempuan secara lahir. Di sana juga terkandung unsur-unsur ketuhanan yang sangat dalam. Turunnya Adam dari surga untuk menyatu kepada Hawa, karena di dalam diri Hawa adalah rumah Tuhan. Hubungan secara kosmologis antara perempuan dan Tuhan yang sangat apik. Maka seorang sufi laki-laki harus menempuh maqam pernikahan sebagai penyempurna jalan ketaatan.

Seorang sufi kerap berdoa, “Ya Allah berikan cinta-Mu agar kami bisa mencintai-Mu!” Nah, dalam aspek ini perempuan dalam kerangka kosmologis juga memancarkan cahaya spiritualitas. Perempuan adalah harapan dalam menjaga kehidupan spiritualitas laki-laki. Cinta Allah itu tersembunyi di dalam diri perempuan. Bisa ditemui manakala sufi telah menikah dan menyatu bersamanya.

Hati perempuan mengandung dua dimensi yang tidak banyak diketahui. Pertama, dimensi tanzih, sesuatu yang jauh dan tidak bisa dijangkau oleh pengetahuan. Kedua, dimensi tazkiyah al nafs, penyucian dari perbuatan yang salah dan buruk. Seorang sufi harus melewati dua dimensi ini untuk memahami perempuan dan melakukan penyatuan kepadanya. Sungguh, surga di akhirat akan ditemukan manakala kita menemukan surga itu sendiri di dalam jiwa perempuan sebagai sayyidat al nisa al’alamin.

Mengasuh perasaan dan hati juga merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang wajib dilakukan bagi seorang sufi. Perempuan adalah keindahan yang bisa dirasai melalui cinta. Tidak ada perasaan lain, selain cinta sebagai media yang menyambung hati untuk terkoneksi mengakui keindahan itu di hadapan Tuhan. Sachiko Murata dalam The Tao of Islam, ia mengatakan, “jiwa diasuh melalui cinta manusia, hati disucikan dari pikiran-pikiran jiwa yang lewat melalui api cinta.”

Cinta adalah sumber kekuatan. Seseorang yang mencintai perempuan telah menautkan hatinya kepada Tuhan dengan kuat. Sebagai pembentuk dasar sejarah yang tidak terlihat tetapi perannya begitu nyata. Nabi Muhammad dan Khadijah dengan penuh cinta memperjuangkan tegaknya Islam. Husen dan Zainab berjuang di peperangan Karbala di hari Asyura dengan kekuataan atas nama cinta.

Ketika menikah dan merajut cinta bersama, di sanalah sesungguhnya dia sedang beribadah kepada Allah. Memuliakan perempuan sebagaimana ia sendiri memuliakan Allah sebagai Tuhan yang senantiasa diibadahi. Kedekatan dirinya dengan seorang perempuan, peleburan hati kepada perempuan akan membawanya semakin menyatu ke dalam Tuhan. Karena mencintai Tuhan harus terealisasi secara konkret. Hidup yang dilalui secara teologis dan tidak melupakan aspek sosial yang harus dijalani manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Seorang sufi bukan manusia yang dilahirkan tanpa rahim perempuan dan bukan juga berasal dari cahaya kemuliaan. Sufi adalah manusia biasa yang telah menjalani sejumlah maqam hingga ia dianugerahi Tuhan sejumlah ahwal yang dirasakan dalam batas waktu tidak diketahui.

Maka, menikahlah. Tempuhlah maqam pernikahan sebagai jalan untuk mengurai kefanaan kepada Tuhan. Saling mencintai dengan sepenuh hati, cinta akan memberikan hal-hal yang indah, besar atau kecil, di bawah matahari yang sama. Getaran cinta sebagai bentuk perasaan yang akan membawa seorang sufi untuk pulang, membawa seluruh sel-sel dalam tubuh tanpa sisa, maka di sanalah kita sadari, bumi dan langit telah menyatu.

Sumber Bacaan:
AM Safwan. Islam dan Kosmologi Perempuan. Yogyakarta: RausyanFikr Institute. 2019.
Roger Housden. Mencari Rumi. Yogyakarta: Basabasi. 2018.



2 responses to “Bila Seorang Sufi Menikah”

  1. Avatar
    Adriani

    Bagus sekali artikelnya,terimakasih ya uni cantiik 🙏😍

  2. Avatar
    Rabiatul Adawiyah

    Saya pernah dikirimi sebuah literatur Arab yg menyatakan bahwa Rabiatul Adawiyah pernah menikah.. hehe siapa tau penulis mungkin ingin memperkaya rujukannya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *