,

Didi Kempot Meredam Toxic Masculinity

/
/


Tetiba di timeline media sosial anda muncul video lelaki menangis sambil nonton konser Didi Kempot. Kamu seketika itu jijik, ilfil, bahkan kedua jari anda mengetik hujatan di kolom komentar “lelaki kok nangis”.


Besok harinya, tak sengaja timeline mu kembali kedatangan video cuplikan Ngobam Ghofar Hilman X Didi Kempot. Seusai bincang-bicang, Lord Didi menyanyikan lagu yang bikin salah satu penonton lelaki nangis dengan tangan menggenggam botol berisi bekonang. Jari anda kembali mengetik “wes mendeman, nangisan pisan”.
Esok harinya kamu mendengar kabar, orang yang kamu sayangi meninggal. Air matamu turun juga.


Ekspresi emosi memang tak pernah melihat dimensi gender. Ia tak melulu persoalan ilfill dan jijik, melainkan rasa yang tiba-tiba muncul sehingga ada rasa untuk mengekspresikannya. Kalau to anda melihat itu sebagai perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh laki-laki, cobalah sejenak mengenal salah satu musisi campur sari asal Surakarta ini.


Dionisius Prasetyo atau akrab dipanggil Didi Kempot salah satu musisi campur sari yang karya-karyanya memiliki tema percintaan dalam kehidupan. Keberhasilannya menyulap kisah cinta dan nelangsa menjadi karya seni patut mendapatkan apresiasi. Ditangannya lagu-lagu tentang percintaan dan kerinduan bisa dinikmati oleh gender apapun tanpa harus merasa malu.


Rambut gondrong, mengenakan baju dan celana jeans, berkacamata, serta mengendarai motor gede. Sebagai visualisasi maskulinitas, melihat Didi Kempot dalam video klip yang kini bertebaran di kanal You Tube telah paripurna. Alih-alih mempertegas kontruksi toxic masculinity, Didi Kempot menawarkan sudut pandang baru melalui musik campursari tentang maskulin dan feminin.


Lirik-lirik lagu Didi Kempot justru memilih untuk sabar, setia dan berbaik sangka yang diekspresikan dalam bentuk lirik “netes eluh neng pipiku”, “nelangsa neng ati”, “remuk ati iki yen eling janjine”. Di dalam musik, kita memiliki hubungan dekat dengan suasana hati pencipta sehingga menghasilkan suatu ketenangan. Ia juga mampu mewarnai kejenuhan, kebosanan guna meningkatkan konsentrasi dan mempertebal ingatan.


Didi Kempot mampu menebalkan ingatan kita untuk tidak ilfill dengan kegiatan bernama “nangis”, sekalipun persoalan ditinggal pacar. Tak ada urusan “maskulin” atau “feminis” untuk perihal mengekspresikan emosi.


Barangkali diantara kita, sudah lama mengagungkan adigium laki-laki dan perempuan dipandang sebagai kutub yang berlawanan dalam banyak atribut kepribadian. Segala sesuatu yang bersifat menye-menye, nangisan, hingga ambyar dipersepsikan berkaitan perempuan. Sementara laki-laki dipersepsikan dengan keperkasaan, tidak menye-menye, nangisan. Adigium laki-laki berlebih memiliki nilai, sedangkan ciri dan sifat seringkali perempuan (Handayani, 2004).


Toxic masculinity yang tercipta dari norma-norma sosial karena pria secara historis memiliki kekuatan sosial dan ekonomi menjadi grup yang unggul di masyarakat ketimbang perempuan. Keuntungan yang menghinggapi laki-laki karena ada norma yang berlaku. Lalu, masculine power menjadikannya dominan sehingga mempertebal sesuatu yang “manly” dan “tidak manly”.


Laki-laki “manly” terhadap lagu-lagu yang tidak menye-menye, ambyar, nangisan. Sedangkan perempuan sebaliknya. Norma yang kokoh sedemikian rupa nyatanya perlahan-lahan mendapat kritik dan menjadi simalakama bagi penganutnya.
Ketimbang toxic masculinity, Didi Kempot justru mengakui patah hati hal yang lumrah dan menjadi inspirasi untuk menciptakan lagu.

