كل ماتريدون ان يفعل الناس بكم, فافعلوه ايضا انتم بهم
“Perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan oleh mereka!”
Neswa.id- Cuplikan singkat ini saya pelajari dari keluhuran Isa ibn Maryam ‘alaihima as-salam, tentang kecerdasan yang berpadu dengan kasih sayang, lalu menjadi cinta bagi semesta. Mari belajar kasih dari kisahnya, agar seluruh ajaran kata bisa menjadi tindakan kita!
Diawali dengan kepicikan rahib Yahudi untuk melawan Isa AS. Mereka hendak membuat cacat dan menunjukkan bahwa Isa AS diutus untuk merusak syariat Musa AS. Dalam ajaran Musa AS, seorang perempuan pezina wajib dirajam. Para rahib Yahudi mendatangkan seorang perempuan yang berzina dan berhak ditimpakan rajam. Lalu mereka menghadap Isa AS dan menyoal, “Tidakkah syariat wajib menjatuhkan hukum rajam bagi perempuan pezina?”
“Ya,” tegas Isa AS.
“Perempuan ini telah berbuat nista” ujar para rahib.
Isa AS melihat ke arah wanita itu, kemudian melemparkan pandangannya kepada para rahib. Isa AS pun mengerti bahwa para rahib lebih banyak memiliki pundi-pundi dosa dibanding si wanita. Isa As juga tahu bahwa mereka lebih zalim daripada wanita itu. Sementara para rahib setia menanti jawaban Isa AS. Jika Isa As memutuskan tidak merajam si wanita, berarti ia telah menentang ajaran Musa AS. Namun, bila Isa memberi vonis hukuman mati kepada perempuan itu, niscaya ia telah meruntuhkan ajaran cinta kasih dan tenggang rasa yang dibawanya.
Isa AS sudah paham betul tipu muslihat mereka. Ia melempar senyum dan air muka yang kian bercahaya. Dilihatnya rahib-rahib itu, sejurus kemudian beralih kepada si perempuan. Akhirnya ia berkata, “Siapapun di antara kalian yang tak pernah berbuat dosa, maka dia berhak menghujani batu kepada perempuan ini…”
Penghakiman Isa AS terdengar menyeruak, menyobek keheningan di tengah rumah suci itu, menjadi aturan baru dalam memutuskan suatu dosa: hendaknya yang menimpakan hukuman adalah dia yang tak pernah sekalipun berbuat dosa. Tak selayaknya seorang pendosa memiliki hak membalas atau menghukum perbuatan dosa sesama manusia lainnya. Hanya Tuhan yang Maha Suci nan Maha Luhur yang berhak atas itu semua. Dan Tuhan adalah Dzat yang paling pengasih di antara orang-orang pengasih.
Isa AS keluar dari rumah suci, diikuti oleh si perempuan tersebut. Di balik bajunya, perempuan itu mengeluarkan sebotol minyak wangi dan ia berdiri di hadapan Isa AS. Ia menjatuhkan diri di kedua kaki Isa AS dan menciuminya, dibilasnya kaki sang Nabi dengan minyak wangi dan butiran airmata. Lalu si perempuan mengeringkan kedua kaki al-Masih dengan tiap lembar rambutnya.
Nabi Isa telah mengambil peran dalam hidup si perempuan—sebagaimana ia juga melakukan hal itu bagi kebanyakan manusia—untuk mewujudkan asa terakhir berupa penyelamatan: sebuah daya untuk tak membatasi kasih sayang.
Para rahib agung pun ikut keluar di belakang Nabi Isa. Mereka tak bergeming menyaksikan kejadian luar biasa di hadapan mereka, takjub akan ajaran kasih dan toleransi yang dibawa sang Nabi.
Isa AS memandang mereka dengan sebuah tanya, “Seseorang memiliki hutang kepada dua pemberi piutang. Yang satu meminjami 500 Dinar, sementara yang lain menghutangkan 50 Dinar.”
“Lalu?” tanya seorang rahib.
“Si pengutang tak dapat mengembalikan piutang, bahkan kepada salah seorang pemberi pinjaman itu. Namun ia mendapat pembebasan piutang dari keduanya.”
“Ya. Kemudian?”
“Siapakah yang lebih berhak mendapat ucapan terimakasih di antara keduanya?”
Salah seorang rahib bersuara, “Tentu dia yang lebih banyak memberi kebebasan hutang.”
Isa AS berkata, “Engkau memilih keputusan yang tepat. Sekarang, perhatikanlah perempuan ini. Aku telah hadir ke rumah kalian, tetapi tak seorang pun di antara kalian yang menghidangkan air, bahkan untuk sekedar membilas muka. Tetapi perempuan ini membasuh kedua kakiku dengan airmata, lalu mengusap dengan rambut kepalanya. Kalian tak pernah sekalipun menciumku, tetapi perempuan ini belum merasa cukup mencium kedua kakiku. Hati kalian begitu keras, sedangkan perempuan ini membawa hati yang dipenuhi cinta. Sekarang, katakanlah, siapakah yang sepantasnya lebih kucintai untuk kumintakan ampun atas dosa-dosanya?”
Sang Nabi menundukkan pandangan ke arah si perempuan, lalu memintanya bangkit dari tanah tempat ia bersimpuh, sembari mengetuk doa, “Oh Tuhan, ampunilah dosa-dosanya.”
Demikianlah Nabi Isa, yang hendak membuat para rahib itu mengerti bahwa para penyeru ke jalan Tuhan bukan mereka yang gemar menghakimi atas nama agama, tanpa melihat keadaan sosial yang melingkupi si pendosa. Seorang penyeru ke jalan Tuhan seharusnya hadir atas dasar kasih sayang terhadap manusia. Cinta kasihlah yang menjadi tujuan utama setiap seruan menuju Ilahi (ad-da’wat al-ilahiyyah). Dan sesungguhnya para nabi diutus adalah sebagai rahmat Tuhan bagi kaum di masanya.
Semoga kisah di atas bisa menyadarkan bahwa Tuhan telah membekali kita dengan dengan samudera jernih yang bekecipak-cipak airnya. Kita diizinkan dan bisa bermandia-ria di sana, menyikat lumut yang kian karat, membasuh dekil-dekil dosa dengan doa, agar hati yang keras bisa luluh dengan airmata, supaya nanti kita jadi manusia sebagaimana biasanya: yang baik, mempesona, bajik lagi bijak, tidak nakal dan rajin menabung, juga dicintai Tuhan dan Nabi-Nya.
“Samudera” itu bernama agama! (IM)
Leave a Reply