,

Anak-Anak ‘Tak Merdeka’ di Negara Merdeka: Sebuah Refleksi tentang Kemerdekaan

/
/


**

Awas ya, kalau macam-macam tak pukul kamu!”

Ujaran seorang anak yang baru menginjak kelas 1 SD kepada adiknya yang masih berusia dua tahun mengejutkan Ibunda mereka. Pasalnya sedemikian sering si Ibu dan suaminya mengajarkan anak sulung mereka untuk saling menyayangi dengan adiknya. Namun masih saja kata-kata yang keluar dari kakaknya cukup mengagetkan.

Ketika ditelusuri, beberapa hari itu Dena sedang asyik dengan pengalaman baru yaitu bermain dengan anak-anak yang lebih besar di sekitar perkampungan tempat tinggalnya.

Interaksi yang tidak setara membuat Dena sering menjadi obyek yang disuruh-suruh, bahkan kediamannya sering dimasuki tanpa permisi, termasuk juga tanpa ada kata pamit kepada empunya rumah ketika mereka sudah selesai bermain.

Sore itu Dena berhasil menolak ajakan bermain, termasuk memberikan larangan agar teman-teman yang lebih besar tidak menyelonong masuk ke rumahnya. Namun entah apa yang terjadi pada hari-hari selanjutnya.

Apakah lantas Dena dianggap sombong dan semakin membuka peluang untuk diganggu/dirundung sebagai anak yang pelit? Benak Ibunda berpikir keras tentang hal ini.

Ibunda bercerita, sungguh sulit mengendalikan perilaku anak-anak tersebut karena beberapa di antaranya mengalami kekerasan juga di rumah. Anak yang dicaci atau dipukul di rumah, melampiaskannya kepada temannya yang lebih kecil di luar rumah.

Sesama orang tua menutup mata masing-masing kalau anak mereka memukul anak lain, sebaliknya akan menantang duel bila anak sendiri yang dipukul oleh anak orang lain.

***

Sebenarnya kasus di atas biasa terjadi di lingkungan pergaulan anak-anak yang tinggal di perumahan padat penduduk. Adanya perbedaan kondisi rumah, pekerjaan orang tua dan harta kepemilikan membuka peluang jurang perbedaan yang bisa memicu rasa cemburu.

Situasinya menjadi makin pelik pada saat ini. Pandemi covid-19 telah merumahkan semua orang tanpa terkecuali. Orang tua disibukkan dengan upaya bertahan hidup. Yang masih menjadi pegawai mungkin berdoa ekstra keras agar mereka tidak diputus hubungan kerja. Yang memiliki usaha, mati-matian memutar otak bagaimana agar mereka bisa bertahan.

Anak-anak usia sekolah disibukkan dengan pemenuhan kewajiban mereka terhadap tugas sekolah wajib setor, serta mengikuti pembelajaran virtual yang tak semenyenangkan pembelajaran tatap muka di sekolah.

Parenting? Nyaris … nyaris terlupakan. 

Sekian lama pola pemikiran orang tua di perkotaan sudah tersistem, ketika anak-anak sudah bersekolah, sebagian besar waktu mereka adalah di sekolah.

Ketika pandemi memaksa semua anggota keluarga menghabiskan banyak waktu mereka di rumah sistem yang telah terbentuk itu seketika berubah. Tak usah jauh-jauh mengambil kasus orang lain, suami saya pun mengalami vertigo ketika awal pandemi karena merasa harus memaksa dirinya menjadi produktif di rumah dalam situasi dengan distraksi yang cukup banyak.

Rumah mendadak menjadi tempat aktivitas utama. Orang tua seketika memiliki profesi tambahan sebagai guru, padahal tanggung jawab mereka untuk mengatur agar pemasukan yang didapat bisa mencukupi pengeluaran harian yang semakin mendapat tantangan semasa pandemi.

Pandangan anak-anak kepada orang tua kini bertambah satu lagi, melihat mereka sebagai guru. Situasi ini menjadi dilematis. Berharap anak tetap mendapatkan kesempatan dan hak belajar pendidikan formal, tetapi direpotkan oleh kewajiban yang tadinya sudah dialihtangankan kepada pihak sekolah.

***

Situasi pandemi yang menyebabkan banyak tekanan tidak saja menyebabkan pemenuhan hak anak sesuai Konvensi Hak-Hak Anak PBB menjadi terkendala. Salah satu hal saja yaitu tentang kesempatan bermain. Walau di awalnya ada kekhawatiran orang tua untuk melarang mereka bermain di luar rumah, agar tidak ketularan, lama kelamaan kebijaksanaan itu dipilih dengan alasan bermain menjadi sarana relaksasi dari ketidakmampuan datang ke sekolah seperti biasanya.

Sayangnya hal tersebut malah makin merajai. Anak-anak menjadi banyak bermain, mulai dari bersepeda maupun kejar-kejaran di jalan perkampungan tanpa kenal waktu, waktu tidur menjadi acak, intensitas durasi anak-anak mengakses dunia maya dan game online pun menjadi tak terkendali.

Itu baru hak bermain. Lalu bagaimana dengan hak memiliki rasa aman, ketika sosok yang ditakuti dalam keluarga malah nyaris 24 jam berada di rumah.

Saya sempat mewawancarai Dr. Oka Negara yang banyak bergerak di bidang kesehatan seksual dan reproduksi, bahwa tim perlindungan anak banyak mendapatkan kasus yang terjadi selama pandemi. Masalah utama kekerasan seksual justru banyak terjadi di keluarga dan dilakukan oleh orang tua/kakak. Korban kesulitan/terlambat tidak melapor atau terdampingi, sementara kejadian terus berulang. Lalu hal itu terselesaikan begitu saja di ranah mediasi keluarga. Pandemi membuat peluang bertambah karena orang berdiam di rumah, sekolah dari rumah dan bekerja mungkin dari rumah. Kesulitan penyelesaian kasus menjadi lebih sulit pada keluarga utuh dan serumah terkait dengan upaya perlindungan korban dan masa depan korban serta dianggap aib keluarga jika dilaporkan.

Belum lagi kekerasan verbal maupun fisik seperti yang terjadi pada kasus teman Dena yang saya uraikan di awal tulisan ini. Terbiasa dengan penyelesaian masalah dalam bentuk kekerasan di rumah, menjadikan anak tersebut belajar bahwa cara menyelesaikan masalah di luar rumah juga dengan kekerasan. Mendapat tekanan relasi kuasa, orang tua ke anak, menuai akibat melakukan tekanan relasi kuasa kepada teman yang lebih kecil; untuk selanjutnya dibawa sampai fase anak tersebut membangun keluarganya sendiri. Seperti lingkaran setan, problematika ini akan terus terwarisi bahkan ke generasi selanjutnya.

Lantas, salah siapa?

Tak semudah itu juga saya memunculkan pihak yang patut dipersalahkan.

Saya pun masih mengalami kendala. Sulit sekali memaksa si kecil yang lebih suka berinteraksi dengan bertemu muka untuk belajar dan berinteraksi melalui pembelajaran virtual. Tak mudah memaksanya tidur dengan rutinitas biasa, termasuk mengingatkannya untuk tidak memegang ponsel terus selama tak bisa ke mana-mana. Hal yang mampu saya kendalikan hanya melarangnya untuk tidak bermain di luar rumah, karena sejujurnya susah mengendalikan anak seusia itu untuk ketat taat ProKes seperti orang dewasa pada umumnya.

Melemparkan kesalahan kepada orang lain sangatlah tak bijak. Di hari-hari ini, kita semua adalah pejuang. Bertahan dengan pemikiran dan teknik survival masing-masing.

Demikian halnya dengan anak-anak usia sekolah di masa pandemi. Seperti mungkin generasi orang tua kita dulu, yang mengalami masa peperangan merebut kemerdekaan, periode kerusuhan etnis, masa-masa kekacauan politik, anak-anak ini mengalami fase bagaimana mereka mampu survive dengan penekanan belajar mandiri, belajar bersama orang tua serta beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang tiba-tiba tidak setara dalam hal pengasuhan, pola pikir dan status ekonomi sosial.

Anak-anak ini belajar merasakan ‘tak merdeka’ dalam negara yang merdeka. Mau tak mau dikontrol oleh sesuatu yang tak kasat mata, yang bisa membahayakan nyawa.

Lalu, bagaimana agar anak paham terhadap hal tersebut?

Kembali lagi kepada kita sebagai orang tua.

Apakah akhirnya bisa bersikap legowo, berjiwa besar dalam menyikapi pandemi sebagai kondisi yang mau tidak mau diterima? Bukan hanya terus mengomel dan merutuki keadaan.

Langkah selanjutnya adalah dengan menunjukkan sikap bertahan. Menahan diri tidak egois dengan taat ProKes, saling bantu dengan sesama teman yang membutuhkan, termasuk tak berhenti berjuang memikirkan peluang agar bisa bertahan secara sosial ekonomi.

Bukan berarti tetiba orang tua menjadi dewa yang tak boleh putus asa. Menunjukkan sisi manusiawi di hadapan anak-anak dengan mendiskusikan peliknya situasi pandemi ini juga memungkinkan anak-anak memiliki pemahaman baru, bahwa ‘musuh’ (virus) di hadapan itu nyata. Bahwa ada yang sedang terjadi dan sedang dihadapi bersama oleh semua umat manusia di dunia.

Ketika setiap dari orang tua mau terbuka dan berupaya mencontohkan sikap-sikap yang bermakna bagi anak saat ini, hal tersebut akan menjadi harta warisan yang tak bisa diukur dalam bentuk nominal semata terlebih ketika anak-anak mengenangnya saat mereka dewasa nanti.

Dirgahayu Indonesiaku.

Berjuang dan bertahanlah!



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *