Empat tahun yang lalu, di perjalanan menuju distrik 10 kota Kairo, saya melihat seorang ibu dengan anak perempuannya menaiki bus. Sang ibu menarik tangan anaknya dengan cukup keras. Kebetulan mereka duduk di kursi depan, saya di belakangnya. Anak perempuan itu berusia sekitar 9 tahun, setara kelas 3 ibtidâ’îy. Sang ibu membawa kertas hasil belajar siswa, berupa tabel, lengkap dengan angka dan nilai akumulatifnya. Ada kekhawatiran, rasa kecewa, marah, sayang, dan ketakutan di raut mukanya.
Tak ada yang salah dari bagaimana ekspresi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Barangkali memang seperti itulah bahasa cinta (love language)-nya. Akan tetapi, peristiwa tadi berhasil membawa ingatan saya pada kejadian delapan tahun silam, saat saya sedang nyantri di Jawa Timur.
Kala itu, malam hari, para santri putri bersiap ikut kegiatan belajar malam seusai jamaah salat Isya’. Tiba-tiba terdengar teriakan cukup keras dari kamar sebelah, salah seorang teman ditemukan kejang dengan mulut penuh buih. Kata teman yang lain, ia mengalami epilepsi.
Keesokan harinya, teman yang kejang tadi, dijemput ibunya. Seusai minta izin kepada ibu pengasuh, sebelum sampai di pintu gerbang pondok, lagi-lagi, saya melihat kejadian yang sama; pada raut muka ibu tadi, ada ekspresi berupa kekecewaan, kemarahan, sekaligus kasih sayang. Ia menggenggam erat tangan anaknya, lalu cepat-cepat pergi.
Dua cerita ini hanya contoh kecil, saya rasa, ada banyak kejadian lain yang serupa.
Di satu sisi, barangkali kita akan menganggap kejadian itu merupakan hal yang lumrah. Sebagian dari kita, bahkan menyadari hal itu biasa saja. Selain karena bahasa cinta (love language) ibunya memang demikian, kita juga akan berasumsi bahwa bahasa cinta tadi cenderung membuat anak lebih kuat. Artinya, didikan keras yang diberikan oleh orang tua, akan membuat anak lebih kuat daya tahannya.
Seorang anak yang mengalami didikan keras tentu akan lebih siap dengan berbagai ujian. Ia memiliki ketahanan dalam menyikapi berbagai tantangan. Di samping itu, ia akan cenderung lebih mandiri daripada teman-teman yang lain.
Namun, di sisi lain, kita juga akan mengatakan bahwa love language tidak semestinya seperti itu. Dari obrolan mereka di kursi depan, ibu tadi mempertanyakan anak perempuannya tentang nilai ujian yang diterima. Nilainya cukup rendah (untuk tidak mengatakan jelek). Sang ibu menyayangkan hal itu. Barangkali ia juga tidak pernah terbayang anaknya bakal mendapat nilai ujian (serendah) itu.
Biasanya, seorang ibu yang menyayangkan hasil ujian anaknya, tidak pernah tahu kemampuan anak tersebut. Ia tidak pernah tahu bagaimana proses belajarnya, pelajaran yang disukai, concent-nya apa, dan sebagainya. Seorang ibu hanya beranggapan bahwa proses yang dilakukan anaknya tidak maksimal jika mendapat nilai rendah. Jika anak perempuan tadi mau sedikit giat lagi, bisa dipastikan, ia tidak akan mendapat nilai ujian (serendah) itu.
Seorang anak yang lahir dan tumbuh dari lingkungan seperti ini—biasanya, ia tidak akan menghargai sebuah proses, sekecil apapun proses itu; ia akan melakukan banyak cara untuk menggapai hasil maksimal tanpa memperhatikan nilai (value) apa yang bisa didapat; dan lebih peduli dengan hal-hal yang bersifat formil.
Lalu, untuk teman saya yang mengalami epilepsi—saat itu, ia berusia 13-14 tahun. Masih sangat muda, masih sangat memungkinkan untuk sembuh. Sehingga, tidak seharusnya ia mendapat perlakuan semacam itu. Yang dia alami, itu di luar kendalinya. Epilepsi berada di luar keinginannya. Entah itu bawaan lahir atau penyakit yang dialami akhir-akhir ini (waktu itu).
Barangkali, orang tuanya belum paham betul apa yang dirasakan anaknya itu. Ia merasa malu dengan yang dialami anaknya. Tapi bagaimanapun, rasa malu yang dialami orang tua, akan sedikit-banyak mengganggu kesehatan mental anak tersebut. Bagaimana jika teman saya tadi, nantinya punya trauma masa kecil, trauma yang mengakibatkan adanya perasaan seperti: “merasa tidak diinginkan sebagai anak”(?)
Cerita di dalam bus, ataupun di pesantren, keduanya memiliki implikasi yang sama. Implikasi tersebut bisa berupa; pemahaman seorang anak terhadap love language itu sebatas pada ‘pendidikan keras’. Ia tidak memahami bahasa cinta lain kecuali yang ia terima. Ia akan menyerap bahasa tersebut dan mempraktikkannya pada anaknya nanti, atau pada orang-orang di sekitarnya.
Mungkin terdengar begitu menjustifikasi. Tapi nyatanya, yang saya amati memang seperti itu adanya. Seorang anak yang tumbuh dari lingkungan yang ‘keras’, lingkungan dengan nilai moral yang tinggi, dan menuntut serba sempurna, akan memberikan sikap yang sama kepada orang yang ia temui, tetangga dan teman-temannya. Ia akan menyerap sedikit-banyak model pengasuhan orang tuanya. Meski demikian, hal ini tentu tidak menutup adanya perubahan.
Disadari atau tidak, implikasi lain yang muncul yaitu bisa menumbuhkan trauma masa lalu. Apalagi mereka berdua masih sangat muda, yang satu masih sangat bisa berupa menjadi lebih baik dan mendapat nilai bagus di sekolahnya, satunya lagi masih bisa sembuh. Dan trauma masa kecil itu sangat berpotensi mengganggu kesehatan mental.
Kesadaran kesehatan mental mungkin tidak sebanyak sekarang. Delapan atau empat tahun yang lalu, banyak orang tua yang belum menyadari hal itu. Sebagaimana gangguan kesehatan fisik, gangguan kesehatan mental juga bisa dialami anak kecil. Barangkali, kesadaran semacam ini perlu diasah lebih mendalam, agar tidak muncul trauma-trauma yang lain.
Lagi pula, apa yang bisa diharapkan dari nilai ujian di sebuah kertas? Apa yang bisa diharapkan dari terlihat sempurna? Kalau nyatanya, mereka (atau bahkan kita), tidak pernah dan tidak akan sempurna. Bagi saya, tidak apa-apa untuk tidak sempurna, tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Saya mengangankan pemaknaan “sempurna” dengan makna yang luas, siapa pun bisa masuk di dalamnya. Tabik!
Leave a Reply