,

Bayi Tabung dalam Perspektif Bioetika dan Hukum Islam

/
/


Salah satu tujuan dari dilangsungkannya pernikahan adalah mendapatkan keturunan. Oleh karena itu, sebagian besar dari pasangan suami istri setelah menikah pasti menanti kehadiran sang buah hati. Anak merupakan salah satu sumber kebahagiaan dalam berkeluarga, sebagaimana doa Nabi Ibrahim yang disebutkan dalam Alquran surat al-Furqan ayat 74 yang artinya:

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”

            Oleh sebab itu, mempunyai keturunan yang salih dan salihah tentunya akan menjadi penyempurna kebahagiaan sebuah keluarga. Namun demikian, terkadang harapan untuk memiliki keturunan tidak serta mulus. Ada yang diberi anugerah oleh Allah swt keturunan pada tahun pertama pernikahan, adapula yang diberi pada tahun ke-2, 3, 4 setelah pernikahan, bahkan ada pula yang setelah belasan tahun belum dikaruniai keturunan. Hal ini bisa disebabkan karena adanya kelainan pada suami atau istri, misalnya karena ada kelainan pada tuba falopi, sperma , endometriosis, dan hal lainnya.

            Saat ini, para ilmuwan terus melakukan inovasi, mengembangkan ilmu dan teknologi guna  memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Tak terkecuali ilmu dan teknologi di bidang kedokteran yang terus mengalami kemajuan pesat. Salah satu inovasi dari bidang ini adalah IVF (in-vitro fertilization) atau lebih dikenal dengan istilah bayi tabung. Program IVF ini diharapkan mampu membantu pasangan suami istri yang tidak bisa memiliki keturunan secara alami karena suatu kelainan sehingga dapat memiliki keturunan.

            Bayi tabung merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mendapatkan keturunan bagi pasangan suami istri yang infertil. Menurut Bambang Wasito dan Taufiq Hidayat dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Dinas Kesehatan Surabaya (2005),  IVF dilakukan dengan mengambil sel telur dari folikel matang yang ada di dalam rahim, kemudian mempertemukannya dengan sel sperma dengan media kultur di luar tubuh. Setelah terjadi pembuahan dan sudah berkembang menjadi morula, barulah embrio dipindahkan ke dalam rahim.

            Adanya program bayi tabung  merupakan sebuah kemajuan yang bagus dalam dunia kedokteran untuk membantu pasangan suami istri yang memiliki permasalahan untuk mendapatkan keturunan. Akan tetapi, di sisi lain juga menimbulkan permasalahan di bidang bioetika dan hukum, khususnya bagi umat Islam. Persoalan muncul karena sebelumnya belum dikenal teknik bayi tabung.

            Rajudin dan Ali Bazaid (2018) dalam  penelitiannya menyebutkan bahwa beberapa persoalan yang menimbulkan masalah etik dalam IVF adalah apabila praktisi bayi tabung berusaha agar angka keberhasilan meningkat, di mana salah satu caranya adalah dengan  mentransfer lebih dari satu embrio. Bila dua atau tiga embrio tersebut ternyata berhasil semua akan mengakibatkan kehamilan ganda, yakni  bayi yang dilahirkan biasanya memiliki berat badan rendah atau lahir prematur serta dapat meningkatkan resiko cacat bayi.

Selain itu, kadang pula tidak semua embrio ditransfer ke dalam rahim, sisanya dibekukan agar dapat digunakan di lain hari. Lalu bagaimana jika suatu hari embrio tersebut mengalami kerusakan atau yang mempunyai embrio tersebut meninggal dunia, atau pindah ke suatu tempat yang tidak dapat diketahui alamatnya?. Oleh karena itu, sebelum melakukan program bayi tabung, pasien harus benar-benar diberikan informed consent  atau  persetujuan medis yang etis, adekuat, dan jujur.

Dalam kajiannya, Isnawan (2019) menyebutkan bahwa di Indonesia sendiri sudah ada undang-undang yang mengatur tentang program bayi tabung, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam undang-undang tersebut diatur bagaimana syarat dan prosedur bayi tabung yang harus terpenuhi sehingga bayi yang diprogram tidak melanggar etika masyarakat dan agama.

Menurut hukum Islam, disebutkan dalam laman NU Online bahwa bayi tabung tidak bisa duhukumi dengan hukum tunggal, yaitu bisa mubah (boleh) dan bisa haram. Dalam Munas NU 1981, para peserta merinci hukum bayi tabung dengan tiga rincian kasus yang berbeda. Pertama, apabila sperma dan ovum bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, maka hukumnya haram. Kedua, apabila sperma dan ovum berasal dari pasangan istri yang sah, tetapi cara pengambilannya tidak sesuai dengan syara’ maka hukumnya haram. Ketiga, apabila sperma dan ovum berasal dari pasangan yang sah dan cara pengambilannya tidak melanggar syara’ maka hukumya boleh (mubah).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melakukan program IVF atau bayi tabung diperbolehkan dengan syarat ada persetujuan tindakan medis yang etis, adekuat, dan jujur serta tidak melanggar syariat hukum Islam. Sperma dan ovum yang diambil harus dari pasangan suami istri yang sah dan dengan cara yang diperbolehkan oleh syara’.

Wallahua’lam.

Referensi:

Isnawan, Fuadi. 2019. Pelaksanaan Program Inesminasi Buatan Bayi Tabung Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosisal, dan Budaya. 3 (2) : 181-200.

Rajuddin & Bazaid, Ali. 2018. Etik, Hukum, dan Sosial Pada Penanganan Infertilitas.

Wasito, Bambang & Hidayat, Taufid. 2005. Apa dan Bagaimana Fertilisasi Dengan Bantuan. Jurnal Kedoteran Yarsi 13 (1) : 01-13.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *