Neswa.id-Beberapa waktu lalu saya memposting sebuah microblog yang membahas mengenai isu kesetaraan gender dalam relasi pacarana. Lalu seorang teman mengirim saya Whatsapp dan mengomentarinya. Menurutnya saya sebaiknya berhati-hati jika membahas hal yang menyangkut kesetaraan gender perempuan dan laki-laki, harus dibarengi dengan orang-orang yang paham tauhid.
Ada pertanyaan besar di kepala saya yang ingin saya lontarkan bersama dengan kemarahan “memang orang yang menyerukan isu kesetaraan gender tidak bertauhid?” atau “memang semangat kesetaraan gender bertentangan dengan nilai-nilai tauhid?” Namun saya tahan karena saya yakin ketika membalas melalui chating hanya akan menghasilkan debat kusir.
Ternyata melawan patriarki dengan pendekatan tauhid sangatlah penting, tidak jarang cap ‘tidak bertauhid’ disandarkan pada orang atau kelompok yang menyuarakan isu keadilan gender. Seolah tauhid itu pro patriaki dan bertentangan dengan nilai-nilai kesetaraan gender, padahal tidak demikian, justru tauhid yang mengajarkan kita anti patriarki.
Tauhid seringkali dimaknai hanya sebatas pengakuan atas keesaan Allah selaku yang menciptakan alam semesta, mengenal Asma (Nama) dan Sifat-Nya, serta mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud-Nya. Padahal lebih dari sekedar itu, jika tauhid hanya sebatas pengakuan atas ke-Esaan kekuasaan Allah, maka makhluk serendah iblis pun bisa melakukan hal serupa.
Pemaknaan sempit tersebut, menjadikan tauhid seolah tidak bisa menyentuh persoalan riil realitas sosial. Tauhid tidak lagi dilihat sebagai kekuatan pencerahan dan pembebasan manusia dari ketidakadilan, ketertindasan, dan penistaan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah.
Pada abad ke-7 Masehi, kita bisa melihat sewaktu Rasulullah membebaskan perempuan dari praktik perbudakan yang dilakukan oleh masyarakat jahilyah Arab. Di mana situasi pada saat itu perempuan adalah milik mutlak laki-laki seumur hidupnya dan diperlakukan sewenang-wenang secara masif. Misalnya perempuan dikubur hudup-hidup saat lahir, dijadikan jaminan hutang, dijadikan hadiah, diceraikan sebelum mengalami menstruasi, di poligami dengan jumlah istri tanpa batas dan penindasan lainnya.
Dengan semangat tauhid yaitu tidak menuhankan apapun dan siapapun selain-Nya, Rasulullah membebaskan perempuan dari belenggu masyarakat jahiliyah tersebut. Karena pesan memanusiakan manusia dalam tauhid di antaranya yaitu memanusiakan perempuan, di mana Islam mengubah cara pandang dikotomis antara perempuan dan laki-laki menjadi sinergis.
Di sana terlihat bahwa tauhid memberikan manfaat secara langsung pada kehidupan manusia. Sebab dengan tidak menuhankan apa pun dan siapa pun selain Allah SWT., manusia terhindar dari ketundukan mutlak pada selain-Nya termasuk pengabdian mutlak pada sesama manusia.
Menurut Faqihudin Abdul Kodir dalam buku Metodologi Fatwa KUPI, menjelaskan bahwa tauhid merupakan basis teologis bagi kesetaraan manusia. Kesetaraan ini yang menjadi basis relasi resiprokal antara perempuan dan laki-laki. Sistem sosial apapun yang menjadikan salah satu golongan, ras, atau jenis kelamin sebagai superior dan yang lainnya sebagai inferior adalah menyalahi tauhid, termasuk pro patriarki.
Karena dalam sistem patriarki, jati diri perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Selain itu jika perempuan ingin diakui keberadaan kiprahnya baik dalam agama atau masyarakat harus melewati laki-laki. Sementara tauhid meniscayakan hubungan langsung antara perempuan dan Tuhannya, tanpa pelantara laki-laki.
Menurut Nur Rofiah dalam buku Metodologi Fatwa KUPI, dijelaskan bahwa ada lima transformasi tauhid mengenai asal-usul, status, kedudukan, dan nilai laki-laki dan perempuan, yaitu:
Pertama, perempuan tidak diciptakan dari laki-laki. Asal usul penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu secara ‘ruhani’ diciptakan dari diri yang satu atau nafs wahidah (QS. an-Nisa’ [4]:1), dan secara jasmani sama-sama diciptakan dari bahan serta proses yang sama (QS. al-Mu’minun [23]: 12-14)
Kedua, laki-laki bukanlah makhluk primer sementara perempuan juga bukan makhluk sekunder. Keduanya primer, sebab mengemban amanah sebagai khalifah fi al-ardh atas seluruh makhluk Allah SWT lainnya. Keduanya juga sama-sama sekunder di hadapan Allah SWT, karena mengemban status sebagai hamba-Nya.
Ketiga, perempuan tidak mengabdi hidup untuk kemaslahatan laki-laki. Keduanya mengabdikan hidup pada Allah SWT, demi kemaslahatan hamba-Nya.
Keempat, perempuan tidak tunduk mutlak untuk melaksanakan perintah laki-laki. Keduanya harus kerja sama melaksanakan perintah Allah SWT mewujudkan kemaslahatan bersama.
Kelima, kualitas laki-laki dan perempuan sebagai manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh ketakwaan yang ditandai oleh seberapa jauh hidupnya memberi manfaat pada kemanusiaan.
Dengan demikian, semangat kesetaraan gender tidak bertentangan dengan nilai-nilai tauhid. Kesetaraan gender menjadi bagian dari misi tauhid, yaitu tidak menuhankan apapun dan siapapun selain Allah SWT termasuk manusia. Jadi sesungguhnya orang yang menyuarakan keadilan gender adalah orang yang sangat bertauhid, karena meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Jika laki-laki menuhankan diri atas perempuan maka dia sudah melampaui Tuhannya, yaitu Allah SWT. (IM)
Leave a Reply