Judul : Berdiri di Kota Mati
Penulis : Maria Fauzi
Penerbit : Gading
Halaman : 224 hlm + xiv, 14,5 cm x 21 cm
Keterangan : Cetakan Pertama, Juli 2020
ISBN :978-623-7177-432
Sampul depan buku ‘Berdiri di Kota Mati’ ini cukup eye catching untuk saya.
Gambar seorang perempuan berjilbab sedang mengenakan ransel, dan dari hempasan jilbabnya terlihat ragam ilustrasi bangunan megah nan bersejarah yang berada di Mesir dan Eropa. Rasa penasaran saya dengan buku setebal 224 halaman ini semakin naik levelnya ketika baru mulai membaca daftar isinya.
Dengan segera saya mulai membacanya halaman-perhalaman. Cerita yang ditulis oleh Maria Fauzi ini berhasil membawa saya ikut merasakan langkah kaki, sorotan mata, perasaan, dan obrolan dia dengan orang-orang yang ditemuinya saat berjelajah mulai dari Mesir, Jerman, Cordoba, Granada, Paris, Venesia, Vatikan, dan Istanbul.
“Kami tidak takut dengan mereka yang sudah meninggal. Justru kami takut dengan mereka yang masih hidup” (halaman 38).
Petikan pembicaraan Maria dengan masyarakat yang tinggal di Kota Mati dan juga cerita kehidupan masyarakat disana membuat saya bisa membayangkan betapa area kuburan begitu memberi kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat yang memilih tempat itu untuk ditinggali dengan keluarga mereka.
Di buku yang diterbitkan oleh Penerbit Gading ini begitu kaya akan informasi sejarah, betapa Maria begitu apik menggabungkan pengetahuan sejarah peradaban Islam yang ia ketahui dengan usia sebuah bangunan atau kota yang dia singgahi. Pun kepekaannya akan fenomena sosial yang terjadi juga jelas terlihat di setiap narasi perjalanannya.
Ibu dari dua anak ini menggunakan perspektif yang berbeda dan unik dalam setiap penjelajahannya, ya, perspektif seorang perempuan. Beberapa tokoh perempuan yang berpengaruh muncul di beberapa judul tulisannya, seperti Sayyidah Nafisah guru ulama besar Mesir, Imam Syafi’I, juga Hypatia yaitu satu-satunya perempuan yang berada di lukisan dinding berjudul ‘The School of Athens’ karya Raphael yang dipajang di Museum Vatikan. Bahkan ada satu judul khusus tentang Fatimah Al-Majriti seorang astronom wanita asal Cordoba.
Beberapa peristiwa diceritakan begitu detil oleh penulis, seperti kejadian pelecehan di dalam bus, sebuah grup ibu-ibu yang dibayar sekedar untuk menangis di acara pemakaman, dan Maria juga melihat dirinya sebagai orang Indonesia yang terkadang mendapatkan perlakuan tidak adil oleh sebagian warga Mesir hanya karena nama Indonesia tidaklah sepopuler beberapa negara tetangga lainnya.
Dalam buku ini Maria juga menceritakan ketika dia menjadi guide sepasang turis Jerman di Kairo, alih-alih membawa mereka ke tempat wisata yang terkenal seperti Pyramid misalnya atau yang lain, dia justru membawanya ke sebuah distrik padat penduduk dan kumuh, Duwaiqoh atau Duwea, sebuah area perkuburan.
Dari halaman terakhir bab pertama menuju bab kedua, saya tiba-tiba berhenti sejenak dan berucap “Masya Allah, masyaa Allah, what a pray, a dream, and an effort of you, Maria.”
Sampailah saya di Bab 2, Benua Biru.
Saya selalu tertarik membaca dan menonton film yang bertemakan Nazi di buku ini, Maria pun menuliskannya dengan perspektif yang menarik perhatian saya hingga membuat saya mengingat kembali film-film dan komik yang pernah saya baca terkait peristiwa Holocaust pada PD II. Penjabaran yang ditulis Maria tentang museum Sachsenhause di Oranienburg sekitar 35km dari Berlin itu mampu membuat saya membayangkan barak-barak dan setiap ruangan yang ada di kamp konsentrasi yang dikunjunginya.
Penjelajahan ini tidak hanya di Jerman, Maria juga menuliskan hal yang berbeda ketika dia berada di Paris. Alih-alih menulis tentang menara Eiffel atau Musse du Louvre, Maria justru lebih tertarik dengan arsitektur dan sejarah Masjid Raya Paris, Grande Mosque de Paris. Di halaman 125 pada bukunya dia tulis dengan judul ‘Paris, Muslim, dan Yahudi’.
Ah, buku ini begitu berbeda, saya merasa sedang di-guide oleh Maria masuk ke tempat-tempat yang dia jejaki. Mulai dari kawasan penguburan yang dijadikan tempat tinggal di Kairo, Kamp konsentrasi Nazi di Oranienburg, naik ke kawasan pegunungan Harz, lalu ke Masjid Raya di Paris, kemudian masuk ke Museum Vatikan memperhatikan lukisan karya Raphael, dan kemudian dibawa menyusuri kota Venesia untuk melihat pengaruh arsitektur Islam di sana.
Perjalanan masih berlanjut. Di akhir bab, penjelajahan lanjut ke Cordoba dan Istanbul untuk menjumput memori umat Islam pada masa kekhilafahan Ummayah sekaligus melihat beberapa peninggalan kejayaan umat Yahudi Sefardim di Cordoba. Saya seakan diajak menyusuri kompleks Istana Topkapi dan pastinya ikut menikmati keindahan Hagia Sophia di sebuah kota yang dahulunya bernama Konstantinopel.
Terlihat di buku ini, betapa Maria mengagumi ragam bentuk kubah yang ia temui tak hanya di Mesir melainkan di seluruh penjuru Eropa, hingga ia mencari tahu seluk beluk seni arsitektur yang terdapat pada kubah-kubah masjid, gereja, dan tempat suci lainnya. Di halaman 208 Maria menjabarkan perspektifnya tentang kubah dalam ‘Kubah dan Spiritualitas’.
Dan sampailah saya di bagian akhir buku ini yang menurut saya adalah sebuah kesimpulan seorang Maria tentang penjelajahannya di beberapa negara dunia dalam tema ‘Keberagaman dalam Satu Wajah’.
Sungguh si penulis begitu banyak membaca dan minatnya bukan hanya soal sejarah peradaban Islam dan sejarah sebuah tempat, kota, atau kejadian, tetapi juga pada sosial, budaya, seni, arsitektur dan juga bahasa. Itulah kenapa buku Berdiri di Kota Mati ini begitu menarik perhatian dan tidak akan bosan jika membacanya lebih dari satu kali.
Worth reading book !
Leave a Reply