Neswa.id- Pernikahan merupakan momen yang sangat penting untuk sebagian besar orang, banyak orang yang merayakan pernikahan untuk menunjukan status baru sebagai pasangan suami istri. Di Indonesia pernikahan harus resmi di mata negara dan agama. Akan tetapi ada beberapa orang yang hanya melakukan pernikahan di bawah tangan atau yang lebih dikenal dengan nikah siri.
Pada satu kisah, saya mempunyai teman. Dia sedang bingung apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan surat nikah dan akta untuk anaknya yang saat ini sudah berusia tiga tahun. Saya dibuat heran apa yg membuat dia bingung untuk mendapatkan surat nikah dan akta kelahiran anaknya, sedangkan kondisi pernikahannya pada saat dia menikah tidak ada yang bermasalah.
Singkat cerita tenyata dia dan suaminya hanya menikah siri. Saya mencari tahu apa yang menjadi dasar dia untuk melakukan pernikahan secara siri walaupun status mereka saat itu adalah janda dan duda, padahal itu jelas jelas merugikan kita sebagai kaum perempuan. Setelah mendapatkan jawaban, ternyata pilihan menikah siri tersebut dikarenakan kurang yakin sama dirinya sendiri apakah dia dan suaminya benar benar saling mencintai dan menyayangi. Tidak hanya itu, dia juga berpikir terhadap keluarganya, kasihan keluarganya jika menjadi bahan omongan orang hanya karena dia. Maka dari itu dia memutuskan nikah saja dengan pria terdekatnya tapi dengan menikah siri.
Waktu terus berlanjut sampai dia mempunyai anak yang sudah berumur tiga tahun. Dia berpikir anaknya semakin besar dan sebentar lagi akan masuk sekolah, sedangkan dia tidak mempunyai Kartu Keluarga (KK) dan Akta lahir. Dari situ dia menyadari ternyata akibat dari pernikahan siri, dia harus mengurus dua surat yang pastinya membutuhkan waktu, tenaga dan uang.
Setelah mengetahui kisah perjalanan pernikahannya, saya mengajak untuk pergi ke Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mencari solusi masalah pernikahannya. Diarahkanlah dia untuk menikah lagi secara sah di mata hukum, agar mendapatkan pengakuan dari negara mengenai status pernikahannya dan untuk mendapatkan surat akta kelahiran anaknya.
Satu minggu kemudian kembali dia menemui saya untuk bercerita dan mengeluh ternyata ribet untuk mengurus surat-surat yang dia butuhkan, harus nikah ulang, harus ke pengadilan, sidang isbat dan persyaratan yang lain lainnya sebagai bukti sewaktu dia melaksanakan pernikahan sirinya.
Dari cerita teman saya di atas, saya sangat tidak mendukung adanya pernikahan siri karena nikah siri merupakan pernikahan yang dilakukan berdasarkan hukum agama, tetapi tidak tercatat resmi di KUA dan Kantor secara sipil. Dengan kata lain nikah siri adalah pernikahan yang sah secara agama namun tidak sah dimata hukum. Bagi sebagian orang menganggap nikah siri sebagai solusi untuk menyelesaikan hubungan yang sudah terlanjur berjalan, terlebih banyak informasi di media sosial yang menganggap nikah siri halal dilakukan sepanjang memenuhi syariat dan rukun perkawinan.
Di Indonesia di samping melanggar hukum, pernikahan siri juga mempunyai banyak dampak negatif khususnya perempuan. Terdapat beberapa dampak negatif menikah siri antara lain:
Pihak perempuan tidak bisa menuntut hak-haknya sebagai istri karena tidak adanya kekuatan hukum yang tetap terhadap perkawinan tersebut. Hal ini dikarenakan pernikahan yang dijalani secara siri tidak sah secara hukum formal dan juga hukum sosial masyarakat. Sehingga tidak ada kejelasan status perempuan sebagai istri dan kejelasan status anak di mata hukum atau masyarakat. Dampak negatif dari pernikahan siri juga kepada para wanita, terlebih lagi kalau sudah ada anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Artinya tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan kata lain secara yuridis tidak mempunyai bapak (Wila Chandrawila,2001).
Nikah siri itu merupakan pernikahan yang tidak terikat hukum formal sehingga pada praktiknya cenderung menyebabkan salah satu pasangan khususnya pihak suami yang lebih leluasa untuk meninggalkan kewajibannya seperti dalam memenuhi nafkah lahir maupun nafkah batin. Buya Yahya dalam salah satu ceramahnya mengatakan dalam pernikahan sebisa mungkin yang resmi dan jelas, ada hak tanggung jawab nanti, yaitu dengan membuat surat nikah. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada sebagian wanita dengan kerelaan hatinya mau dinikah siri. Sah-sah saja wanita seperti itu, yang penting harus tabah dalam kesabaran. Terlebih kalau ada apa-apa, selagi masih resmi itu(surat) adalah jaminan dan perlindungan untuk hidup di mata hukum.
Dampak negatif dari pernikahan siri juga adalah banyaknya perlakuan kekerasan terhadap istri atau dikenal dengan istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT). Dalam pernikahan siri, istri tidak dapat memutuskan perkaranya kepada lembaga resmi negara dalam hal ini yaitu pengadilan agama.
Maka untuk menghindari dampak yang negatif disebutkan suatu pernikahan hendaknya mendapatkan pengakuan resmi dari negara, maka pernikahan itu harus dicatat menurut perundang undangan yang berlaku.
Kita sebagai umat islam sebaiknya dalam melakukan pernikahan hendaklah berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang perkawinan dan juga harus dianggap sah menurut hukum agama. Dan pada pasal 6 ayat 2 dinyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Agar suatu pernikahan mendapatkan pengakuan resmi dari negara, maka pernikahan itu harus dicatat dipencatatan nikah pada KUA setempat. Pernikahan siri meskipun sah dimata agama tetapi nikah siri sebaiknya dihindari agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. (IM)
Leave a Reply