Neswa.id- Akhir-akhir ini kegiatan di sekolah saya padat. Dimulai di pagi hari jam sembilan dan belum selesai ketika azan dzuhur sudah satu jam berkumandang. Jadi, seusai sekolah di salah satu hari padat tersebut, saya segera pergi ke kamar mandi sekolah untuk persiapan sholat dhuhur. Saya menyalakan kran di salah satu wastafel untuk mulai membasuh kedua tangan dan mulai memenuhi rukun wudu setelahnya.
Negeri Maroko ini meskipun merupakan salah satu negara islam tapi fasilitas umumnya jarang menyediakan tempat wudu yang sesuai dengan kebiasaan kita di Indonesia. Maksud saya, tempat wudu yang terdiri dari jajaran kran sepinggang. Saya berusaha menuntaskan basuhan-basuhan wudu dengan kran wastafel itu sebisanya.
Di akhir, saya ambil segayung kecil air, mendekati saluran air di lantai, lalu mengalirkan air di kedua kaki saya. Tepat setelah tetes terakhir, saya didatangi seorang siswi dari kelas lain yang ternyata sejak awal memperhatikan kegiatan berwudu ini. Saya ditegur.
“A ukhti! Yajib an tudallikii!” (Mbak! Kamu harus menggosok (kakimu)!)
“Hah?” Saya bengong.
“Ta’rifiin?! Yajib an tudallikii!” (Kamu tahu, kan?!)
Sedetik kemudian, saya sadar bahwa yang dia maksud adalah kewajiban menggosok anggota wudu yang merupakan salah satu rukun dalam aturan wudu Mazhab Maliki. Berbeda dengan hukumnya dalam Mazhab Syafi’i yang tidak mewajibkan hal terserbut. Jadi, dengan sedikit nyengir, saya percaya diri menjawab mbak-mbak tadi dengan bilang: “Ahh, ana masyi malikiyah!” (Ohh, saya bukan (pengikut) Mazhab Maliki!) Lalu gantian beliau yang bengong. Haha.
Pada kesempatan lain, dialog serupa terjadi ketika saya akan sholat berjamaah dengan salah satu siswi asli Maroko di sekolah. Sebelum mulai sholat, kami sempatkan diskusi singkat terlebih dahulu soal keharusan membaca basmalah di awal surat Alfatihah. Contoh lainnya, terkadang kami dianggap buang-buang air ketika mengalirkannya ke anggota tubuh wajib wudu langsung dari kran dan bukannya menampung di ember-ember kecil.
Potongan-potongan cerita di atas (yang pertama rasanya merupakan salah satu dialog terkeren yang saya alami selama lima tahun tinggal di Maroko) adalah dialog-dialog yang siap tidak siap harus dihadapi oleh saya dan banyak mahasiswa Indonesia lainnya di sekolah-sekolah keagamaan di Maroko. Latar belakangnya adalah perbedaan mazhab fikih yang dianut mayoritas penduduk Maroko dan mazhab yang kami anut.
Berbeda dengan apa yang ada di Indonesia, Kerajaan Maroko menetapkan Mazhab Maliki sebagai mazhab yang resmi dianut oleh masyarakatnya. Hal ini bahkan sudah terjadi selama ratusan tahun, atau lebih tepatnya di masa Dinasti Adarisah. Meskipun bukan berarti ada larangan untuk mengikuti mazhab-mazhab mu’tabar lainnya. Aturan dan undang-undang yang ada di Maroko pada saat ini pun banyak mengacu pada mazhab tersebut.
Mau tidak mau, kami yang merantau di sini belajar untuk tidak kagetan dan gumunan atas perbedaan-perbedaan yang ada. Adaptasi dan kesiapan dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan, tatapan heran, atau semacamnya harus disiapkan. Dengan tantangan ini juga, pemahaman terhadap hukum fikih bermazhab Syafi’i jadi salah satu modal penting bagi para pelajar Indonesia di Maroko. Meskipun kadang terasa agak sulit, saya kira ini justru jadi pengalaman unik dan menarik. Dan karena dialami bukan hanya oleh saya sendiri, barangkali cerita ini bisa saya beri judul: Hidup Beda Bareng-Bareng di Negeri Seribu Benteng.
Leave a Reply