,

Para Lelaki Lebih Menyukai Menyembunyikan Luka Daripada Mengungkapkan

/
/

Para Lelaki Lebih Menyukai Menyembunyikan Luka Daripada Mengungkapkan

Neswa.id-Dalam suatu lingkaran diskusi, untuk pertama kali saya mengakhiri forum berbagi kisah dengan para peserta laki-laki.

“Bisakah teman-teman berbagi untuk pengalaman sosial yang tidak menyenangkan ketika melihat ketimpangan realitas sosial,” tanya saya kepada teman-teman.

Forum yang pada mula sangat ramai dengan berbagai perspektif berubah seketika hening. Saya mencoba memantik dengan argumen demikian,

“Ini yang menjadi masalah laki-laki. Sedari awal saya berbicara tentang kontruksi sosial antara laki-laki perempuan yang berakibat bahwa, tidak hanya perempuan yang menjadi korban dari standart yang diciptakan oleh sosia. Laki-laki menjadi korban. Buktinya, tidak banyak laki-laki yang berkeluh kesah tentang masalahnya, sebab kecil dibentuk dengan pemahaman bahwa laki-laki tidak boleh menangis, harus kuat. Bahkan ketika jatuhpun, ibu akan menyuruh anak laki-lakinya untuk bangun sendiri.”

Forum hening sejenak, lalu dilanjutkan dengan kalimat yang diucapkan oleh salah satu peserta diskusi,

“Saya pernah mengalami hubungan yang tidak nyaman kak. Bermula ketika saya pacaran dengan seorang perempuan yang sangat progresif. Umurnya lebih tua dari saya. Sebenarnya saya gak ada masalah. Tapi, menjadi masalah ketika saya harus sesuai dengan standart yang ia punya. Misal saya harus begini dan melakukan upaya untuk sama dengan yang dilakukan, sehingga saya harus sejajar dengan dia. Sering saya mendapatkan perlakuan yang tidak enak seperti dianggap tidak berguna, tidak seperti laki-laki pada umumnya. Itu yang membuat saya tertekan,” dengan muka masam, forum justru disambut suara riuh peserta laki-laki yang hadir dalam forum ini.

Saya yang sedari tadi menyimak kalimat yang disampaikan, justru berbicara tentang feedback dalam forum tersebut,

“Inilah yang terjadi ketika laki-laki curhat tentang ketidakberdayaan dirinya. Suara yang hadir justru mencemooh dan merendahkan. Maka tidak salah ketika laki-laki memilih untuk tidak berkeluh kesah tentang segala kelemahan yang dimiliki,” ucap saya dengan nada menegaskan.

Akhir cerita, forum tersebut hening ketika saya berkata semacam itu.  namun, lupakan bagaimana akhir forum itu untuk saya bubarkan. Mari kita dalami pembahasan ini. Sebab berbicara tentang kesetaraan gender, tidak hanya berbicara tentang permasalahan perempuan saja. Laki-laki dan perempuan menjadi objek pembahasan untuk mendobrak konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat.

Dalam sebuah kasus misalnya. Ada perbedaan cara pandang masyarakat kepada laki-laki yang sukses secara karir, pendidikannya bagus dan kehidupannya mapan, dibandingkan dengan perempuan yang sukses secara karir, financial dan pendidikan. Saya yakin, suara yang datang kepada perempuan kurang lebih semacam ini,

“Kalau pendidikan terlalu tinggi, sudah mandiri, dan bisa mencukupi kehidupan sendiri, nanti siapa yang mau,” ucap para tetangga yang sedang memperhatikan kehidupan perempuan mandiri itu.

Kalimat ini membentuk mindset sosial, sehingga laki-laki akan merasa tidak percaya diri untuk mendekati perempuan mandiri dan perempuan yang memiliki kemampuan lebih daripada dirinya. Hal ini ditambah juga dengan posisi hirarkis, di mana perempuan harus lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Padahal, keduanya sama-sama memiliki potensi untuk mandiri.

Maka tidak salah ketika salah satu laki-laki yang hadir dalam forum tersebut bercerita tentang ketidakberdayaan dirinya mendekati perempuan yang secara finansial lebih mapan. Seorang laki-laki merasa malu ketika dekat dengan perempuan mandiri, dan itu adalah hal yang tidak diubah dari pemikiran yang dimilikinya sebagai sosok laki-laki.

Dari sinilah kita mampu memahami, mengapa bapak, ataupun teman kita yang laki-laki lebih memilih untuk bersikap baik-baik saja ketika ada masalah, bahkan ketika menghadapi badai sebesar ombak. Kalaupun memang benar dirinya tidak apa-apa, sebenarnya ada apa-apa yang sudah biasanya disembunyikan. Laki-laki kuat karena dihantam kenyataan bahwa dirinya harus mampu bangun sendiri.

Upaya bisa saya lakukan adalah memberikan pemahaman dan mengafirmasi bahwa, laki-laki mengeluh dan menangis tidak masalah. Memberitahu tentang perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja adalah sesuatu yang lumrah dimiliki manusia. Afirmasi semacam itu perlu kita semarakkan sehingga kesedihan yang dialami oleh laki-laki bukanlah hal tabu, melainkan suatu keniscayaan yang dialami oleh manusia. Laki-laki berhak untuk bersedih, menyampaikan kesedihannya, dan kitalah yang harus sadar bahwa kesedihan laki-laki merupakan sebuah kewajaran. (IM)


Safiqoh El Nabila Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *