Neswa.id-Bahitshah al-Badiyah (The Researcher in the Desert) merupakan perempuan yang aktif menulis di al-Jaridah, sebuah surat kabar nasionalis yang dipimpin oleh Ahmad Lutfi al-Sayyid. Selain memimpin surat kabar, Ahmad Lutfi juga salah satu pendiri partai Ummah. Ia dan partainya berkeyakinan bahwa feminisme merupakan bagian penting dari nasionalisme. Bahitshah al-Badiyah merupakan nama pena (pseudoname) dari Malak Hifni Nasif. Ia termasuk salah satu perempuan generasi awal yang memperjuangkan feminisme di Mesir. Selain Nasif, ada beberapa nama yang sezaman dengannya, yaitu, Nabawiyah Musa dan Mayy Ziyadah. Mayy Ziyadah di kemudian hari menulis biografi atau memoar tentang Malak Hifni Nasif. Memoarnya berjudul, Bahisthah al-Badiyah yang ditulis dalam bahasa Arab.
Biografi dan Perjalanan Hidupnya
Malak Hifni Nasif lahir dalam keluarga kelas menengah. Ayahnya, Hifni Nasif, merupakan lulusan al- Azhar dan sekaligus murid dari Jamaluddin al-Afghani. Dengan demikian, ayahnya dekat dengan orang-orang reformis pada saat itu. Sebagai seorang pendidik dan hakim, Hifni Nasif mengupayakan agar putra-putrinya senantiasa mendapatakan pendidikan yang layak dan mencintai pendidikan. Ibunya, Saniyya Abd Karim Jalal merupakan perempuan yang mendapatkan pendidikan yang lebih tradisional di rumah. Ibunya merupakan orang yang cerdas dan sangat suka membaca.
Malak Hifni Nasif lahir pada 20 Desember 1887 di Mesir Malak Hifni Nasif merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Sementara pendidikannya ia tempuh di sekolah wanita, Saniyya Kairo, pada Oktober 1893, sekolah yang pada saat itu baru didirikan. Ia termasuk salah satu lulusan pertama sekolah tersebut untuk jenjang ibtida’iyah tahun 1900. Pada 1903, ia menerima gelar diploma dari sekolah yang sama. Setelah itu, ia mulai mengajar di sekolah-sekolah perempuan Tahun 1907, Nasif menikah dan berhenti dari kegiatan mengajarnya. Setelah menikah inilah, Nasif aktif menulis di al-Jaridah. Ia menulis persoalan-persoalan perempuan seperti pernikahan, pendidikan, ataupun pekerjaan dan memperjuangkan hak-hak perempuan melalui tulisannya.
Pada 1909 ia diundang untuk berbicara dalam serangkaian kuliah khusus perempuan yang diselenggarakan di markas Partai Umma. Ia merupakan perempuan pertama yang diundang sebagai pembicara dalam serangkaian kuliah tersebut. Kemudian pada tahun 1910, pemikiran-pemikiran dan tulisannya baik ketika ia menjadi pembicara, tulisannya di al-Jaridah dan surat-suratnya mendapatkan apresiasi dan dimasukkan dalam karya kolektif berjudul al-Nisa’iyat (The Feminist/Feminine Discourses).
Perjuangannya terhadap hak-hak perempuan tidak berhenti pada saat itu. Ia mengajukan sebuah pidato untuk pertemuan nasionalis Kongres Mesir pada tahun 1911 yang diselenggarakan di Heliopolis. Dalam pidatonya ia mengajukan beberapa tema termasuk di antaranya tuntutan yang lebih luas terhadap pendidikan dan pekerjaan perempuan, reformasi pernikahan dan praktik cerai, juga beberapa reformasi sosial-agama lainnya.
Nasif bertemu dengan Mayy Ziyadah dan Nabawiyah Musa pada 1914 beberapa waktu setelah pertemuan al-Nisa’iyat. Baik Mayy Ziyadah dan Nabawiyah Musa adalah pejuang feminisme yang berasal dari Palestina dan Mesir. Dalam memoir yang ditulis oleh Mayy Ziyadah, Nasif menutup mata pada hari Kamis, 17 Oktober 1918 di Kairo karena sakit flu Spanyol.
Ideologi Feminisme Nasif
Nasif merupakan pejuang feminisme yang cukup berbeda dengan rekan-rekan sezamannya. Di Mesir, wacana feminisme menjadi hal yang diperdebatkan dengan hadirnya kolonialisme. Sebagian orang memperjuangkan feminisme kolonial dan sisanya mempertahankan tradisi Mesir dan juga ajaran-ajaran agama. Sementara itu, Nasif berdiri di antara pertarungan wacana “liberal” dan “konservatif”.
Pemikiran feminismenya dapat dikatakan kompleks, jika tidak mengatakan kontradiktif antara satu dengan lainnya, sebab ia menerima modernitas dan tradisi-tradisi Eropa dan bukan kolonial dengan selektif, tetapi pada saat bersamaan ia juga hendak mempertahankan nasionalisme anti kolonial dengan menekankan pentingnya mengembalikan semua hal kepada orang Mesir dan membuang jauh-jauh hal asing dan di sisi lain ia menjadikan Islam sebagai salah satu landasannya untuk berjuang menyebarkan ide-ide feminismenya. Ia tetap mengedepankan akhlak dan adab dalam hal pembebasan perempuan.
Kompleksitas pemikiran Nasif dapat terlihat ketika ia menyuarakan pendidikan perempuan. Sebagai nasionalis anti kolonial, ia menerima dan mengakui kemajuan pendidikan Eropa dan modernitas yang mengilhaminya. Selain itu, dalam persoalan hijab, Nasif menyatakan bahwa perempuan Mesir tidak perlu membuka cadar untuk menuju pembebasan. Hal ini jelas bertolak belakang dengan pembebasan yang digaungkan Qasim Amin mengenai penanggalan hijab bagi perempuan Mesir.
Oleh karenanya, Margot Badran menyebut Nasif sebagai feminis independen yang tidak terbawa arus feminisme “mainstream” pada saat itu. Badran menilai bahwa feminisme di Mesir bukanlah sebuah feminisme yang diwacanakan oleh Barat, tetapi ia adalah wacana independen yang melibatkan patriarki pribumi dan dominasi kolonial yang patriarkal. (IM)
Leave a Reply