,

Amina Wadud: Perempuan Mualaf dan Aktivis Kesetaraan Gender

/
/

Amina Wadud: Perempuan Mualaf Penggerak Kesetaraan Gender

Neswa.id-Lahir sebagai penganut agama Kristen, Amina Wadud bernama asli Maria Teasley. Ayahnya seorang pendeta, sedangkan ibunya keturunan Arab. Pergolakan spritualnya dimulai ketika berusia 20 tahun, kemudian memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, tepatnya pada thanks giving day tahun 1972, serta mengubah namanya menjadi Amina Wadud.

Ia disebut sebagai  ‘Lady Imam’,  karena pernah menjadi imam shalat jumat pada 2005 di Amerika Serikat dan 2008 di Inggris. Walaupun sempat menuai kontroversi, namun ia menegaskan bahwa upayanya tersebut tidak ada maksud untuk menjadi kontroversial.

Pendidikan sarjananya dimulai di Universitas Pennsylvania pada bidang sains. Lalu ia melanjutkan studi Timur Tengah di Universitas Michigan dan memperoleh gelar Ph.d pada studi Arab dan Islam.  Tidak hanya itu, ia juga memperoleh ijazah doktor di Universitas Amerika dengan disertasi Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective yang membedah persoalan gender dalam al-Qur`an.

Selanjutnya, ia memutuskan untuk mendalami bahasa Arab di Universitas al-Azhar, Mesir dan mempelajari filsafat di almameter yang sama dan tafsir di Universitas Kairo. Pada tahap inilah yang mengantarkan Wadud untuk fokus pada kajian tafsir yang banyak mengilhami pemikir-pemikir tafsir kontemporer maupun para feminis Muslim.

Wadud beranjak dari proposisi dasar bahwa al-Qur`an sebagai sumber kebenaran, namun bagi Wadud banyak ditemukan tafsir atas sumber kebenaran tersebut yang sudah kelewat zaman. Artinya, sudah tidak memiliki kesesuaian antara teks tafsir tersebut dengan kondisi atau konteks zaman, khususnya zaman sekarang. Maka, bagi Wadud, khazanah tafsir perlu direkonsktruksi ulang supaya terciptanya tafsir yang bersesuaian dengan konteks zaman dan tantangan zaman. Sehingga kokohlah dalil shalihun likulli zaman wa makan.

Wadud menyoroti tafsir klasik yang sangat bernada patriakhal serta bermuatan androsentrisme. Sehingga sangat tidak bersesuaian dengan konteks zaman ini. Bagi Wadud, tidak hanya latar belakang muffasir saja yang menjadi pertimbangan terhadap produk tafsir, namun juga konteks sosio-historis yang holistik.

Dalam metode penafsiran yang ditawarkan oleh Wadud melibatkan tiga tahapan. Pertama, memahami konteks saat ayat tertentu turun. Artinya, dalam kasus turunnya wahyu tertentu perlu diketahui sebab-sebab turunnya ayat atau biasa disebut dengan asbabun nuzul nya, serta konteks zamannya. Sehingga dalam tahap tersebut diketahui kondisi sosial, politik, moral, ekonomi yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai peristiwa yang melatar belakangi turunnya suatu ayat dapat menjadi cerminan suatu nilai untuk diterapkan pada masa kini (Wadud, 2001:15).

Kedua, mencermati komposisi gramatikal bahasa Arab. Yakni, dengan melihat teks al-Qur`an itu diasumsikan sebagai teks yang dapat dipahami dengan mengesampingkan askpek sakralitas. Sakral disini diartikan sebagai suatu hal yang tidak boleh dicampuri tangan manusia. Karena dalam bahasa Arab baik menyangkut makhluk hidup atau mati, dimensi fisik maupun metafisik, semuanya diungkapkan dalam istilah yang bergender. Oleh karena itu, dalam memahami penggunaan bahasa arab, Wadud melakukan pendekatan terhadap teksnya dari luar. Cara ini menjadikannya bebas mengobservasi tanpa terpenjara dengan konteks Bahasa yang berbeda gender (Wadud, 2001: 40).

Ketiga, menggali nilai pada keseluruhan teks atau weltanschauung-nyaal-Qur`an. Dalam tahap ini, Wadud meminjam teori double movement atau gerak gandanya Fazlur Rahman. Semua ayat yang diturunkan pada titik waktu sejarah tertentu, dalam suasana umum dan khusus, diungkap menurut waktu dan suasana penurunannya. Namun, pesan yang terkandung dalam ayat tersebut tidak terbatas pada waktu atau suasana historis tersebut. Seorang pembaca harus memahami maksud dari ungkapan-ungkapan al-Qur’an menurut waktu dan suasana penurunannya guna menentukan makna yang sebenarnya. Makna inilah yang menjelaskan maksud dari ketetapan atau prinsip yang terdapat dalam suatu ayat (Wadud, 1998:19).

Sebagai gambaran interpretasinya, diambil contoh mengenai permasalahan warisan. Wadud memaparkan formula matematis dua banding satu, meskipun salah, telah diperkuat melalui penyederhanaan yang berlebihan dari Bahasa al-Qur`an mengenai warisan sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Nisa’: 11-12.

Meskipun pernyataan al-Qur`an dalam surat al-Nisa’ ayat 11-12 mengesahkan bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan (saudara kandung), satu pembahasan yang lengkap pada ayat ini menetapkan bagaimana variasi pembagian yang sepadan antara laki-laki dan perempuan. Sebenarnya jika hanya ada satu anak perempuan, bagiannya adalah setengah harta. Selain itu, pertimbangan orang tua, saudara kandung, kerabat jauh, maupun anak-cucu dibahas dalam berbagai variasi yang bermacam-macam guna mengetahui bahwa bagian perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki bukanlah satu-satunya model pembagian harta, melainkan salah satu dari beberapa penetapan padanan yang mungkin (Wadud, 2001:155). (IM)

Referensi

Wadud, Amina. 2001. Quran menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir.

Terj. Abdullah Ali. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta

Wadud, Amina. 1998. “Qur’an And Woman” Dalam Charles Kurzman (Ed), Liberal Islam:

A Sourcebook, New York: Oxford University Press



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *