“Kamu nih udah terpengaruh ajaran yang aneh-aneh pas kuliah di Jakarta. Mosok anak perempuanmu gak disunat. Nanti ganjen. Gak ngikutin ajaran agama.”
Neswa.id-Begitulah omelan singkat Abah saat mengetahui cucu perempuan pertamanya tumbuh dan ternyata melewati fase sunat menyunat yang dianggap sakral dalam tradisi keluarga turun temurun. Alih-alih ingin menjelaskan argumen logis kenapa anak perempuan saya tidak disunat, justru yang muncul adalah perdebatan bapak dan anak yang tak kunjung usai. Kami tutup obrolan hari itu dengan wajah masam, emosi kabeh.
Sunat atau khitan untuk perempuan dalam pandangan saya tidak lebih dari sekadar tradisi nenek moyang terdahulu yang tabu akan seksualitas bagi perempuan. Bahkan dahulu, khitan perempuan cenderung dipraktikkan secara ekstrim tanpa memperhatikan keselamatan tubuh perempuan yang kelak akan mengancam keberlangsungan fungsi organ reproduksinya.
Kalau kita ulik lebih dalam, khitan perempuan memiliki akar sejarah yang beragam. Namun, teori yang lebih populer diyakini sebagian besar orang adalah bahwa praktik khitan perempuan atau Female Genital Mutilation pertama kali dilakukan oleh orang-orang Mesir kuno sebagai salah satu prosedur penerimaan sosial, pernikahan, dan pewarisan harta benda bagi perempuan.
Dari sumber yang berbeda, Rosemarie Skaine dalam Female Genital Mutilation: Legal, Cultural and Medical Issues menyebutkan bahwa ada arsip dokumentasi yang menunjukkan bahwa praktik khitan perempuan sudah bermula sejak zaman Yunani Kuno pada 163 SM. Di mana, para perempuan yang hendak menikah wajib disunat sebagai syarat untuk mendapatkan mas kawin. Ini tentu jauh sebelum keyakinan beragama muncul. Singkatnya, praktik khitan perempuan sebenarnya tidak terikat pada satu komunitas agama atau etnis tertentu.
Bagaimana Praktik Khitan pada Perempuan itu Dilakukan?
Saya mencoba menelusuri banyak informasi terkait hal ini. Khitan perempuan merupakan praktik memotong sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan pada bagian luar. Praktik khitan pada perempuan sudah lama dijalankan dan nyatanya masih eksis hingga saat ini di semua lintas benua. Beberapa negara yang masih melakukan praktik ini di antaranya adalah Somalia, Sudan, Mesir, India, Indonesia, Iran, Kolombia, Ethiopia dan masih banyak lagi.
Dari sekian banyak negara tersebut, tentunya prosedur pelaksanaannya memiliki variasi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itulah, WHO mengklasifikasikan empat tipe dalam praktik khitan perempuan.
Pertama, klitoridektomi yaitu memotong sebagian atau seluruh klitoris (tonjolan kecil yang sensitif terhadap rangsangan). Kedua, memotong sebagian atau seluruh klitoris dan labia (bibir bagian dalam dan luar yang mengelilingi vagina). Ketiga, infibulasi yaitu menjahit labia kanan dan kiri menjadi satu agar lubang vagina menjadi lebih kecil. Keempat, semua prosedur yang dilakukan untuk merusak alat kelamin perempuan baik itu menusuk, memotong, mengikis atau membakar.
Membaca ragam tipe khitan perempuan di atas membuat bulu kuduk saya merinding. Seketika saya teringat salah satu video dokumentasi Vice News: Reversing Female Circumcision tentang perjalanan seorang perempuan Somalia untuk melakukan surgery for restore sexual function, membuka jahitan yang menutupi vaginanya setelah melakukan khitan belasan tahun lalu. Tak terbayang bagaimana sakitnya, pasti menjadi momok menakutkan dalam hidupnya.
Lalu, bagaimana dengan praktik khitan perempuan di Indonesia selama ini? Prosedur khitan perempuan di Indonesia tentu berbeda dengan negara lainnya. Pada 2016, Indonesia masih menduduki peringkat tertinggi ketiga sebagai negara yang melakukan praktik khitan perempuan. Dengan jumlah penduduk mayoritas muslim, khitan perempuan memang diyakini sebagai perintah agama. Salah satunya, ya keyakinan Abah saya tadi.
Di beberapa daerah di Indonesia, praktik khitan perempuan umumnya dilakukan dengan cara menggores atas mengusap bagian klitoris, tidak sampai memotong. Terlebih, WHO sudah mengeluarkan mandat penghapusan praktik khitan perempuan sejak 1997. Meski begitu, praktik dengan cara memotong klitoris kemungkinan masih bisa terjadi.
Namun pertanyaan yang paling mendasar, apa sih tujuan dari khitan perempuan itu? Benarkah memiliki manfaat sebagaimana khitan yang dilakukan pada laki-laki? Bagaimana kemudian hal ini menjadi ritus sakral dalam kacamata budaya dan ajaran agama?
Tujuan Khitan Perempuan itu Apa sih?
Dibesarkan di lingkungan yang disiplin pada ritual keagamaan, dahulu saya meyakini sekali bahwa khitan pada perempuan adalah hal yang sangat dianjurkan sebab itu perintah agama layaknya perintah berzakat atau bersedekah. Dalam kacamata Islam khususnya, perintah khitan perempuan banyak bersumber dari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, salah satunya hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Al-Baihaqi yang berbunyi:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: الختان سنة للرجال مكرمة للنسآء
“Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw, bersabda “Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan sesuatu yang mulia bagi anak perempuan”.
Hadis ini diyakini oleh sebagian ulama sebagai dasar pelaksanaan khitan bagi anak perempuan. Lebih detail diterangkan bahwa perempuan memiliki organ yang mudah merangsang yang membuat hasrat seksualnya menjadi berlebihan. Untuk itu, hasrat tersebut harus dikurangi dan dikontrol melalui khitan perempuan.
Hal ini senada dengan argumentasi sosial kultural yang mendasari praktik khitan perempuan di beberapa negara. Khitan perempuan adalah cara untuk mempersiapkan perempuan menuju kedewasaan dan pernikahan. Perempuan harus menjaga keperawanannya dan sebisa mungkin mengendalikan hasrat seksualnya.
Saya kembali merenung, jika khitan adalah cara mengontrol hasrat seksual perempuan, apakah perempuan tidak layak berdikari pada tubuhnya dengan segala rasa dan hasrat yang ada? Jika laki-laki bisa merasakan kenikmatan, apakah perempuan tidak berhak merasakannya pula? Tentu tidak adil.
Agar lebih paham, mari kita ulik lebih lanjut apa manfaat sekaligus risiko khitan pada perempuan. Sampai saat ini, di dunia kesehatan belum ada temuan apapun terkait manfaat khitan bagi perempuan. Hal ini berbeda dengan khitan pada laki-laki. Secara medis, pemotongan kulup pada laki-laki adalah hal yang sangat positif karena dipandang sehat bahkan mencegah terjadinya penyakit kelamin.
Husein Muhammad, Kyai Feminis Cirebon mengatakan bahwa khitan pada laki-laki hal yang dianjurkan. Namun khitan pada perempuan justru berdampak negatif. Hal ini karena ujung klitoris adalah pusat rangsangan, dan jika itu diangkat atau dipotong, maka perempuan justru sulit mengalami kenikmatan saat berhubungan seksual.
Kabar buruknya, khitan perempuan justru menimbulkan masalah komplikasi pada organ reproduksi perempuan baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil temuan Elliot Klien dan kawan-kawan dalam Female Genital Mutilation: Health Consequences and Complications menyatakan bahwa khitan perempuan bisa mengakibatkan infeksi, pendarahan, gangguan saluran kemih bahkan meningkatkan risiko tertular virus HIV, tintanus karena penggunaan alat-alat yang tidak steril.
Panduan Bagi Orang Tua yang Memiliki Anak Perempuan
Sebenarnya, terlepas dari pandangan agama, budaya, dan medis, praktik khitan perempuan semakin menunjukkan bagaimana masyarakat masih menjadi penguasa yang tugasnya mengontrol penuh tubuh perempuan tanpa landasan yang layak dipertanggungjawabkan. Pelaksanaan khitan perempuan justru melanggengkan ketimpangan gender dan ketidakadilan.
Kenapa saya lebih mengkhususkan kepada para orang tua? Karena saya memiliki keyakinan bahwa setiap jengkal pengetahuan dasar itu bersumber dari keluarga. Masa pranatal bagi seorang anak bersumber sejak masa kandungan hingga laku hidup dalam keluarga.
Kepada semua orang tua yang memiliki anak perempuan, yakini saja bahwa khitan pada anak perempuanmu bukanlah kewajiban yang harus diperjuangkan mati-matian sebagai pemenuhan tradisi yang dilakukan turun temurun. Kelak jika anak perempuanmu bertanya kenapa aku tidak disunat, kalian cukup menjawab bahwa “kamu berhak bahagia atas tubuhmu sendiri’’. (IM)
Leave a Reply