,

Biarkan Ibu Mengantarmu ke Surga, Nak!

/
/

Biarkan Ibu Mengantarmu ke Surga, Nak!

I/

Neswa.id-Nisa terbujur kaku di samping Rahma. Mulut bocah sembilan tahun itu tersumbat kerudung sementara lehernya ungu kebiruan meninggalkan bekas cekikan. Di tepi ranjang, Gara, anak bungsu Rahma tidur pulas. Perempuan muda itu ingin beranjak ke sisi kiri, namun kakinya seakan terikat kaki ranjang.

Akhirnya, ia memilih menatap jendela tua di depannya yang seakan ikut membeku. Jendela, kasur, kerudung dan Gara yang lelap, silih berganti ia tatap. Tak berselang lama, Rahma mendekap Nisa erat-erat dan mengecup kening jenazah putrinya.

“Tidurlah, Sayang. Sekarang kamu tidak lagi menderita.”

Sejenak Rahma terdiam. Ia masih teringat peristiwa kemarin. Hari di mana Nisa menyaksikan dirinya ditendang sang suami, diamuk tak keruan di halaman rumah, diseret hingga ke ruang tengah dan menjadi tontonan warga tanpa berusaha dilerai. Bibir Nisa gemetar. Keringat bercucuran. Dadanya timbul tenggelam menahan sesak. Bahkan dari saking sulitnya bicara, Nisa mengompol di celana.

“Jangan khawatir. Sakit ini akan hilang dengan sendirinya, Nak,” ucap Rahma seraya mendekap Nisa.

Nisa tak menyahut. Bocah itu kian meringkuk. Di bawah tatapan sang ibu, ia menekuk dan memeluk lututnya sendiri.

“Kau tak dengar kalau ibumu baik-baik saja? Butakah matamu itu, ha?” Rahma tak lagi mampu menguatkan kesabaran melihat Nisa sesenggukan. Ia dorong anak itu ke dinding dan menggamparnya sekali.

“Dasar anak bebal! Beruntung kau dilahirkan.”

Rahma menggosok-gosok kedua tangannya lalu berdiri. Perempuan muda itu baru saja melangkah ke arah kamar mandi, hendak memungut seember air untuk disiramkan pada Nisa, namun ada yang menghentikan langkahnya.

“Aku datang menemuimu, Rahma. Di dekatmu. Di sebelah kananmu.”

Sebuah suara muncul kembali. Suara penyusup yang akhir-akhir ini lebih sering mengintai. Kali ini, si penyusup tidak lagi datang bersamaan dengan angin sebagaimana kebiasaannya lalu-lalu. Kali ini, si penyusup mengumumkan keberadaannya yang berada tepat di samping Rahma.

“Kau tak bisa melihatku, tapi aku bisa menatapmu. Ingatlah, kematian akan membebaskan penderitaan. Kematian adalah kebahagiaan.”

“Benarkah kematian adalah kebahagiaan?” kata Rahma tanpa menoleh ke sisi kanan.

Penyusup tak menyahut. Keberadaannya berganti semilir angin yang berkesiur lambat. Rahma mengangguk ke arah pintu, lalu ia balik badan dan menyeret Nisa ke belakang. Di kamar mandi, Rahma menceburkan anak sulungnya ke dalam bak yang penuh air. Nisa megap-megap. Rahma menekan kepala anaknya yang berusaha melepaskan diri.

“Ibu? Apa yang kau lakukan?” Gara, anak keduanya yang berusia lima tahun tiba-tiba berdiri di pintu kamar mandi. Tubuhnya penuh lumpur. Seketika Rahma terhenyak mendapati Nisa tersedak hampir mati.

Ia tarik tubuh Nisa dari bak kamar mandi. Ia cium putrinya bertubi-tubi. Antara paham dan kebingungan, Rahma mengutuk dirinya sendiri. Ia tahu, menghabisi nyawa anaknya tak pernah dituliskan Tuhan di pohon surga manapun. Tetapi, itu hari kemarin yang tak lagi berlaku. Kini, Nisa terbujur kaku, dan suara itu muncul lagi. Kali ini, bisikannya terdengar lebih lemah.

“Kau tak perlu mengucapkan selamat tinggal. Putrimu telah hidup di surga.”

“Bagaimana dengan anak ini?” tunjuk Rahma ke arah Gara.

“Dia lebih muda dan pintu surga sangat terbuka untuk anak seusianya.”

Rahma membalikkan badan dan menatap tungku dari pintu kamar yang terbuka. Sebelum menghabisi Nisa, ia melesatkan sebatang kayu mahoni. Kini, nyala api menjilat-jilat udara. Meretih dalam perapian.

“Apalagi yang kau pikirkan? Kau ingin anakmu menderita sepertimu?”

Rahma menggeleng kuat. Lekas-lekas ia buka kerudung yang membekap mulut Nisa, lalu ia sumbat mulut Gara yang tengah lelap. Anak itu menggeliat. Tapi Rahma mencekiknya keras-keras. Tangan Gara menggapai langit-langit memohon pertolongan, namun gerakan tangannya melemah seiring kuatnya jemari Rahma mencekik. Tepat tangan Gara lunglai ke atas kasur, Rahma menciumi Gara dari kaki sampai kepala.

Usai itu, Rahma melangkah ke dapur hendak mengambil sebatang mahoni yang menyala. Sialnya, belum sampai di depan tungku, sang suami yang entah kapan datangnya, tetiba berteriak histeris melihat mulut Gara dibekap sementara lantai kamar beraroma solar.

II/

Para tetangga datang tergopoh-gopoh mendengar teriakan suami dan seketika suara riuh menyeruak ke permukaan saat mereka mendapati kedua anakku terbujur kaku di atas ranjang. Bahkan salah seorang menyeretku ke dalam kamar, menanyaiku banyak hal dan aku menjawabnya dengan tenang jika kedua anakku telah hidup di surga.

Mereka merutukku sebagai perempuan jahanam. Bahkan suamiku tak kalah mencaci. Ia berkata menyesal menikahi aku bila tahu membunuh anak sendiri. Sontak aku meraung kencang. Aku tidak membunuh Nisa dan Gara. Aku hanya membawa mereka ke surga. Aku pun bangkit dari duduk dan melangkah meninggalkan mereka. Akan tetapi, mereka menarik lengan dan mengataiku ibu yang kejam.

“Kejam? Aku kejam? Coba tengok laki tengik ini yang bisanya main perempuan, tapi tak bisa cari uang.”

Sungguh lucu orang-orang ini. Aku tak bisa menahan tawa mendapati manusia-manusia di depanku yang menyebutku kejam. Padahal mereka jauh lebih kejam dengan menuntut anak-anaknya bersaing di peringkat kelas, tapi lupa mengajari adab.

Aku yakin, tawaku takkan berhenti kalau bukan karena datangnya polisi yang memasang pita kuning di sekeliling rumah. Salah seorang dari petugas menemuiku dan membawaku ke kantor polisi. Di sini, aku ditanya beberapa hal sebagaimana orang-orang menanyaiku di kamar.

“Ibu tahu kenapa dibawa ke mari?” kata petugas itu.

“Berhubungan dengan kepergian Nisa dan Gara ke surga.”

“Ibu diduga melakukan tindak pidana pembunuhan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Nisa dan Gara.”

“Ya, Tuhan. Tega sekali Pak Polisi menuduh saya begitu. Tak ada seorang ibu yang sanggup membunuh anaknya, Pak, kecuali dia psikopat.”

“Dari keterangan para saksi termasuk suami, satu-satunya orang yang berinteraksi dengan Nisa dan Gara sejak pagi adalah ibunya sendiri. Apalagi akhir-akhir ini Ibu sering bicara dan tertawa sendiri. Ada seorang tetangga yang melihat Ibu jemur pakaian, tapi tiba-tiba Ibu menangis sesenggukan.”

“Ya, Tuhan. Bapak menyimpulkan saya sebagai pembunuh dari keterangan suami? Begini, Pak Polisi. Saya akan cerita asal Bapak janji tidak mengumbar aib ini ke manapun.”

Bapak polisi itu mengangguk.

“Suami saya itu gila. Bisanya main perempuan, tapi tak bisa cari nafkah. Kalau uang hasil jual nasi di warung tak cukup, ia main gampar. Bahkan Nisa dan Gara ikut diamuk. Saya lelah, Pak Polisi. Saya lelah. Sejak kecil jadi korban pelecehan seksual. Setelah menikah malah jadi budak ranjang dan babu dapur lelaki sialan.”

“Jadi, itu sebabnya Ibu membunuh keduanya?”

“Saya bukan pembunuh! Saya hanya mengantar mereka ke surga.”

Tapi petugas itu tak percaya. Justru aku dibawa ke sebuah mobil hendak diantar ke rumah sakit jiwa. Untungnya, sebelum masuk ke mobil, ada seorang perempuan memegang kamera bertanya soal Nisa dan Gara.

Aku pun menjawab, “Saya seorang ibu. Saya ingin anak saya tidak menderita seperti apa yang saya alami. Sayangnya, semua orang menyalahkan saya. Tak satu pun mau mendengarkan saya.”

Perempuan itu mendekapku. Lama kami saling sedu sedan sembari berangkulan. Aku cukup terharu mendapati perlakuan begini. Aku merasa, baru kali ini ada orang yang mau mengerti keadaanku.

III/

Informasi tadi menutup jumpa kita pada pagi ini. Saya, Ananda Salma pamit undur diri dan sampai jumpa.

***

            Usai merilis berita yang memilukan, Ananda Salma ketar-ketir menuju newsroom. Di ruang produksi berita, Salma telah ditunggu Arief, pimpinan redaksi Seputar Kota Kita. Kegigihan Salma meluncurkan cerita pembunuhan yang dilakukan Rahma telah ditentang jejeran redaksi. Pekan lalu, mereka melarang segala produksi berita yang berkaitan dengan fenomena filicide atau orang tua yang membunuh anaknya. Fenomena yang kian merebak ini dikhawatirkan akan menular sebagaimana virus yang tak kasat mata.

            “Pulang dan istirahatlah selama seminggu,” kata Arief saat Salma duduk di hadapannya. Salma hendak membela diri, namun Arief terlebih dahulu memotong, “Saya sudah ditelepon pemilik saham. Kalau acara ini diteruskan, mereka berhenti mengucurkan dana dan semua reporter kehilangan nafkah.”

            Salma tak berujar apa-apa saat melangkah keluar. Wahyu yang menguping seketika merangkul Salma. Keduanya saling mendekap sampai akhirnya Salma pamit pergi. Wahyu tahu, pernyataan seminggu dari Arief hanya kiasan belaka. Ia tahu, seminggu berarti mempersiapkan mental dipecat.

            “Kamu mau pergi ke mana usai ini?”

            Salma menggeleng. Di sepanjang langkah keluar, ia terus merunduk.

            “Tunggu aku di taman tempat pertama kita bertemu. Aku mau minta cuti. Usai mengurus administrasi, aku bakal jemput.”

            Sebuah teriakan menggema dari dalam. Wahyu sadar waktunya merilis berita. Ia kembali meyakinkan Salma agar menunggu di taman sebelum akhirnya pamit ke ruangan.

            Bagai diayun waktu, Salma terus berjalan tanpa tujuan. Tiang-tiang berbagai ukuran di sepanjang jalan, pepohonan, dan asap kendaraan membuatnya tertunduk di atas trotoar. Ia tak lagi memiliki tempat pulang. Pagi tadi, sang suami menalaknya sebab ia bersikukuh kerja. Sang suami melarang sebab Salma baru saja keguguran. Tetangga, keluarga dan pasangan sendiri, seakan menjadi benalu. Mereka menumpahkan kekesalan pada diri Salma seorang.

            Begitulah pikiran Salma. Semua hendak ditinggalkan, tapi Salma tak tahu cara menanggalkan. Sampai akhirnya, ia mendengar sebuah bisikan seperti yang didengar Rahma.

IV/

Selamat petang, Pemirsa Budiman. Selama satu menit ke depan, Anda bersama saya, Wahyu Hapsari dalam acara Breaking News Seputar Kota Kita guna membahas peristiwa aktual dan terpercaya. Berita terkini datang dari wilayah kota yakni peristiwa bunuh diri di depan kantor Seputar Kota Kita. Menurut keterangan para saksi, korban yang bernama Ananda Salma semula duduk di atas trotoar sebelum akhirnya menabrakkan diri ke sebuah sedan yang melaju kencang. Tak ada cerita lebih terkait kejadian ini. Namun, saya selaku rekan kerja Salma dapat memberi Anda gambaran yang sekiranya menjadi penyebab Salma bunuh diri.

Pagi tadi, Salma ditalak sang suami sebab pekan lalu keguguran. Keluarga, tetangga dan pasangannya menyalahkan Salma karena dianggap lalai menjaga janin. Tekanan yang dirasakan Salma bertambah, saat menyajikan berita kasus Rahma. Salma menerima sanksi sebab pimpinan melarang pemberitaan fenomena filicide.

Demikian informasi tadi menutup Breaking News hari ini. Saya, Wahyu Hapsari, memutuskan undur diri dari kantor Seputar Kota Kita. Sampai jumpa di luar berita, dan perkenankan saya menyusul perempuan yang saya cintai menuju surga. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *