Neswa.id-Umumnya di masyarakat, kita didorong untuk segera menikah. Kalau tidak menikah, dianggap kurang sempurna hidupnya. Bahkan, orang tua merasa malu kalau anaknya tak menikah, terlebih lagi kepada anak perempuan.
Untuk apa menikah? Agar kamu bahagia. Saat di pelaminan adalah saat bahagia. Orang tersenyum, berfoto, dan memamerkannya. Ia dilantik menjadi orang bahagia. Tetapi apakah pernikahan selalu membuat orang bahagia? Jawabannya tidak. Pernikahan sering menjadi dua titik ekstrim: surga dunia dan neraka dunia. Ada orang yang sangat bahagia, ada pula yang sangat menderita. Artinya tidak ada pernikahan yang 100% indah. Pasti ada konflik, pasti ada yang menyakitkan. Ada yang sanggup melampauinya, dan hidup bahagia. Ada yang berpura-pura bahagia. Ada yang menganggapnya misteri. Apakah ini yang dinamakan pernikahan bahagia? Bahkan, lebih parah, ada yang menderita sepanjang sisa hidupnya, tapi terus mempertahankan pernikahannya.
Demikian pula hanya dengan urusan punya anak. Anak adalah sumber kebahagiaan. Pasangan yang belum dikaruniai anak dan menginginkan anak, akan mati-matian berupaya supaya dapat anak. Biasanya, di kalangan masyarakat, mereka akan diinterogasi dengan pertanyaan kapan akan punya anak. Lalu, apakah semua orang bahagia setelah punya anak? Jawabannya banyak yang bahagia, tapi tidak sedikit yang depresi. Saat anak masih bayi, tengah malam mesti bangun untuk menyusui atau mengganti popok. Waktu banyak tersita untuk keperluan anak.
Sukses bisa membuat orang bahagia. Mendaki jenjang karir, hingga ke puncak jabatan. Tetapi, ada banyak orang tetap tak bahagia dengan apa yang sudah dicapainya. Ia mencari hal-hal lain untuk membuat dirinya tampak lebih hebat.
Harta katanya membuat bahagia. Kalau ada harta, kebutuhan terpenuhi, orang akan bahagia. Tapi ada begitu banyak orang kaya yang tidak bahagia. Ia menambah harta, tapi kebahagiaannya tak kunjung meningkat.
Berada di dekat Tuhan bisa membahagiakan. Maka orang pergi ke rumah-rumah ibadah, tenggelam dalam doa dan zikir. Ada yang bahagia dengan itu, ada yang tidak. Banyak orang yang menjadi gampang marah, bahkan buas terhadap lingkungan sekitarnya.
Dimana Letak Kebahagiaan itu?
Kita mengira kebahagiaan itu ada di suatu tempat, dan kita harus melalui suatu jalan untuk mencapainya. Padahal tidak. Kebahagiaan itu adalah kita. Kita tak perlu melakukan apa-apa, atau pergi ke mana-mana untuk bahagia. Kita cukup merasa bahagia.
Bukankah orang-orang merasa bahagia dengan pernikahan, punya anak, sukses, kaya, atau dekat dengan Tuhan? Sebenarnya sama saja. Ia sebenarnya cuma merasa bahagia. Ia sendiri menetapkan jalan menuju kebahagiaan, dan ketika tiba di sana ia merasa bahagia. Ada pula yang tetap merasa tidak bahagia, meski sudah tiba di sana. Jadi, kuncinya bukan jalan yang kita tempuh, atau sampai dan tidaknya kita di sana. Kuncinya adalah, kita merasa bahagia atau tidak.
Ada juga orang yang memilih untuk bahagia dengan tidak menikah, atau tidak punya anak. Ada yang memilih untuk tidak berkarir atau tidak kaya. Ada yang memilih untuk tidak bertuhan. Mereka bisa bahagia.
Bahagia itu soal hormon-hormon yang membuat kita nyaman, seperti dopamine, oxytosin, endorphins, serotanin, dan lain-lain. Kebiasaan-kebiasaan gerak dan pikir kita memicu terbentuknya hormon-hormon itu. Ketika ia mengalir dalam darah, kita merasa nyaman. Kita bisa melatih pikiran, dan mengendalikan produksi hormon-hormon itu.
Kuncinya ada pada pikiran. Kita bisa bahagia hanya dengan melihat matahari terbit. Atau cukup pejamkan mata, nikmati kesunyian. Jalan untuk bahagia bisa apa saja. Artinya, sebenarnya jalan itu tidak diperlukan. Cukup kita pilih keadaan batin kita, untuk masuk pada keadaan bahagia.
Masalahnya, kita sering kali tak sanggup mengendalikan pikiran kita sendiri. Pikiran kita dikendalikan oleh orang lain, atau dikendalikan oleh iklim di sekitar kita. Kita serahkan remo control hidup kita kepada pihak lain. Kita sibuk mencari-cari tombol bahagia dalam hidup kita, tak kunjung ketemu. Padahal tombol itu ada di tangan kita, dan kita tidak menekannya. Kita berharap orang lain menekannya. Kita berharap cuaca menekannya. Atau Tuhan yang menekannya.
Ada sebuah anekdot tentang orang kaya yang berlibur ke pulau kecil yang indah. Ia menemukan seorang penghuni pulau yang duduk santai di pantai, tidak bekerja. Ia miskin. Si kaya menyuruhnya bekerja. Untuk apa? Agar kamu kaya. Lantas, kalau sudah kaya kenapa? Kamu bisa berlibur dan santai. Lha, ini saya sudah santai. Akhirnya si kaya melewati jalan berliku dan rumit untuk bahagia. Sementara si miskin sudah sejak awal bahagia.
Jadi Bagaimana Solusinya?
Langkah yang tidak kalah penting adalah, terima kenyataan. Kalau anda kebetulan mengalami kendala sehingga sulit hamil atau sulit membuahi, maka terimalah kenyataan itu tanpa meratapinya. Fokuslah pada usaha untuk menanganinya. Artinya, anda harus menempuh jalan yang lebih sulit lagi dengan jalan yang sabar. Sadarilah bahwa kita memang tidak punya kuasa atas mekanisme alam. Gunung meletus tanpa bisa kita cegah. Sama halnya, anda tidak bisa mengontrol setiap organ tubuh Anda.
Terima kenyataan itu, dan carilah sumber kebahagiaan lain. Anda bisa menemukan cinta yang membahagiakan dengan mengangkat anak. Atau dengan ikut menyayangi anak-anak orang lain. Ada banyak orang yang bisa berbahagia dengan anak-anak orang lain, melebihi kebahagiaan orang yang punya anak kandung. Ingatlah, bukan anak yang membuat Anda bahagia, tapi sikap Anda terhadap anak itulah yang membahagiakan. Wallahu A’lam Bisshawaab. (IM)
Leave a Reply