Dalam wawancara beritagar.id, Didi Kempot ditanya pernah berapa kali ditolak dalam kehidupan percintaan. Saya cuma sekali ditolak yang mengenaskan, sekitar 1986. Itu yang menginspirasi lagu “Cidro”.


Sepenggal lirik lagu campur sari yang diciptakan dan dinyanyikan sendiri oleh Didi Kempot luapan gambaran rasa rindu, sakit hati dan kekecewaan dalam menjalin hubungan asmara.


Dek opo salah awakku iki // Kowe nganti tego mblenjani janji // Opo mergo kahanan uripku iki //Mlarat bondo seje karo uripmu // Aku nelongso mergo ke bacut tresno // Ora ngiro saikine cidro


Kalau lagu ini dinyanyikan oleh Didi Kempot, kamu akan mengingat masa lalu saat pertama kali patah hati. Saat itu kamu menahan rasa, karena takut dianggap cengeng jika nangis di depan orang banyak. Setelah sampai di kamar, air mata itu tumbah dengan dirinya sendiri.


Bahaya dari pemaknaan dikotomis ala toxic masculinity ada di kedua belah pihak. Dalam realita, tak sedikit laki-laki yang memiliki sifat lembut, peka, dan sabar. Demi menonjolkan sifat maskulinnya ia harus tegas, tak menangis dalam selimut kepura-puraan.


Pada persoalan cinta, tak sedikit laki-laki merasa harus merasa tegar, kuat, dan segala maskulinitasnya. Padahal jika sedang rindu-rindunya, rasa gundah gulana itu akan merasa sangat mellow (sifat yang sering diidentikan feminim). Seperti dalam lirik lagu Didi Kempot berjudul “Banyu Langit”

Sworo angin // Angin sing ngreridu ati // Ngelingake sliramu sing tak tresnani // Pengen nangis // Ngetokke eluh neng pipi // Suwe ra weruh // Senajan mung ono ngimpi // Ngalemo // Ngalem neng dadaku // Tambanono roso kangen neng atiku // Ngalemo neng aku // Ben ra adem kesiram udaning dalu // Banyu langit.


Kerinduan yang menggebu-gebu terhadap pujaan hati itu sesuatu yang nyata. Tak pernah ia melihat lelaki atau perempuan. Sebab rindu adalah hak segala bangsa tak bisa dikurangi sekalipun oleh presiden negeri ini. Lantas jika rindu dilekatkan pada sesuatu feminim, apa yang akan terjadi ?


Paham bias feminim ini justru mempertebal toxic masculinity. Rasa tak pantas bagi laki untuk patah hati, menangis pujaan hati yang tak ada kabar. Lebih-lebih menunggu orang yang ia sayang, tak pantas. Lalu muncul “Lanang kok nangis” dan “Lanang ya golek maneh” menjadi umum di masyarakat sehingga menjadi satu adigium kebenaran. Sementara untuk perempuan, “ojo golek sit”, “sabar, golek ngko maneh”, “jodoh ngko ketemu dewe”.


Rasa-rasanya mempertebal toxic masculinity justru sedang menggali lobang kelemahan diri manusia. Dalam perkara membangun hubungan, seyogyanya lelaki dan perempuan sama-sama boleh rindu, patah hati, hingga kecewa. Ekspresi kesedihan pun pantas menjadi ganjaran bagi sebuah kegagalan. Tak ada salahnya menangis. Sebab “sing uwis ya uwis, lara ati yo oleh ning tetep kerja lo ya, mergo urip raiso di ragati karo tangismu” kata Didi Kempot.


Laki-laki menangis sama hal nya dengan perempuan menangis. Fitrah manusia yang tak mampu menahan kesedihan akan diwakili lewat jatuhnya air mata. Didi Kempot melalui lagu-lagunya mengajarkan bahwa lelaki menangis tidak bisa dikatakan “feminim”.


——————-
Kini, Bapak Patah Hati Nasional itu telah berpulang meninggalkan kita semua. Sebelum ia di jemput oleh sang pencipta masih sempat untuk konser menggalang dana bagi warga terdampak covid-19. Mbah Didi, sing tak sawang mung kari ayang-ayanmu, tresnaku maring awakmu kadung ngikis atiku.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *