Neswa.id- Stigma negatif yang muncul ketika mendengar kata “perempuan” adalah makhluk yang lemah, suka galau, mood-moodan, ribet karena dandan, cerewet, dan masih banyak lagi. Jika kita mengingat kembali dalam sejarah manusia yang terdapat dalam kitab suci, perempuan pertama di bumi ini adalah Siti Hawa atau disebut dengan Ummul Basyar yang berarti “Ibu umat manusia” yang diciptakan oleh Allah SWT setelah diciptakannya Nabi Adam A.S. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa perempuan memiliki hati yang lembut dan sensitif. Atas dasar ini, perempuan memiliki insting yang kuat, terutama bagi seorang ibu terhadap anaknya.
Berbicara tentang kemerdekaan, semua orang tahu bahwa kemerdekaan adalah kebebasan. Namun, jika makna kemerdekaan dari perspektif perempuan, merdeka bagi perempuan berarti sejajar atau setara antara perempuan dan laki-laki. Selama 75 tahun Indonesia merdeka, perempuan memiliki hak konstitusi yang sama dengan warga negara lainya. Tercatat terdapat 40 hak konstitusional perempuan yang terdiri dari 14 rumpun yang harus mendapatkan perlindungan.
Lalu, apakah perempuan di Indonesia sudah merdeka? Melihat masih kuatnya budaya patriarki yang ada dalam budaya masyarakat kita. Dalam banyak literatur-literatur perempuan selalu dianggap kelas dua dibandingkan pria. Hal ini dapat dipahami pada saat masa sekolah. Pada saat pelajaran bahasa Indonesia sering ada cerita dalam sebuah kalimat:
Bapak pergi kerja sedangkan Ibu ke pasar.
Bapak membaca koran sedangkan Ibu memasak di dapur.
Dalam paham feminisme, kalimat di atas seolah legitimasi bahwa tanggung jawab seorang laki-laki hanya sebatas mencari nafkah, sedangkan perempuan hanya mengurus rumah.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, apakah perempuan di Indonesia sudah merdeka? Agar lebih spesifik dan akurat supaya tulisan ini tidak dikatakan sebagai sebuah karangan penulis saja. Di sini saya mengambil data dari penelitian kesenjangan gender di antara negara-negara di Asia Tenggara, dan dalam kesepuluh peringkat, Indonesia berada di peringkat sepuluh. Ini artinya, dalam hal kesetaraan gender Indonesia masih tertinggal dibanding negara berkembang lain seperti Laos, Filipina, Vietnam dan Thailand.
Dalam dunia pendidikan saat ini jumlah mahasiswi perempuan tidak sedikit, dan jika kita melihat lebih dalam lagi secara bidang, bidang farmasi dan keperawatan lebih banyak mahasiswi perempuan dari pada mahasiswa laki-laki. Sedangkan dari bidang teknik dan fisika terlihat masih sangat jarang mahasiswi yang menggeluti bidang sains, teknologi dan engineering. Padahal, dalam dunia pendidikan saat ini sudah sangat jelas bahwa jumlah mahasiswi perempuan tidaklah sedikit. Namun, secara tidak langsung ini turut mengurangi kepercayaan diri perempuan untuk melanjutkan pendidikan, melepaskan diri dari stigma-stigma perempuan soal pendidikan. Salah satunya, yang sering sekali saya dengar “Perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi, nanti akhirnya juga cuma di dapur”
Secara khusus, terlebih di Indonesia, terkadang masih terdengar nyaring atas stigma-stigma terhadap perempuan. Perempuan-perempuan hidupnya tidak terlepas dari omongan-omongan dan komentar-komentar. Belum nikah dikomentarin “Kapan nikah? Umur segini kok belum nikah, mau jadi perawan tua ya? Umur segitu nanti susah lho dapatin jodoh.” Terus udah nentuin jadi ibu rumah tangga dikomentarin lagi “Kenapa tidak kerja? Sayang gelar sarjananya tuh.” Pas udah kerja masih dikomentarin lagi “Asik kerja saja mending jadi Ibu rumah tangga. Kasihan ya anaknya dititipin”
Melihat omongan dan komentar-komentar di atas, tentu kita dapat mengetahui bahwa keputusan-keputusan hidup seorang perempuan banyak dipengaruhi oleh masyarakat kita yang mengkontruksikan bahwa, jika menjadi perempuan harus seperti ini dan harus seperti itu. Oleh karena itu, menjadi perempuan merdeka adalah ketika perempuan bebas memilih keputusan, memimpin, dan berkarier. Inilah, makna kemerdekaan yang sesungguhnya.
Perempuan harus sejajar dengan laki-laki dan bisa mengaktualisasikan rasa kebangsaannya. Menurut mereka (responden), posisi yang sejajar itu harus dibangun dari rumah tangga. Perempuan bukan pelayan dan tidak ada relasi kuasa di dalam rumah tangga. Penghormatan pada perempuan berarti merubah paradigma, bahwa perempuan harus dipandang sebagai makhluk terhormat, akalnya sempurna, dan bukan objek seks. Memanusiakan perempuan yaitu dengan melihat kecerdasan dan keahliannya diakui, serta memberikan perlakuan yang tidak membeda-bedakan. (IM)
Leave a Reply