,

Benarkah Childfree adalah Pilihan yang Tidak Bertanggung Jawab?

/
/

Childfree

Neswa.id-Sewaktu kuliah, saya pernah punya kawan sekosan. Kami tinggal di Surabaya. Ia sudah menikah, sementara suaminya tinggal di Probolinggo. Di setiap akhir pekan, ia pulang ke Probolinggo.  Karena kesibukannya yang luar biasa, ia memutuskan untuk menunda kehamilan, dengan pertimbangan khawatir tidak bisa menjalani rutinitasnya, jika hamil dan melahirkan dalam waktu dekat. Untuk mendukung keputusannya itu, ia menggunakan kontrasepsi hormonal.

Begitu mendengar keputusannya, orang-orang di sekitarnya banyak yang berkomentar. Mereka memberinya nasehat tanpa diminta. Ada yang bilang harusnya ia segera punya anak. Jika sudah menikah tak perlu mengejar karir. Ada pula yang bilang nanti rahimnya keburu kering kalau memutuskan kontrasepsi.

Cerita itu jauh sebelum istilah childfree dikenal masyarakat luas dan jadi trending topik. Nyatanya, setelah pemahaman saya bertambah, pilihan kawan saya itu termasuk dalam childfree. Lebih tepatnya contemporary childfree, yaitu orang yang secara sadar memutuskan untuk tidak memiliki anak atau menunda memiliki anak hingga keadaan tertentu atau jangka waktu tertentu.

Perempuan yang memilih childfree dianggap tak mau menjalani kodratnya sebagai perempuan. Beban inilah yang selalu diberikan oleh masyarakat patriarkal kepada perempuan. Hanya karena memiliki rahim, perempuan harus punya anak. Padahal konsepnya tidak seperti itu. Perempuan yang tidak punya anak, baik di luar keinginannya (involuntary childfree) maupun atas keinginannya sendiri (voluntary childfree) akan mendapat stigma perempuan yang tidak sempurna.  Padahal, keputusan untuk memiliki anak, menunda punya anak, serta tidak memiliki anak adalah hak setiap pasangan.

Apakah benar pilihan menjadi voluntary childfree adalah pilihan yang tidak bertanggung jawab dan hanya karena ikut-ikutan tren?

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh Puzzle Diri yang diisi oleh Wanda Roxanne, seorang mahasiswi Kajian Gender Universitas Indonesia. Ia tengah melakukan penelitian tentang perempuan yang memilih childfree.

Dalam penelitiannya itu, ia memiliki beberapa responden. Salah satu respondennya bernama Nay, seorang perempuan berusia 52 tahun dan telah menjalani pernikahan selama 23 tahun.

Melihat usia pernikahannya, kita bisa tahu bahwa childfree bukan tiba-tiba muncul lalu ia memilih untuk itu. Pilihan childfree sudah ada sejak dua puluh tahun yang lalu.

Responden lain, Jenny memilih childfree sebab memiliki trauma pengasuhan. Ia khawatir trauma pengasuhannya itu berpengaruh pada pola pengasuhannya nanti dan mewariskannya kepada anaknya.

Orang-orang yang memilih childfree, memikirkannya dengan matang, mendiskusikan dengan pasangnnya, lalu memutuskan dengan sadar. Tentu, ia tahu konsekuensi yang harus ia hadapi manakala memilih punya anak. Karena merasa tak mampu mencukupi kebutuhan anak, ia memilih untuk tidak punya anak. Ia tak memutuskan karena childfree karena sedang trend.

Tubuh seorang perempuan adalah miliknya sendiri. Bukan milik ayah maupun pasangannya. Jika ia hamil dan melahirkan, ia sendirilah yang merasakan kesakitan-kesakitannya. Maka dialah yang berhak membuat keputusan apapun yang berkaitan dengan tubuhnya. Mau punya anak berapa, mau tidak punya anak, mau pakai kontrasepsi apa, dan sebagainya.

Sayangnya, masyarakat dengan budaya patriarki menempatkan perempuan pada posisi yang harus diatur dan diarahkan hidupnya. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang tak tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sehingga sederet patokan dan stigmatisasi siap menghadang langkahnya. Perempuan tak memiliki daya tawar bahkan untuk dirinya sendiri.

Orang yang memilih childfree ada pula yang beranggapan tak ingin keturunannya merasakan dampak kerusakan lingkungan yang semakin parah. Mereka tak ingin anaknya menghadapi krisis iklim dan pemanasan global di masa depan.

Menurut A.S. Rosyid dalam bukunya Melawan Nafsu Merusak Bumi, jangankan childfree, pernikahan pun memiliki beberapa hukum yang berbeda menurut situasi yang berbeda pula. Memiliki anak memang diutamakan, namun tidak diwajibkan (Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin)

A.S Rosyid juga mengutip pendapat Syaikh Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam, dalam fatwa nomor 4713 dalam situs resmi Dar al-ifta al-Misriyyah. Pasangan suami istri boleh bersepakat untuk tidak mengupayakan keturunan karena alasan yang sahih, di antaranya pertimbangan ledakan populasi dan krisis iklim, atau beratnya tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak.   

Saya pernah membaca satu komentar dari netizen. Sejak mengenal childfree, ia jadi termotivasi untuk lebih bertanggung jawab membesarkan anak yang ia pilih secara sadar untuk dilahirkan. Sebagaimana pilihan childfree yang punya alasan kuat, ia yang memilih punya anak pun juga harus punya alasan kuat kenapa memutuskan demikian. Saya menyetujuinya. 

Saat topik childfree menjadi booming, tiba-tiba kita lupa akan bayi-bayi yang ditelantarkan orang tuanya, anak-anak yang ditinggal orang tuanya, atau dianiaya hingga kehilangan nyawanya. Kita hanya mengingat ketidakmauan seorang perempuan untuk menggunakan rahimnya. Kita lupa, banyak dari perempuan yang tidak memiliki anak, namun mereka bersedia merawat dan membesarkan anak yang bukan dari rahimnya sendiri.

Fitrah manusia adalah mengasuh, bukan memiliki anak (A.S. Rasyid). (IM)


Rezha Rizqy Novitasary Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *