,

Negosiasi dalam Pernikahan: ‘Sakinah’ dan Dinamika Relasi dan Peran (Bag I)

/
/


Pernikahan yang Bertahan

Ketimbang yang tidak bertahan pernikahan yang bertahan jauh lebih banyak. Itu artinya bahwa lembaga pernikahan memang pada umumnya bertahan dan para pasangan menginginkan pernikahan bisa bertahan. Banyak faktor yang membawa pernikahan bisa bertahan begitupun yang menyebabkannya tidak bertahan. Beberapa faktor dalam dua keadaan tersebut tidak bisa begitu saja dihadapkan atau dikontraskan. Meskipun saling berkaitan, mereka berdiri pada posisi mereka masing-masing.

Pernikahan dipilih dan dilakukan oleh pasangan dengan landasan rasa indah yang tumbuh di hati pasangan. Ini merupakan kondisi yang umum terjadi. Perasaaan indah yang tumbuh setelah pertemuan membawa pasangan memperoleh kenyamanan dan perasaaan ingin tetap bersama dan saling membahagiakan.

Untuk mewujudkan itu ikatan diperlukan, dan pasangan akhirnya memutuskan untuk bersatu dalam sebuah ikatan atau lembaga yang sesuai dengan budaya, ajaran, dan norma yang dianut. Dalam konteks Islam, pasangan memutuskan bersatu dengan mengikat diri dalam sebuah perjanjian pernikahan (akad nikah) yang mengikat kuat (mitsāqan ghalīdza) untuk hidup bersama dalam wadah rumah tangga atau keluarga.

Tidak ada pernikahan yang secara pasti bisa dianggap bertahan. Pernikahan yang sudah berlangsung puluhan tahun bisa dianggap pernikahan yang bertahan pada saat ia memang bertahan. Tetapi di suatu masa depan (setelah beberapa hari, bulan, atau tahun) pernikahan bisa saja bubar dan terputus karena masalah yang memang sudah ada sejak lama, terpendam, dan diabaikan.

Pernikahan yang masih bertahan bukan selalu karena tidak adanya masalah tetapi karena bertahannya pasangan dengan masalah-masalah yang ada. Juga, pernikahan yang tidak bertahan tidak selalu karena adanya masalah-masalah yang berat. Namun, pada umumnya pasangan ingin pernikahan bertahan dan berusaha mempertahannkanya. Lalu kenapa ada yang tidak bertahan dan bertahan? Pasanganlah yang memutuskan.

Pernikahan kami bertahan sampai usianya mendekati 22 tahun. Ia merupakan pernikahan yang telah cukup panjang dijalani dan dinikmati. Pernikahan kami telah dihiasi oleh banyak kebahagiaan dan keberkahan dari banyak sumber; dua orang anak dengan jenis kelamin berbeda, karir dan pekerjaan kami yang cukup baik, serta keluarga besar dari dua belah pihak yang selalu mendukung.

Sumber-sumber ini bekerja dengan baik menopang rumah tangga dan menjadi pondasi keluarga kami. Namun, apakah ini yang menjadi kekuatan pernikahan dan rumah tangga bisa bertahan sampai paling tidak saat ini. Bukankah banyak pasangan mempunyai sumber-sumber kebahagiaan dan keberkahan seperti ini? Bukankah juga banyak pasangan dengan sumber-sumber ini tidak mempertahankan atau tidak mampu mempertahankan pernikahan dan keluarga mereka?

Seperti telah disebutkan, pernikahan yang bertahan adalah pernikahan yang dipertahankan dalam banyak kondisi. Pertama, kondisi dengan tanpa masalah (jika ada). Kedua, kondisi dengan masalah yang mampu dinegosiasikan, dan ketiga kondisi dengan masalah serius yang dipaksakan dan diadaptasi oleh salah satunya.

Jadi, pernikahan bertahan adalah pernikahan yang dipertahankan oleh pasangannya dengan paling tidak tiga kondisi ini. Dan pasanganlah yang menentukan arah keberlanjutan atau putusnya pernikahan. Artinya, pernikahan dengan tiga kondisi di atas bisa tidak bertahan jika tidak diinginkan oleh pasangan.

Negosiasi, Bak dalam Jual Beli Rumah

“Semua manusia ingin dicintai dan punya hasrat untuk mencintai. Namun cara dan standard mencintai atau mengekspresikan cinta berbeda-beda”, begitu kata suami saya.

Untuk itu, katanya lagi, masing-masing pasangan harus mengenal sifat pasangannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk lingkungan di mana ia lahir dan tumbuh. Perbedaan standard itu memang berpotensi pada munculnya ketidaknyamanan dan ketidakpuasan pada pasangan, yang secara umum dalam hal ini wanita cenderung ingin memperoleh rasa dan ungkapan cinta yang lebih jelas dari pasangannya. 

Misalkan saja pasangan wanita mematok dan berharap standar cinta di angka 90 dengan harapan sikap dan tutur kata pasangannya berdasarkan pemahamannya. Jika si suami dianggap hanya mampu memenuhi angka 70, maka jurang angka 20 menganga, dan inilah yang seringkali menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidakpuasan. Negosiasi untuk itu mutlak diperlukan untuk mengatasi kesenjangan standard tadi.

Negosiasi merupakan sebuah upaya yang dibicarakan oleh kedua belah pihak, dengan pasangan masing-masing mengajukan ide atau solusi mengurai angka 20. Negosiasi bukan akomodasi apalagi adaptasi yang merupakan proses penyesuaian satu pihak untuk pertahanan diri, yang melibatkan hanya kepasrahan dan ketundukan salah satu dari pasangan.

Untuk kita bisa dengan baik mendapatkan gambaran bagaimana negosiasi bisa hadir dan bekerja dalam mengurai kesenjangan angka atau mengurangi skala perbedaan dalam hubungan pasangan pernikahan, mari kita asosiasikan ini dengan proses jual beli rumah. Dalam jual beli rumah, negosiasi hampir selalu dilakukan. Ya, paling tidak kami melakukannya.

Kita beri gambaran jika si penjual A menawarkan rumah dengan harga katakanlah 1 milyar, dan seorang pembeli B mengutarakan minatnya dan mengajukan harga 600 juta. Proses jual beli hampir tidak bisa dilakukan jika kedua dari mereka bertahan dengan angka yang mereka pegang, dan artinya tidak ada negosiasi. Hampir, bukan tidak mungkin sama sekali.

Karena jika si penjual dalam keadaan sangat membutuhkan, maka ia dengan rasa penyesalan dan getar di dada, ia bisa membiarkan rumah diambil pembeli dengan harga tersebut. Atau sebaliknya pihak pembeli karena merasa kebelet dan kepelet dengan rumah tersebut, ia rela merogoh 1 milyar dan tentu ia melakukan dengan rasa terpaksa untuk memuaskan keinginannya memilki rumah tersebut.

Kedua sikap ini bukanlah negosiasi, tetapi adaptasi. Adaptasi si penjual terhadap pembeli karena tidak adanya daya tawar si penjual yang sedang terpuruk dan terdesak suatu kebutuhan, dan adaptasi si pembeli karena tidak adanya daya tawar pembeli yang sedang kepelet rumah.

Supaya keduanya merasa senang dan bahagia, negosiasi dilakukan, dan ini memang hanya bisa dilakukan oleh kedua pihak yang mempunyai daya tawar dan kebutuhan yang seimbang. Si pembeli mengajukan harga lain yang mendekati harga 1 milyar, 750 juta atau 800 juta, dan tentunya supaya jual beli bisa terjadi, si penjual harus menurunkan harga jualnya ke angka yang ditawarkan si pembeli. Dengan sikap dan cara ini, kedua pihak merasa dalam posisi yang sama dan merasa senang serta puas dalam melepas rumah dan dalam menerima rumah yang dijual.

Kita bawa proses atau sikap dalam jual beli itu ke dalam negosiasi dalam pernikahan. Angka 90 yang diajukan istri dan harus dipenuhi oleh suami perlu diturunkan ke angka misalnya 80 dan tentunya suami harus juga berusaha menaikan angka 70 ke 80. Kita asosiasikan angka-angka ini ke dalam sikap konkrit dari pasangan. Jika si suami merasa bahwa cinta itu tidak harus diucapkan setiap hari dan diekspresikan dengan se-bucket-bunga, dan sementara istri menginginkan kedua sikap itu dari si suami, maka suami perlu belajar melakukannya dan tidak bisa bertahan dengan pemahamannya.

Begitu juga sebaliknya, istri tidak bisa terus mengharap suami melakukan kedua sikap itu. Tentu suami tidak perlu melakukan keduanya tetapi mungkin belajar melakukan salah satunya, yaitu misalnya membeli bunga sesekali, di hari tertentu. Jika ia masih canggung dan malu melakukannya ia bisa mencari cara dengan meminta orang lain untuk mengantarkannya.

Mengungkapkan rasa cinta dengan kata-kata setiap hari tidak perlu dilakukan karena misalnya terlalu berat dan si istri tidak perlu terus menuntut si suami yang jika ia melakukannya, pipi dan matanya bisa memerah tidak karuan karena ia tidak terbiasa dengan itu. Itulah negosiasi. Negosiasi dalam pernikahan juga bisa dilakukan hanya jika keduanya dalam posisi yang seimbang, saling membutuhkan dan menginginkan keberadaan pasangan masing-masing.

Jika itu tidak dilakukan dan angka tetap di angka yang sama, dan salah satu memaksakan diri untuk turun atau naik, maka adaptasi-lah yang dilakukan dan ini tentu menunjukan adanya ketidakseimbangan posisi kedua pasangan. Yang satu terlalu butuh atas yang lain, atau yang satu tidak terlalu membutuhkan yang lain. Dalam keadaan ini, pernikahan yang berlanjut menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan ketidakpuasan terhadap pasangan dalam menjalankannya.

Apakah ada pernikahan yang bertahan dengan rasa nyaman dan bahagia di mana pasangan tidak melakukan negosiasi? Jika yang dimaksud negosiasi itu adalah upaya untuk selalu menyesuaikan dengan standard masing-masing dengan keduanya terlibat dalam upaya itu meski dalam tingkat yang sangat rendah karena kesenjangan tidak terlalu luas, maka jawaban atas pertanyaan itu adalah tidak ada.

Artinya, sepertinya hampir tidak ada pasangan yang menawarkan angka yang sama dalam menjalankan hubungan pernikahan, kesenjangan pasti selalu ada meski dalam rentang yang sangat kecil misalnya 90 dengan 85, dan jurang angka 5 itu tetap perlu untuk dinegosiasikan.

**



2 responses to “Negosiasi dalam Pernikahan: ‘Sakinah’ dan Dinamika Relasi dan Peran (Bag I)”

  1. Avatar

    Asah asih asuh kebersalingan kedua pasangan membuat tangguh hadapi semua masalah yang mbanyu mili dalam rumah tangga milenilal

  2. Avatar
    Euis N

    Terima kasih, mas Juli! Sehat selalu!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *